Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Anggaran Terbatas, Bisa Jadi Pendidikan Terhambat di 2026

18 September 2025   04:50 Diperbarui: 18 September 2025   04:50 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi guru.(canva.com)

Anggaran Terbatas, Bisa Jadi Pendidikan Terhambat di 2026

"Pendidikan bukan sekadar angka anggaran, melainkan investasi masa depan bangsa."

Oleh Karnita

Pendahuluan

Apakah pendidikan bisa tumbuh tanpa sokongan anggaran yang memadai? Pertanyaan ini mengemuka setelah Kompas.com (17/09/2025) melaporkan bahwa delapan program prioritas Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) tidak terdanai pada tahun 2026. Dari tunjangan guru non-ASN hingga program vokasi, semuanya terancam tertunda hanya karena keterbatasan anggaran.

Fakta tersebut mencuat dalam rapat kerja antara Mendikdasmen Abdul Mu'ti dan Komisi X DPR pada 15 September 2025. Dari usulan tambahan Rp 52,9 triliun, hanya Rp 400 miliar yang dikabulkan sehingga masih menyisakan defisit besar. Angka ini jelas berbanding terbalik dengan urgensi pendidikan sebagai pilar utama pembangunan nasional.

Saya tertarik mengulas isu ini bukan sekadar karena angka-angka yang fantastis, melainkan karena dampak nyatanya pada jutaan anak, guru, dan sekolah. Berita ini relevan dengan konteks saat ini ketika masyarakat menuntut kualitas pendidikan lebih baik, sementara pemerintah masih berkutat pada keterbatasan fiskal. Pertanyaannya: apakah visi "Indonesia Emas 2045" bisa diraih dengan pola seperti ini?

Tunjangan Guru Non-ASN yang Tersisih

Tunjangan profesi guru non-ASN adalah salah satu kebutuhan paling mendesak. Selama ini, mereka mengemban tugas mendidik generasi bangsa dengan status yang kerap tidak menentu. Namun, Kompas.com mencatat bahwa anggaran ini justru termasuk yang tidak terdanai untuk 2026.

Ketidakadilan ini berpotensi menurunkan motivasi dan kualitas pengajaran di banyak sekolah. Guru non-ASN seringkali mengisi kekosongan tenaga pendidik, terutama di daerah, sehingga peran mereka tidak bisa dipandang sebelah mata. Menunda tunjangan mereka sama dengan mengabaikan kontribusi nyata di lapangan.

Kondisi ini menjadi refleksi bahwa kebijakan pendidikan masih bias struktural. Negara ditantang untuk tidak hanya mengakui peran guru non-ASN, tetapi juga menempatkan kesejahteraan mereka sebagai prioritas sejajar dengan guru ASN.

Program Indonesia Pintar yang Terbatas

Program Indonesia Pintar (PIP) adalah instrumen utama dalam memastikan akses pendidikan bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu. Sayangnya, Kompas.com melaporkan bahwa PIP jenjang TK, SD, dan SMP tidak mendapatkan porsi tambahan anggaran. Dampaknya, ribuan anak berpotensi tertinggal dari bangku sekolah.

PIP seharusnya menjadi benteng melawan ketidaksetaraan pendidikan. Dengan tidak terdanainya program ini, kesenjangan pendidikan justru semakin lebar. Padahal, pendidikan dasar adalah fondasi bagi pembentukan karakter dan kecerdasan bangsa.

Keputusan ini menunjukkan bahwa visi pemerataan pendidikan belum sepenuhnya diutamakan. Kritik publik perlu diarahkan agar negara tidak hanya mengejar angka partisipasi sekolah, tetapi juga menjamin akses riil bagi yang paling rentan.

Revitalisasi Sekolah yang Tertunda

Sarana dan prasarana pendidikan adalah aspek penting yang sering terabaikan. Kompas.com menyoroti bahwa program pembangunan dan revitalisasi satuan pendidikan juga tak terakomodasi dalam anggaran 2026. Ini berarti banyak sekolah akan terus beroperasi dalam kondisi minim fasilitas.

Keterbatasan ruang kelas, laboratorium yang usang, hingga kurangnya fasilitas sanitasi adalah realitas yang dihadapi banyak siswa. Ketika revitalisasi tidak terdanai, berarti negara membiarkan kualitas pembelajaran terhambat oleh kondisi fisik sekolah yang tidak layak.

Refleksi pentingnya, pendidikan bukan hanya soal kurikulum atau guru, tetapi juga ruang belajar yang bermartabat. Menunda revitalisasi sekolah sama saja dengan menunda hak anak atas pendidikan yang layak.

Pendidikan Vokasi yang Terkorbankan

Di tengah kebutuhan SDM terampil, pendidikan vokasi seharusnya menjadi prioritas utama. Namun, program penguatan pendidikan dan pelatihan vokasi juga termasuk yang tidak terdanai. Padahal, ini berhubungan langsung dengan kesiapan generasi muda menghadapi dunia kerja.

Ketiadaan anggaran untuk vokasi menimbulkan dilema serius. Indonesia bisa saja memiliki bonus demografi, tetapi tanpa keterampilan relevan, bonus itu berubah menjadi beban. Pendidikan vokasi seharusnya menjembatani antara sekolah dan dunia industri.

Pesan reflektifnya: jika negara mengabaikan pendidikan vokasi, maka cita-cita mencetak generasi produktif hanya akan berhenti pada slogan. Kritik ini bukan untuk melemahkan, melainkan mengingatkan urgensi investasi pada sektor yang paling dekat dengan kebutuhan pasar kerja.

Anak Tidak Sekolah: Ancaman Masa Depan

Penanganan anak tidak sekolah (ATS) seharusnya menjadi perhatian utama. Kompas.com mencatat program ini juga tak terakomodasi dalam anggaran 2026. Artinya, risiko bertambahnya jumlah ATS semakin besar, terutama di wilayah terpencil.

Anak yang tidak sekolah bukan hanya kehilangan hak belajar, tetapi juga menghadapi risiko keterpinggiran sosial. Mereka rentan menjadi pekerja anak, korban pernikahan dini, atau terjebak dalam lingkaran kemiskinan. Tanpa intervensi negara, masalah ini akan menjadi bom waktu sosial.

Refleksi mendalamnya, pendidikan bukan hanya tentang yang berada di bangku sekolah, tetapi juga mereka yang tercecer di luar sistem. Mengabaikan ATS sama dengan mengabaikan sebagian masa depan bangsa.

Penutup

Keterbatasan anggaran pendidikan 2026 mengajarkan bahwa niat baik tanpa eksekusi konkret hanya menghasilkan janji kosong. Delapan program prioritas yang tidak terdanai adalah alarm bagi semua pihak bahwa pendidikan masih belum menjadi prioritas nyata. Sebagaimana dikatakan Ki Hadjar Dewantara: "Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri, pendidik hanya dapat menuntun." Namun bagaimana menuntun jika jalan yang ditempuh penuh hambatan?

Pendidikan harus dilihat sebagai investasi jangka panjang, bukan beban fiskal sesaat. Kritik ini perlu diarahkan agar pemerintah, DPR, dan publik bersuara bersama, menuntut keadilan anggaran bagi sektor pendidikan. Sebab, tanpa keberanian mengalokasikan dana secara adil, cita-cita besar hanya akan tinggal wacana. Wallahu a'lam. 

Disclaimer: 

Artikel ini merupakan analisis penulis terhadap pemberitaan di media arus utama. Pandangan yang tertuang adalah opini pribadi, bukan sikap resmi lembaga.

Daftar Pustaka

  1. Kompas.com. (2025, 17 September). 8 Program Pendidikan yang Tidak Terdanai di 2026, Ada Tunjangan Guru Non-ASN. https://www.kompas.com/edu/read/2025/09/17/180718171/8-program-pendidikan-yang-tidak-terdanai-di-2026-ada-tunjangan-guru-non-asn
  2. Kompas.id. (2025). Mewujudkan Pendidikan Berkualitas. https://www.kompas.id/
  3. Tv Parlemen. (2025, 16 September). Rapat Kerja Komisi X DPR RI dengan Mendikdasmen Abdul Mu'ti. https://www.youtube.com/tvparlemen
  4. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2025). Data Anggaran Pendidikan Nasional. https://www.kemdikbud.go.id/
  5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. (2023). Alokasi Anggaran Pendidikan 20% APBN. https://peraturan.go.id/

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun