Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Investasi SDM atau Sekadar Simbolisme Kepemimpinan Global?

13 September 2025   15:28 Diperbarui: 13 September 2025   15:28 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Danantara Berangkatkan 36 Direksi ke Swiss untuk Ikuti Sekolah Bisnis Terkemuka (YouTube Kontan TV)

Investasi SDM atau Sekadar Simbolisme Kepemimpinan Global?

"Pemimpin sejati diuji bukan di ruang kelas, melainkan pada keberanian mengubah kenyataan."

Oleh Karnita

Pendahuluan

Mengapa negara terus menggelontorkan biaya besar untuk program pelatihan pejabat dan direksi di luar negeri? Pertanyaan ini mencuat kembali ketika Pikiran Rakyat (26 Agustus 2025) menurunkan laporan berjudul "Danantara Berangkatkan 36 Direksi ke Swiss untuk Ikuti Sekolah Bisnis Terkemuka." Program ini melibatkan IMD Business School, Lausanne, Swiss, yang memang dikenal sebagai salah satu sekolah bisnis papan atas dunia.

Di satu sisi, berita ini tampak membanggakan karena menunjukkan keseriusan membangun kapasitas kepemimpinan. Namun di sisi lain, publik tentu bertanya-tanya: apakah investasi ini akan benar-benar berbuah bagi perseroan dan masyarakat luas? Kritik atas efektivitas program semacam ini bukanlah hal baru, karena sering kali biaya besar tidak diikuti dampak nyata.

Ironisnya, hanya berselang beberapa pekan sebelumnya, pada Senin (11/8/2025), Joao Angelo De Sousa Mota mengundurkan diri dari jabatan Direktur Utama PT Agrinas Pangan Nusantara. Alasannya sederhana tapi getir: program ketahanan pangan yang ia rancang mandek enam bulan karena dana dari Danantara tak kunjung direalisasi. Kontras ini menyisakan sindiran pedas---dana untuk ke Swiss mengalir deras, tetapi urusan perut rakyat justru terkatung-katung.

Sekolah Bisnis dan Pertanyaan Efektivitas

Mengirim 36 direksi ke Swiss tentu menghabiskan dana yang tidak sedikit. Walau disebut sebagai investasi jangka panjang, publik patut menagih laporan dampak nyata yang terukur. Pernyataan CEO Danantara, Rosan Roeslani, soal mencetak pemimpin kelas dunia terdengar muluk jika tidak diikuti bukti implementasi.

Pesan strategisnya jelas: kapasitas kepemimpinan harus ditingkatkan. Namun, kritik mendasarnya adalah: apakah benar pelatihan singkat di luar negeri mampu mengubah budaya kerja, etos kepemimpinan, dan daya saing korporasi dalam jangka panjang? Tanpa mekanisme evaluasi yang ketat, program ini bisa sekadar menjadi "wisata akademik".

Refleksinya, negara sering terjebak dalam ilusi modernisasi melalui sertifikat dan gelar. Padahal, transformasi nyata justru terjadi ketika pemimpin mampu menghadapi kompleksitas di lapangan. Di sini, publik berhak menagih transparansi dan akuntabilitas atas investasi besar yang dikeluarkan.

Akomodasi dan Potensi Kesenjangan

Danantara mengklaim menanggung biaya akomodasi untuk persero menengah dan kecil yang tidak punya anggaran besar. Kebijakan ini memang terdengar adil dan visioner. Namun, tetap ada pertanyaan: siapa yang memastikan distribusi manfaat benar-benar setara dan tidak hanya menguntungkan kelompok tertentu?

Pesan yang ingin ditonjolkan adalah inklusivitas. Tetapi publik berhak khawatir jika kebijakan ini hanya menutup kritik soal pemborosan anggaran. Tanpa laporan terbuka, publik tidak tahu apakah subsidi akomodasi ini memang tepat sasaran.

Refleksinya, pengembangan SDM harus inklusif, tetapi juga transparan. Kritiknya, program yang katanya setara ini bisa berubah menjadi ajang elitisme baru bila tidak ada keterlibatan independen dalam evaluasi.

Jejaring atau Eksklusivitas Baru?

Danantara Berangkatkan 36 Direksi ke Swiss untuk Ikuti Sekolah Bisnis (Spiritriau.com)
Danantara Berangkatkan 36 Direksi ke Swiss untuk Ikuti Sekolah Bisnis (Spiritriau.com)

Managing Director Human Capital Danantara, Agus Dwi Handaya, menyebut jejaring antar pemimpin akan menjadi manfaat terbesar dari program ini. Benarkah jejaring tersebut nantinya terbuka untuk mempercepat kolaborasi lintas sektor, atau hanya menjadi lingkaran eksklusif para elite korporasi?

