“Bagus…” katanya akhirnya, tapi suara itu lebih mirip perpisahan daripada restu.
Aku tahu ia takut. Bagaimana aku akan bertahan di negeri asing tanpa uang? Siapa yang akan mengirimi aku makanan? Siapa yang akan mengurusnya jika aku pergi?Aku tidak bisa menjawab. Karena aku sendiri pun tidak yakin.
Tapi aku tetap pergi. Karena jika aku tetap tinggal, aku akan mati di sini bukan secara fisik, tapi perlahan, seperti ibu yang hidup tapi tidak benar-benar hidup.
Arcapada.
Aku pikir tempat ini adalah surga, harapan, atau mungkin awal kebebasanku.
Aku salah.
Begitu aku tiba, aku menyadari satu hal, ini bukan sekolah, ini pabrik. Kami yang disebut penerima Karunia Ilahi hanya budak yang dijinakkan dengan pengetahuan. Kami belajar, bekerja, dan tunduk tanpa pertanyaan.
Para bangsawan memantau kami dari atas menara gading, memilih yang paling cerdas, paling kuat, paling patuh. Bukan untuk diberi kesempatan, tapi untuk dijadikan alat.
Mereka tidak mendidik kami agar bebas. Mereka menciptakan generasi baru yang akan tetap melanggengkan kekuasaan mereka.
Aku melihatnya sendiri. Temanku, anak seorang petani, dihukum karena berani bertanya kenapa hanya bangsawan yang boleh memimpin. Seorang gadis cerdas dari distrik utara tiba-tiba “menghilang” setelah terlalu banyak berbicara soal keadilan.
Di sini, ada dua jenis orang, mereka yang berkuasa, dan mereka yang diperalat.