Senyum yang Hilang, Menyingkap Luka Perundungan di Sekolah
"Sekolah bukan hanya tempat belajar, tapi juga ruang aman yang harus kita jaga bersama." — anonym
Oleh Karnita
Pendahuluan
DPN, siswa baru SMA Negeri 1 Purwokerto, berubah drastis usai mengikuti Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). Dari anak yang ceria dan penuh semangat, kini ia lebih sering duduk terpaku dengan mata sayu dan senyum yang cepat pudar. Tubuhnya kurus gemetar, dengan bekas jeratan tali masih terlihat di tangan dan kaki, bahkan sempat muntah-muntah. Trauma mendalam membuatnya enggan tidur di kamar, memilih beristirahat sendiri di ruang tamu yang sepi. Keluarga dan sekolah pun berjuang memberi dukungan sambil terus mencari kebenaran di balik perubahan ini.
Pada 9 Agustus 2025, Kompas.com memuat laporan berjudul “Cemas dan Sedih Asiyah, Anaknya yang Ceria Jadi Pendiam Sepulangnya MPLS di SMA Purwokerto” yang mengangkat kasus dugaan perundungan selama MPLS di SMA Negeri 1 Purwokerto, Jawa Tengah. Kasus ini menyoroti betapa pentingnya lingkungan sekolah yang aman dan kondusif untuk perkembangan psikologis siswa. Laporan tersebut menjadi cermin penting dalam upaya mewujudkan sekolah bebas bullying di Indonesia.
Sebagai praktisi dan pemerhati pendidikan, saya melihat kasus ini sebagai pengingat bahwa sekolah harus menjadi ruang yang tak hanya membentuk karakter dan intelektual, tetapi juga menjamin perlindungan dan kenyamanan bagi semua siswa. Fenomena ini menegaskan kebutuhan sinergi kuat antara sekolah, keluarga, dan masyarakat dalam mencegah dan menangani perundungan. Di tengah kemajuan pendidikan, menjaga iklim belajar yang sehat dan suportif harus menjadi prioritas utama. Artikel ini mengajak pembaca untuk mengkaji fenomena ini lebih dalam sekaligus mencari solusi konstruktif.
1. Realitas Perundungan di Sekolah: Fenomena dan Dampaknya
Kasus yang dialami siswa tersebut menunjukkan bahwa perundungan masih menjadi persoalan serius di sekolah-sekolah Indonesia. Bentuk perundungan bisa fisik, verbal, maupun psikologis, yang berpotensi meninggalkan luka mendalam bagi korban. Perubahan perilaku drastis seorang siswa dari ceria menjadi pendiam memperlihatkan dampak psikologis bullying yang perlu mendapat perhatian.
Fenomena ini harus menjadi perhatian bersama bagi sekolah dan pemerintah untuk meningkatkan pencegahan dan penanganan bullying. Selain merugikan korban secara individual, perundungan juga merusak iklim belajar yang kondusif bagi seluruh siswa. Oleh sebab itu, sekolah perlu memiliki mekanisme pengawasan dan pengaduan yang efektif.