Di antara tumpukan arsip berdebu, aku menemukan sepucuk surat berbahasa Jawa kuno, tertanggal 1930. Isinya sebuah puisi:Â Â
> "Pada bunga kantil yang layu di halaman losmen,
> Aku menanti Dewi yang tak kunjung datangÂ
> Kapal dari Surabaya telah berlabuh,Â
> Tapi janjimu tinggal angin yang berlalu..."
Surat itu ditandatangani "Raden Arjuno". Nama yang tak asing--keluarga Raden dulu penguasa tanah di sini. Tapi siapakah Dewi? Â
...
 Â
Minggu berikutnya, seorang perempuan muncul di bengkelku. Rambutnya diikat ekor kuda, matanya tajam tapi teduh. Â
"Permisi, saya Dewi. tuturnya, Anda punya gelang dengan nama saya?"Â Â
Aku tertegun. Perempuan ini persis seperti bayanganku tentang Dewi dari surat itu: anggun, tapi ada duka yang tersembunyi di raut wajahnya. Â