Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Infobesia

Bertugas di Gabus, Pati, Jateng. Direktur sanggar literasi CSP [Cah_Sor_Pring]. Redaktur Media Didaktik Indonesia [MDI]: bimbingan belajar, penerbit buku ber-ISBN dan mitra jurnal ilmiah bereputasi SINTA. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Nature

Menggelar Sorban Ajisaka: Suara untuk Harimau, Gajah, dan Orangutan

13 September 2025   13:23 Diperbarui: 13 September 2025   16:35 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
[Ilustrasi sederhana bagaimana koridor satwa atau jembatan ekologi bekerja. Sumber: dokpri Khoeri Abdul Muid/AI]

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Mereka tidak bisa bersuara dalam bahasa kita. Namun, jeritan mereka terdengar setiap kali pohon tumbang, setiap kali langkah mereka terdesak ke ujung habitat yang semakin menyempit---nada suara pilu yang mengingatkan kita pada tangis rakyat dalam mitologi agronomi Jawa ketika tanah menjadi cengkar (gersang) dan pangan menjadi langka.

Berdasarkan data IUCN Red List of Threatened Species (2017-2022), populasi Harimau Sumatra (Panthera tigris sondaica) hanya tersisa sekitar 1.359 individu, dengan sebagian besar hidup di luar kawasan lindung.

[Gajah. Sumber: Situs WWF]
[Gajah. Sumber: Situs WWF]

Gajah Sumatra (Elephas maximus sumatranus) menyisakan kurang dari 1.500 ekor dewasa, mengalami penurunan drastis hingga 80% dalam 25 tahun terakhir.

[Orangutan. Sumber: Situs WWF]
[Orangutan. Sumber: Situs WWF]
Sementara Orangutan Sumatra (Pongo abelii) hanya memiliki sekitar 6.600 individu dewasa yang bertahan di alam liar---semuanya berstatus Kritis (Critically Endangered).

[Infografis Penurunan Populasi. Sumber: dokpri Khoeri Abdul Muid/AI]
[Infografis Penurunan Populasi. Sumber: dokpri Khoeri Abdul Muid/AI]

Angka-angka ini bukan sekadar statistik. Mereka adalah cermin "kelaparan ekologis" masa kini---dimana satwa menjadi korban tanah yang dicengkarkan oleh keserakahan manusia, sama seperti rakyat yang mati kelaparan di zaman Dewatacengkar.

Dewatacengkar Modern: Dari Larang Pangan Menuju Kelaparan Ekologis

Dalam mitologi agronomi Jawa, Dewatacengkar bukan hanya nalendra yang serakah---ia adalah personifikasi tanah cengkar yang menyebabkan "larang pangan" (paceklik), hingga rakyat mati kelaparan. Tanah yang tidak lagi mampu "metokake asil", tidak produktif, hanya menguras tenaga para petani tanpa memberikan hasil.

[Kebakaran Hutan: ancaman dan metafora
[Kebakaran Hutan: ancaman dan metafora "lahan cengkar". Sumber: Homecare24.id]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun