Angin malam menyusup lewat celah-celah dinding bambu yang mulai lapuk dihempas waktu. Rumahku, yang lebih mirip kandang daripada tempat tinggal, berdiri di pinggiran Sungai Lembayung yang dulu jernih, kini hitam pekat oleh limbah para bangsawan yang sibuk mengisi kantong mereka dengan emas.
Di luar sana, Kerajaan Dwipantara masih terjaga di bawah sinar dua bulan yang menggantung muram. Tapi di rumah kami, semuanya terasa mati.
Aku menarik selimut, tipis. Lebih cocok disebut kain perca. Di ranjang sebelah, ibu duduk diam, meremas kain lusuh di pangkuannya. Tangisnya terdengar samar, seolah takut mengusik dinding rumah kami yang rapuh. Aku pura-pura tidur, tapi aku tahu, ibu menangis karena alasan yang sama setiap malam.
Kemiskinan.
Kemiskinan yang tak kunjung lepas dari leher kami.
Dulu, ayah adalah pengrajin perhiasan di distrik emas. Jemarinya menciptakan mahakarya untuk para bangsawan. Tapi segalanya berubah sejak Raja Prasandaka mengeluarkan Dekrit Langit Terbuka. Sebuah kebijakan yang katanya untuk “kesejahteraan rakyat,” padahal hanya alasan untuk merampas tanah, tambang, dan usaha kecil.
Ayah kehilangan pekerjaannya. Dari seorang pengrajin terhormat, ia berubah menjadi buruh tambang. Kerja rodi, upah ditahan, hak tak pernah ada. Hingga akhirnya, suatu hari, ia tidak pulang.
Tiga hari kemudian, tubuhnya ditemukan kaku di bawah jembatan tua. Tangannya masih menggenggam sekeping koin tembaga, mungkin upah terakhirnya.
Mereka bilang bunuh diri.
Ibuku bilang kecelakaan.
Aku bilang pembunuhan.
Bukan oleh satu orang, tapi oleh sistem yang menciptakan kemiskinan sebagai takdir dan menjadikan keputusasaan sebagai warisan.
Aku menatap ibu yang masih terisak. Aku berbeda. Aku tidak akan mati di sini. Aku akan pergi ke Arcapada, negeri para cendekia di atas awan. Katanya, siapa yang belajar di sana akan menjadi bagian dari elit.
Atau setidaknya, itu yang kupikirkan sebelum aku benar-benar tiba di sana.
Karena ternyata, di mana pun aku berada, tikus tetap tikus, pemakan rakyat tetap pemakan rakyat, dan kebusukan tetap kebusukan.
Hari ini, pengumuman penerima Karunia Ilahi akhirnya tiba. Ya, begitulah mereka menyebutnya seolah anugerah ini turun langsung dari langit, seolah negeri ini murah hati memberi kesempatan bagi rakyat jelata sepertiku.
Tentu saja, aku tahu kenyataannya tidak sesuci itu. Ini bukan kemurahan hati. Ini hanya bagian dari permainan mereka.
Kerajaan Dwipantara punya pola yang sudah bisa kutebak sejak lama, merampas sebanyak mungkin, lalu mengembalikan setetes demi setetes, agar tampak dermawan di mata dunia. Mereka menjarah tanah, menguasai tambang, dan memeras keringat rakyat, tapi sesekali mereka melempar secuil harapan sebuah program pendidikan untuk “anak-anak pilihan” agar seolah-olah masih ada keadilan di negeri ini.
Aku tidak peduli apakah ini kebaikan sungguhan atau sekadar tipu daya. Yang penting, aku harus memanfaatkannya.
Mereka telah mengambil segalanya dari keluargaku. Maka aku akan mengambil kembali apa pun yang bisa kuraih dari mereka.
"Ibu, aku terpilih," suaraku bergetar saat menunjukkan selebaran itu.
Adikku bertepuk tangan, wajahnya bersinar penuh harapan. Tapi ibu hanya diam. Tatapannya kosong, seolah aku adalah kenangan yang akan segera hilang.
“Bagus…” katanya akhirnya, tapi suara itu lebih mirip perpisahan daripada restu.
Aku tahu ia takut. Bagaimana aku akan bertahan di negeri asing tanpa uang? Siapa yang akan mengirimi aku makanan? Siapa yang akan mengurusnya jika aku pergi?Aku tidak bisa menjawab. Karena aku sendiri pun tidak yakin.
Tapi aku tetap pergi. Karena jika aku tetap tinggal, aku akan mati di sini bukan secara fisik, tapi perlahan, seperti ibu yang hidup tapi tidak benar-benar hidup.
Arcapada.
Aku pikir tempat ini adalah surga, harapan, atau mungkin awal kebebasanku.
Aku salah.
Begitu aku tiba, aku menyadari satu hal, ini bukan sekolah, ini pabrik. Kami yang disebut penerima Karunia Ilahi hanya budak yang dijinakkan dengan pengetahuan. Kami belajar, bekerja, dan tunduk tanpa pertanyaan.
Para bangsawan memantau kami dari atas menara gading, memilih yang paling cerdas, paling kuat, paling patuh. Bukan untuk diberi kesempatan, tapi untuk dijadikan alat.
Mereka tidak mendidik kami agar bebas. Mereka menciptakan generasi baru yang akan tetap melanggengkan kekuasaan mereka.
Aku melihatnya sendiri. Temanku, anak seorang petani, dihukum karena berani bertanya kenapa hanya bangsawan yang boleh memimpin. Seorang gadis cerdas dari distrik utara tiba-tiba “menghilang” setelah terlalu banyak berbicara soal keadilan.
Di sini, ada dua jenis orang, mereka yang berkuasa, dan mereka yang diperalat.
Sistem yang sama, hanya dalam kemasan yang lebih indah.
Para “penerima Karunia Ilahi” seperti aku diperlakukan sebagai bukti keberhasilan kerajaan. “Lihat, kami memberi kesempatan pada rakyat jelata!” Tapi di balik layar, kami dibiarkan berjuang sendiri.
Kami kelaparan.
Kami dipaksa berhutang demi bertahan hidup, lalu diperbudak setelah lulus.
Aku melihat banyak teman seperjuanganku menyerah. Beberapa kembali ke kampung halamannya, dengan keadaan lebih buruk daripada saat mereka pergi. Beberapa memilih jalan pintas, menggadaikan diri mereka pada kaum borjuis yang siap membeli tubuh dan pikiran mereka dengan harga murah.
Aku pikir aku datang ke sini untuk menjemput masa depan yang lebih baik. Aku pikir kerajaan ini adalah jawaban dari hidupku yang melarat. Tapi yang kutemukan adalah sarang tikus rakus yang menggigiti rakyatnya sendiri.
Di suatu malam yang gelap, aku menemukan dokumen rahasia yang tertinggal di meja seorang petinggi kerajaan. Tanganku gemetar saat membukanya.
Isi dokumen itu menghancurkan kepercayaanku.
Dwipantara bukanlah negeri yang makmur dan kaya. Mereka hanya memindahkan kekayaan dari rakyat ke perut para penguasa. Dana yang seharusnya digunakan untuk mendidik kami? Disedot ke dalam proyek-proyek fiktif. Pajak yang katanya digunakan untuk membangun negeri? Dialirkan ke kantong-kantong bangsawan yang tidak pernah bekerja sehari pun dalam hidup mereka.
Dan lebih buruknya lagi, Karunia Ilahi ini bukanlah berkah, tapi kutukan.
Kami bukan dipilih untuk menjadi pemimpin. Kami dipilih untuk menjadi boneka.
Orang-orang sepertiku yang datang dari latar belakang miskin tidak pernah benar-benar dimaksudkan untuk sukses. Mereka hanya ingin kami cukup pintar untuk menjalankan mesin kerajaan ini, tapi tidak cukup berani untuk mempertanyakan kenapa mesin ini terus berjalan hanya untuk menguntungkan segelintir orang.
Aku? Aku bertahan.
Bertahan dengan harga diri yang tersisa, meski terkadang aku meragukan apakah harga diri bisa membuatku tetap hidup.
Tapi semakin lama, semakin aku sadar, jika aku tetap tunduk, aku tak akan pernah bisa kembali.
Maka aku menyusun rencana. Aku tidak ingin hanya bertahan. Aku ingin membalas.
Aku membaca, aku mencatat, aku menyusup ke ruang arsip. Aku menemukan bukti tentang dekrit-dekrit palsu, pajak-pajak yang tak pernah sampai ke rakyat, tambang-tambang yang katanya demi kesejahteraan tapi hanya memperkaya keluarga kerajaan.
Aku menyebarkan semuanya secara diam-diam. Aku menulis surat, aku menyusup ke pasar, aku membiarkan kebenaran merayap ke setiap sudut kerajaan.
Dan akhirnya, mereka tahu.
Bangsawan-bangsawan itu mulai gelisah. Mereka mencari pelakunya. Mereka tahu ada yang berkhianat.
Sampai akhirnya, aku ditangkap.
Di depan seluruh penghuni Arcapada, mereka menyeretku ke alun-alun. Seorang petinggi berdiri di depanku, menggenggam gulungan berisi dakwaan.
“Nayara, kau dituduh menyebarkan fitnah dan mengkhianati kerajaan.”
Aku tersenyum. Nayara, berarti cahaya dalam kegelapan. Dan saat ini, aku benar-benar menjadi cahaya yang ingin mereka padamkan.
Tapi sebelum hukuman dijatuhkan, sesuatu terjadi.
Suara-suara dari luar gerbang. Sorak-sorai.
Rakyat, mereka datang.
Aku tidak tahu siapa yang memulai, tapi pesan-pesanku sampai ke mereka. Dan kini, mereka berdiri di depan gerbang Arcapada, meneriakkan namaku.
“Bebaskan Nayara!” suara itu menggema, berlapis-lapis, seperti gelombang laut yang tak bisa dihentikan.
Aku melihat wajah-wajah mereka. Ada orang-orang dari distrik emas, petani, pedagang, bahkan pelajar Arcapada yang diam-diam membaca selebaran-selebaranku.
Bangsawan-bangsawan itu gemetar. Mereka mungkin bisa menghukum satu orang, tapi mereka tidak bisa membungkam seluruh negeri.
Seorang prajurit berteriak. “Bubar! Ini perintah kerajaan!”
Seorang bocah lusuh maju, menggenggam selebaranku. Dengan suara tegas, ia berkata, “Nayara tidak salah. Kalian yang salah.”
Hari itu, aku tidak mati.
Hari itu, aku menang.
Atau setidaknya, aku pikir aku menang.
Bertahun-tahun setelahnya, aku melihat nama-nama baru muncul. Mereka adalah anak-anak yang dulu bersorak di gerbang Arcapada. Mereka yang katanya ingin perubahan.
Tapi kini, mereka duduk di kursi yang sama. Mereka menikmati anggur yang sama. Mereka membaca dekrit yang sama. Dan mereka tetap menyebutnya Karunia Ilahi.
Sementara di bawah sana, ibu-ibu masih menangis di sudut rumahnya. Buruh masih mati di tambang yang sama. Dan aku hanya bisa tertawa pahit.
Karena aku akhirnya paham. Kerajaan Dwipantara tidak butuh raja baru. Kerajaan Dwipantara butuh runtuh dari dalam dan memporak-porandakan segala macam akal-akalan busuk para petinggi jabatan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI