OLEH: Khoeri Abdul Muid
Bagian 19: Tumbangnya Pengkhianat
Pertarungan Pancapana dan Panangkaran semakin sengit. Pedang dan golok beradu tanpa henti, menimbulkan suara gemuruh yang membuat prajurit di sekeliling terdiam menyaksikan.
Panangkaran mengerahkan seluruh kekuatannya, setiap tebasan disertai amarah yang membara. "Engkau hanyalah anak yang tersisa! Apa hakmu menantangku, Pancapana?!"
Pancapana menangkis dengan tangkas, matanya menyala. "Aku bukan hanya anak Sanjaya. Aku adalah pewaris kebenaran yang kau khianati!"
Golok Panangkaran menghantam keras, namun Pancapana memutar pedangnya, menangkis dan membalas dengan tusukan cepat. Golok terhempas ke samping, membuat Panangkaran kehilangan keseimbangan.
Cahaya kalung pusaka kembali berpendar, mengalirkan kekuatan ke tubuh Pancapana. Dalam sekejap ia melompat, pedangnya menebas ke arah Panangkaran. Golok hitam itu terpental dari genggaman, jatuh ke tanah berdebu.
Panangkaran terhuyung, matanya terbelalak. "Tidak! Ini tidak mungkin!"
Pancapana menodongkan pedang ke lehernya. Hening menyelimuti medan perang. Semua prajurit, baik dari Syailendra maupun Mataram, menahan napas menanti akhir duel.
"Panangkaran," ujar Pancapana lantang, suaranya bergetar namun tegas, "kau telah menumpahkan darah ayahku, menindas rakyat, dan mengkhianati tanah leluhur. Hari ini, keadilan menuntut balas."