Kini, Dewatacengkar menjelma dalam wujud yang lebih sistematis: perkebunan monokultur, pembalakan liar, dan korporasi yang mengubah hutan menjadi sawit dan pulp. Yang terjadi bukan lagi larang pangan manusia, melainkan "kelaparan ekologis"---hilangnya sumber kehidupan bagi satwa.
Seperti Dewatacengkar yang "karem mangsa daging menungsa" (suka makan daging manusia), industri ekstraktif masa kini "memangsa" habitat satwa hingga mereka terpaksa berhadapan dengan manusia. "Goro-goro" (konflik/masalah) yang dahulu hanya ada di panggung wayang, kini menjadi tragedi nyata di perbatasan hutan.
Nggelar Sorban: Cancut Gumregut Ngulir Budi Nggelar Nalar
Namun, mitos Ajisaka memberikan harapan. Dalam menghadapi Dewatacengkar, Ajisaka tidak bertempur dengan kekerasan semata, melainkan "nggelar sorban" (menggelar kain ikat kepala) ---sebuah strategi yang mengandung makna "cancut gumregut ngulir budi nggelar nalar"(totalitas pengerahan segala daya upaya fisik mental, material spiritual). Suatu perjuangan yang berbasis kecerdasan, ketekunan, dan tindakan nyata yang terukur.
Ketika sorban Ajisaka digelar, tanah tandus berubah menjadi telaga yang menghidupkan kembali yang mati. Digambarkan bahwa "Ajisaka ing endi wae tumetep tertamtu nyipta tlaga"---di mana pun ia bersinggah, telaga kehidupan tercipta.
Sorban Ajisaka masa kini bukanlah sekadar koridor satwa fisik, melainkan strategi holistik untuk menciptakan "tlaga-tlaga panguripan" (telaga-telaga kehidupan) baru:
Tlaga untuk Sang Belang: Koridor yang Menghubungkan Kehidupan
Di Nepal, populasi harimau di Hutan Khata meningkat dari 18 (2009) menjadi 37 (2012) berkat koridor satwa yang dirancang dengan "ngulir budi nggelar nalar" (WWF Nepal). Bukan sekadar jembatan fisik, tapi sistem yang memahami perilaku harimau, pola migrasi, dan kebutuhan teritorialnya.