Pesan dari konsep jejaring memang kuat: kepemimpinan masa kini harus kolektif. Tetapi realitas di lapangan sering memperlihatkan bahwa jejaring seperti ini justru memperlebar jarak antara pengambil keputusan dan masyarakat. Alih-alih kolaboratif, ia bisa berubah menjadi menara gading.

Refleksinya, publik berhak skeptis terhadap retorika jejaring jika tidak ada hasil nyata bagi rakyat. Kritiknya: jejaring pemimpin harus diturunkan dalam kebijakan konkret yang menyentuh layanan publik, bukan sekadar foto bersama di forum internasional.

Kepemimpinan Digital atau Jargon Baru?

Program eksekutif lain, seperti CFO, CTO, hingga AI for Executive, terdengar modern dan futuristik. Namun publik sudah terlalu sering mendengar jargon transformasi digital tanpa melihat perubahan signifikan. Bukankah banyak perusahaan plat merah yang justru tertinggal dalam adopsi teknologi meski direksinya rajin mengikuti pelatihan?

Pesan utamanya: pemimpin memang harus siap menghadapi era digital. Namun kritiknya: jangan sampai program ini sekadar mempercantik CV para eksekutif. Tanpa penguasaan substansial dan komitmen untuk mengimplementasikan, pelatihan semacam ini hanya menambah deretan istilah asing dalam presentasi.

Refleksinya, bangsa ini butuh pemimpin yang memahami teknologi tidak hanya sebagai wacana, tetapi sebagai solusi nyata untuk efisiensi, pelayanan, dan keberlanjutan. Kritiknya jelas: jargon harus diuji lewat kinerja, bukan brosur program.

Investasi Jangka Panjang atau Ilusi Kemewahan?

Program ini dipromosikan sebagai investasi jangka panjang, tetapi kesan elitis sulit dihindari. Di tengah isu ketimpangan sosial, perjalanan belajar ke Swiss bisa dianggap mencolok dan jauh dari realitas rakyat kecil. Apakah benar tidak ada alternatif pelatihan berkualitas di dalam negeri yang lebih efisien?

Pesan pentingnya: pembangunan manusia memang harus menjadi prioritas. Namun kritiknya, program ini justru memperlihatkan pola lama: meyakini bahwa "kelas dunia" hanya bisa didapat dengan mengirim elite ke luar negeri. Padahal, investasi jangka panjang bisa juga dimulai dengan memperkuat ekosistem pendidikan dan pelatihan di tanah air.

Refleksinya, bangsa ini tidak boleh terjebak pada ilusi modernisasi berbasis perjalanan mewah. Investasi sejati adalah membangun sistem belajar yang bisa diakses oleh banyak orang, bukan hanya segelintir direksi.

Penutup

Program Danantara memberangkatkan 36 direksi ke Swiss memang tampak ambisius. Namun tanpa evaluasi, transparansi, dan keberanian menurunkan hasilnya ke akar rumput, program ini berisiko menjadi sekadar simbolisme kepemimpinan global.

Seperti diingatkan Mahatma Gandhi, "The future depends on what you do today." Publik kini menunggu: apakah investasi besar ini akan menjelma perubahan nyata, atau hanya menambah daftar panjang retorika modernisasi---sementara pada saat yang sama, program strategis ketahanan pangan justru terhenti, sampai seorang direktur utama memilih angkat kaki. Wallahu a'lam. 

Disclaimer: 

Artikel ini adalah opini penulis yang bersandar pada pemberitaan media. Pandangan dalam tulisan tidak mewakili redaksi, dan sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Daftar Pustaka

  1. Pikiran Rakyat. (2025, 26 Agustus). Danantara Berangkatkan 36 Direksi ke Swiss untuk Ikuti Sekolah Bisnis Terkemuka. https://www.pikiran-rakyat.com/ekonomi/pr-019601748/danantara-berangkatkan-36-direksi-ke-swiss-untuk-ikuti-sekolah-bisnis-terkemuka?page=all
  2. Antara. (2025). Pernyataan Rosan Roeslani tentang Program Top Gun Leadership Camp. https://www.antaranews.com
  3. Kompas. (2025). Transformasi SDM sebagai Pilar Pembangunan Ekonomi. https://www.kompas.com
  4. Katadata. (2025). Pentingnya Investasi SDM untuk Daya Saing Global. https://katadata.co.id
  5. The Jakarta Post. (2025). Leadership Development in Indonesia's State Enterprises. https://www.thejakartapost.com

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun