Refleksinya, negara sering terjebak dalam ilusi modernisasi melalui sertifikat dan gelar. Padahal, transformasi nyata justru terjadi ketika pemimpin mampu menghadapi kompleksitas di lapangan. Di sini, publik berhak menagih transparansi dan akuntabilitas atas investasi besar yang dikeluarkan.
Akomodasi dan Potensi Kesenjangan
Danantara mengklaim menanggung biaya akomodasi untuk persero menengah dan kecil yang tidak punya anggaran besar. Kebijakan ini memang terdengar adil dan visioner. Namun, tetap ada pertanyaan: siapa yang memastikan distribusi manfaat benar-benar setara dan tidak hanya menguntungkan kelompok tertentu?
Pesan yang ingin ditonjolkan adalah inklusivitas. Tetapi publik berhak khawatir jika kebijakan ini hanya menutup kritik soal pemborosan anggaran. Tanpa laporan terbuka, publik tidak tahu apakah subsidi akomodasi ini memang tepat sasaran.
Refleksinya, pengembangan SDM harus inklusif, tetapi juga transparan. Kritiknya, program yang katanya setara ini bisa berubah menjadi ajang elitisme baru bila tidak ada keterlibatan independen dalam evaluasi.
Jejaring atau Eksklusivitas Baru?
Managing Director Human Capital Danantara, Agus Dwi Handaya, menyebut jejaring antar pemimpin akan menjadi manfaat terbesar dari program ini. Benarkah jejaring tersebut nantinya terbuka untuk mempercepat kolaborasi lintas sektor, atau hanya menjadi lingkaran eksklusif para elite korporasi?
Pesan dari konsep jejaring memang kuat: kepemimpinan masa kini harus kolektif. Tetapi realitas di lapangan sering memperlihatkan bahwa jejaring seperti ini justru memperlebar jarak antara pengambil keputusan dan masyarakat. Alih-alih kolaboratif, ia bisa berubah menjadi menara gading.
Refleksinya, publik berhak skeptis terhadap retorika jejaring jika tidak ada hasil nyata bagi rakyat. Kritiknya: jejaring pemimpin harus diturunkan dalam kebijakan konkret yang menyentuh layanan publik, bukan sekadar foto bersama di forum internasional.
Kepemimpinan Digital atau Jargon Baru?