Gelap dan penuh api (Amarah yang Menolak Padam)
Aku telah membakar diriku untuk mencintainya. Aku melawan logika, menelan cemburu, dan mengabaikan bayangan lelaki lain yang mengintainya. Aku memeluknya dengan segenap jiwaku, seolah-olah dunia ini hanya kami berdua.
Tiga puluh hari aku bertahan, meski luka-luka kecil menumpuk di dada. Aku menutup mata pada pesan-pesan yang masuk ke ponselnya. Aku mengabaikan bisikan bahwa ia masih milik malam. Aku percaya, sebab hanya dengan percaya aku bisa bertahan.
Tapi semua itu sia-sia. Hanya dalam sekejap, ia mematahkan segalanya. Ia berkata berhenti, seolah cintaku hanyalah permainan kecil. Ia bicara tentang masa laluku, tentang “mungkin kembali,” tapi aku tahu, semua itu hanyalah jalan untuk pergi.
Aku marah. Aku merasa dikhianati. Bagaimana bisa aku yang memberi seluruh hatiku, justru ditinggalkan dengan kata-kata samar? Bagaimana bisa aku yang menerima semua masa lalunya, justru ditolak atas masa laluku sendiri?
Api di dadaku kini tak bisa lagi kupadamkan. Aku tidak peduli apakah semua ini cinta atau sekadar sandiwara. Yang kutahu, aku terbakar. Dan dalam api ini, aku berjanji: aku tidak akan lagi tunduk pada luka. Jika dia ingin pergi, biarlah pergi. Tapi ingat—ia meninggalkan seorang lelaki yang kini belajar untuk tak lagi percaya pada janji.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI