Sistem yang sama, hanya dalam kemasan yang lebih indah.
Para “penerima Karunia Ilahi” seperti aku diperlakukan sebagai bukti keberhasilan kerajaan. “Lihat, kami memberi kesempatan pada rakyat jelata!” Tapi di balik layar, kami dibiarkan berjuang sendiri.
Kami kelaparan.
Kami dipaksa berhutang demi bertahan hidup, lalu diperbudak setelah lulus.
Aku melihat banyak teman seperjuanganku menyerah. Beberapa kembali ke kampung halamannya, dengan keadaan lebih buruk daripada saat mereka pergi. Beberapa memilih jalan pintas, menggadaikan diri mereka pada kaum borjuis yang siap membeli tubuh dan pikiran mereka dengan harga murah.
Aku pikir aku datang ke sini untuk menjemput masa depan yang lebih baik. Aku pikir kerajaan ini adalah jawaban dari hidupku yang melarat. Tapi yang kutemukan adalah sarang tikus rakus yang menggigiti rakyatnya sendiri.
Di suatu malam yang gelap, aku menemukan dokumen rahasia yang tertinggal di meja seorang petinggi kerajaan. Tanganku gemetar saat membukanya.
Isi dokumen itu menghancurkan kepercayaanku.
Dwipantara bukanlah negeri yang makmur dan kaya. Mereka hanya memindahkan kekayaan dari rakyat ke perut para penguasa. Dana yang seharusnya digunakan untuk mendidik kami? Disedot ke dalam proyek-proyek fiktif. Pajak yang katanya digunakan untuk membangun negeri? Dialirkan ke kantong-kantong bangsawan yang tidak pernah bekerja sehari pun dalam hidup mereka.
Dan lebih buruknya lagi, Karunia Ilahi ini bukanlah berkah, tapi kutukan.
Kami bukan dipilih untuk menjadi pemimpin. Kami dipilih untuk menjadi boneka.