Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Infobesia

Bertugas di Gabus, Pati, Jateng. Direktur sanggar literasi CSP [Cah_Sor_Pring]. Redaktur Media Didaktik Indonesia [MDI]: bimbingan belajar, penerbit buku ber-ISBN dan mitra jurnal ilmiah bereputasi SINTA. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Nature

Menggelar Sorban Ajisaka: Suara untuk Harimau, Gajah, dan Orangutan

13 September 2025   13:23 Diperbarui: 13 September 2025   16:35 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kini, Dewatacengkar menjelma dalam wujud yang lebih sistematis: perkebunan monokultur, pembalakan liar, dan korporasi yang mengubah hutan menjadi sawit dan pulp. Yang terjadi bukan lagi larang pangan manusia, melainkan "kelaparan ekologis"---hilangnya sumber kehidupan bagi satwa.

[Pendewatacengkaran hutan? Sumber: mediaperkebunan.id]
[Pendewatacengkaran hutan? Sumber: mediaperkebunan.id]
Di Riau, laju deforestasi pernah menyentuh angka 9,8% per tahun (KLHK/World Resources Institute), salah satu yang tertinggi di dunia. Harimau kehilangan rumah, lalu masuk ke desa---bukan karena galak, tapi karena lapar akan ruang hidup. Di Seulekat, Aceh, 70% warga petani hidup dalam ketakutan akibat konflik dengan satwa---ladang rusak, ternak hilang.

[Peta Sumatra yang menunjukkan kawasan lindung vs. non-lindung, dan titik-titik konflik manusia-satwa. Sumber: forumtataruang.com]
[Peta Sumatra yang menunjukkan kawasan lindung vs. non-lindung, dan titik-titik konflik manusia-satwa. Sumber: forumtataruang.com]

Seperti Dewatacengkar yang "karem mangsa daging menungsa" (suka makan daging manusia), industri ekstraktif masa kini "memangsa" habitat satwa hingga mereka terpaksa berhadapan dengan manusia. "Goro-goro" (konflik/masalah) yang dahulu hanya ada di panggung wayang, kini menjadi tragedi nyata di perbatasan hutan.

Nggelar Sorban: Cancut Gumregut Ngulir Budi Nggelar Nalar

[Ilustrasi sederhana bagaimana koridor satwa atau jembatan ekologi bekerja. Sumber: dokpri Khoeri Abdul Muid/AI]
[Ilustrasi sederhana bagaimana koridor satwa atau jembatan ekologi bekerja. Sumber: dokpri Khoeri Abdul Muid/AI]

Namun, mitos Ajisaka memberikan harapan. Dalam menghadapi Dewatacengkar, Ajisaka tidak bertempur dengan kekerasan semata, melainkan "nggelar sorban" (menggelar kain ikat kepala) ---sebuah strategi yang mengandung makna "cancut gumregut ngulir budi nggelar nalar"(totalitas pengerahan segala daya upaya fisik mental, material spiritual). Suatu perjuangan yang berbasis kecerdasan, ketekunan, dan tindakan nyata yang terukur.

Ketika sorban Ajisaka digelar, tanah tandus berubah menjadi telaga yang menghidupkan kembali yang mati. Digambarkan bahwa "Ajisaka ing endi wae tumetep tertamtu nyipta tlaga"---di mana pun ia bersinggah, telaga kehidupan tercipta.

Sorban Ajisaka masa kini bukanlah sekadar koridor satwa fisik, melainkan strategi holistik untuk menciptakan "tlaga-tlaga panguripan" (telaga-telaga kehidupan) baru:

Tlaga untuk Sang Belang: Koridor yang Menghubungkan Kehidupan

Di Nepal, populasi harimau di Hutan Khata meningkat dari 18 (2009) menjadi 37 (2012) berkat koridor satwa yang dirancang dengan "ngulir budi nggelar nalar" (WWF Nepal). Bukan sekadar jembatan fisik, tapi sistem yang memahami perilaku harimau, pola migrasi, dan kebutuhan teritorialnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun