Bukan oleh satu orang, tapi oleh sistem yang menciptakan kemiskinan sebagai takdir dan menjadikan keputusasaan sebagai warisan.
Aku menatap ibu yang masih terisak. Aku berbeda. Aku tidak akan mati di sini. Aku akan pergi ke Arcapada, negeri para cendekia di atas awan. Katanya, siapa yang belajar di sana akan menjadi bagian dari elit.
Atau setidaknya, itu yang kupikirkan sebelum aku benar-benar tiba di sana.
Karena ternyata, di mana pun aku berada, tikus tetap tikus, pemakan rakyat tetap pemakan rakyat, dan kebusukan tetap kebusukan.
Hari ini, pengumuman penerima Karunia Ilahi akhirnya tiba. Ya, begitulah mereka menyebutnya seolah anugerah ini turun langsung dari langit, seolah negeri ini murah hati memberi kesempatan bagi rakyat jelata sepertiku.
Tentu saja, aku tahu kenyataannya tidak sesuci itu. Ini bukan kemurahan hati. Ini hanya bagian dari permainan mereka.
Kerajaan Dwipantara punya pola yang sudah bisa kutebak sejak lama, merampas sebanyak mungkin, lalu mengembalikan setetes demi setetes, agar tampak dermawan di mata dunia. Mereka menjarah tanah, menguasai tambang, dan memeras keringat rakyat, tapi sesekali mereka melempar secuil harapan sebuah program pendidikan untuk “anak-anak pilihan” agar seolah-olah masih ada keadilan di negeri ini.
Aku tidak peduli apakah ini kebaikan sungguhan atau sekadar tipu daya. Yang penting, aku harus memanfaatkannya.
Mereka telah mengambil segalanya dari keluargaku. Maka aku akan mengambil kembali apa pun yang bisa kuraih dari mereka.
"Ibu, aku terpilih," suaraku bergetar saat menunjukkan selebaran itu.
Adikku bertepuk tangan, wajahnya bersinar penuh harapan. Tapi ibu hanya diam. Tatapannya kosong, seolah aku adalah kenangan yang akan segera hilang.