OLEH: Khoeri Abdul Muid
Bagian 5: Sayembara Candi
Pertarungan antara Pancapana dan Indrayana akhirnya berhenti ketika suara tangis Candradewi pecah di tengah hutan Randualas. "Hentikan! Apakah kalian ingin saling membunuh?!"
Kedua pemuda itu terdiam. Nafas mereka memburu, pedang masih terangkat, namun sorot mata mulai meredup. Indrayana menunduk, merasa bersalah. Pancapana pun menurunkan senjatanya, dadanya bergemuruh oleh rasa malu.
Saat itulah muncul Resi Bayumurti, yang sejak awal mengikuti jejak mereka. "Anakku Pancapana," katanya lembut, "kau tidak boleh dikuasai amarah. Ingatlah wasiat ayahandamu, Prabu Sanjaya. Kau ditakdirkan memimpin bukan dengan dendam, melainkan dengan kebijaksanaan."
Resi Bayumurti lalu menyerahkan sebuah kalung pusaka. "Ini peninggalan ayahmu. Gunakanlah sebagai pelindung dan penuntun." Pancapana menerima kalung itu dengan penuh haru, hatinya sedikit tenang.
Ketiganya pun melanjutkan perjalanan. Namun, sesampainya di perbatasan Mataram, kabar besar menyambut mereka: Prabu Smarattungga mengumumkan sayembara. Siapa pun yang mampu membangun sebuah candi agung dalam semalam, akan dipersuntingkan dengan Putri Pramudawardhani.
Pancapana menatap ke kejauhan, matanya berkilat. "Inilah kesempatan bagiku untuk merebut kembali kejayaan Mataram dan menjadi menantu raja."
Indrayana terkejut mendengar tekad itu. "Pancapana, bukankah kau sudah bersama Candradewi? Mengapa masih menginginkan Pramudawardhani juga?"
"Ini bukan sekadar tentang cinta," Pancapana menjawab dengan nada keras. "Ini tentang tahta, tentang kehormatan ayahku!"
Indrayana terdiam, hatinya perih mendengar kata-kata itu. Namun sebelum perdebatan berlanjut, datanglah seorang sesepuh berjanggut putih, Kakek Sabak, guru Pancapana di masa kecil.
"Cukuplah," ucapnya bijak. "Kekuatan bukanlah jalan untuk merebut tahta. Ilmu dan kebijaksanaanlah yang akan mengangkatmu. Jika kau ingin kembali ke Mataram, jadilah menantu Prabu Smarattungga dengan cara yang terhormat. Menangkan sayembara itu bukan untuk keserakahan, melainkan demi rakyat."
Pancapana terdiam, merenungi kata-kata gurunya. Ia sadar, jalan menuju Mataram bukan hanya dipenuhi pedang dan darah, melainkan juga ujian hati.
Bersambung ke Bagian 6
Catatan Penulis:
Kisah ini memadukan sejarah dan imajinasi. Beberapa tokoh dan peristiwa diambil dari catatan sejarah, namun banyak pula unsur fiksi yang ditambahkan demi kepentingan sastra. Cerbung ini tidak dimaksudkan sebagai rujukan sejarah, melainkan sebagai upaya menghadirkan nilai moral tentang persahabatan, cinta, dan perjuangan menegakkan kebenaran.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI