OLEH: Khoeri Abdul Muid
Mereka tidak bisa bersuara dalam bahasa kita. Namun, jeritan mereka terdengar setiap kali pohon tumbang, setiap kali langkah mereka terdesak ke ujung habitat yang semakin menyempit---nada suara pilu yang mengingatkan kita pada tangis rakyat dalam mitologi agronomi Jawa ketika tanah menjadi cengkar (gersang) dan pangan menjadi langka.
Berdasarkan data IUCN Red List of Threatened Species (2017-2022), populasi Harimau Sumatra (Panthera tigris sondaica) hanya tersisa sekitar 1.359 individu, dengan sebagian besar hidup di luar kawasan lindung.
Gajah Sumatra (Elephas maximus sumatranus) menyisakan kurang dari 1.500 ekor dewasa, mengalami penurunan drastis hingga 80% dalam 25 tahun terakhir.
Angka-angka ini bukan sekadar statistik. Mereka adalah cermin "kelaparan ekologis" masa kini---dimana satwa menjadi korban tanah yang dicengkarkan oleh keserakahan manusia, sama seperti rakyat yang mati kelaparan di zaman Dewatacengkar.
Dewatacengkar Modern: Dari Larang Pangan Menuju Kelaparan Ekologis
Dalam mitologi agronomi Jawa, Dewatacengkar bukan hanya nalendra yang serakah---ia adalah personifikasi tanah cengkar yang menyebabkan "larang pangan" (paceklik), hingga rakyat mati kelaparan. Tanah yang tidak lagi mampu "metokake asil", tidak produktif, hanya menguras tenaga para petani tanpa memberikan hasil.