Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Infobesia

Bertugas di Gabus, Pati, Jateng. Direktur sanggar literasi CSP [Cah_Sor_Pring]. Redaktur Media Didaktik Indonesia [MDI]: bimbingan belajar, penerbit buku ber-ISBN dan mitra jurnal ilmiah bereputasi SINTA. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Kisah Berdirinya Candi Borobudur [XIX]

19 September 2025   15:04 Diperbarui: 19 September 2025   15:04 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi by kam/ai

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Bagian 19: Tumbangnya Pengkhianat

Pertarungan Pancapana dan Panangkaran semakin sengit. Pedang dan golok beradu tanpa henti, menimbulkan suara gemuruh yang membuat prajurit di sekeliling terdiam menyaksikan.

Panangkaran mengerahkan seluruh kekuatannya, setiap tebasan disertai amarah yang membara. "Engkau hanyalah anak yang tersisa! Apa hakmu menantangku, Pancapana?!"

Pancapana menangkis dengan tangkas, matanya menyala. "Aku bukan hanya anak Sanjaya. Aku adalah pewaris kebenaran yang kau khianati!"

Golok Panangkaran menghantam keras, namun Pancapana memutar pedangnya, menangkis dan membalas dengan tusukan cepat. Golok terhempas ke samping, membuat Panangkaran kehilangan keseimbangan.

Cahaya kalung pusaka kembali berpendar, mengalirkan kekuatan ke tubuh Pancapana. Dalam sekejap ia melompat, pedangnya menebas ke arah Panangkaran. Golok hitam itu terpental dari genggaman, jatuh ke tanah berdebu.

Panangkaran terhuyung, matanya terbelalak. "Tidak! Ini tidak mungkin!"

Pancapana menodongkan pedang ke lehernya. Hening menyelimuti medan perang. Semua prajurit, baik dari Syailendra maupun Mataram, menahan napas menanti akhir duel.

"Panangkaran," ujar Pancapana lantang, suaranya bergetar namun tegas, "kau telah menumpahkan darah ayahku, menindas rakyat, dan mengkhianati tanah leluhur. Hari ini, keadilan menuntut balas."

Dengan satu tebasan, Pancapana menjatuhkan musuh bebuyutannya. Panangkaran roboh bersimbah darah, matanya terpejam dengan wajah penuh ketidakpercayaan.

Sorak sorai meledak dari barisan Syailendra, sementara pasukan Mataram terdiam, kehilangan pemimpin mereka.

Pancapana menancapkan pedangnya ke tanah, lalu berseru lantang, "Peperangan ini selesai! Tidak ada lagi darah yang harus tertumpah. Mulai hari ini, Mataram kembali bersatu dalam kebenaran!"

Pasukan Mataram perlahan menurunkan senjata. Mereka tak lagi melihat alasan untuk bertarung.

Di bawah cahaya mentari pagi, Pancapana berdiri tegak di atas tanah yang berlumur darah, bukan sebagai seorang pendendam, melainkan sebagai ksatria yang telah menegakkan keadilan.

Bersambung ke Bagian 20

Catatan Penulis:

Kisah ini memadukan sejarah dan imajinasi. Beberapa tokoh dan peristiwa diambil dari catatan sejarah, namun banyak pula unsur fiksi yang ditambahkan demi kepentingan sastra. Cerbung ini tidak dimaksudkan sebagai rujukan sejarah, melainkan sebagai upaya menghadirkan nilai moral tentang persahabatan, cinta, dan perjuangan menegakkan kebenaran.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun