Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Roman

Lintang Kemukus Dini Hari: Ronggeng, Perempuan, dan Luka Sejarah yang Tak Pernah Usai

19 Juli 2025   20:07 Diperbarui: 19 Juli 2025   20:07 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Aku bukan milik Dukuh Paruk, tapi luka-luka dari sana tak pernah selesai di tubuhku." (dok. Goodreads)

Lintang Kemukus Dini Hari: Ronggeng, Perempuan, dan Luka Sejarah yang Tak Pernah Usai

"Aku bukan milik Dukuh Paruk, tapi luka-luka dari sana tak pernah selesai di tubuhku."

Oleh Karnita

Pendahuluan

Dini hari menyelimuti Dukuh Paruk dengan kabut lembab yang menggantung seperti rahasia yang tak kunjung terucap. Di kejauhan, suara gamelan tua masih samar terdengar dari balik pepohonan yang dulu menjadi saksi pentas ronggeng. Aroma tanah basah dan bara kayu bekas dapur menyusup ke setiap sudut rumah bambu. Di tengah sunyi itu, Srintil duduk termangu di serambi, matanya menatap kosong ke arah makam Ki Secamenggala yang perlahan terkubur semak. Tak ada yang benar-benar tinggal di Dukuh Paruk kini, kecuali kenangan dan luka-luka yang mengendap.

Lintang Kemukus Dini Hari, novel kedua dari trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, tak sekadar menutup kisah Srintil, tapi mengabadikan kepedihan sejarah, tubuh perempuan, dan bayang-bayang kekuasaan dalam satu tarikan napas. Dalam lanskap Indonesia tahun 1960-an yang penuh gejolak, Srintil menjadi saksi hidup yang diam dan luka yang terus berdarah.

Dalam realitas pasca-G30S, Ahmad Tohari memotret sisi terdalam dari penyintas yang kehilangan suara: mereka yang dituduh, dipenjara, diasingkan, lalu dibungkam oleh sejarah. Lintang Kemukus bukan hanya catatan kesenian ronggeng dan tragedi politik, tapi juga renungan eksistensial: bagaimana perempuan, tubuh, dan harga diri dipertaruhkan di tengah ambisi ideologi dan represi.

Sinopsis Novel  Lintang Kemukus Dini Hari

Dukuh Paruk kehilangan cahaya. Rasus, satu-satunya lelaki yang membuat Srintil merasa lebih dari sekadar ronggeng, pergi tanpa pamit. Kepergian itu merenggut keteguhan Srintil. Ia tak lagi naik pentas, menolak disentuh lelaki, dan menepi dari kehidupan yang dulu menjadikannya pusat perayaan. Masyarakat geger, Nyai Kartareja risau, tapi Srintil telah mengambil satu keputusan sunyi: menjadi perempuan yang berdaulat atas tubuh dan hatinya.

Ketika ronggeng tak lagi menjadi panggilan jiwa, Srintil justru ditarik kembali oleh lingkaran hasrat dan kekuasaan. Marsusi, seorang mandor perkebunan, mencoba membeli cintanya dengan kalung emas. Tapi Srintil menolak, bahkan ketika itu berarti dimusuhi Nyai Kartareja. Ia memilih diam dan sakit, menggantungkan kasih sayang pada seorang bocah bernama Goder. Namun jalan sunyi tak membuat hidupnya tenang. Ia terus bergulat dengan bayang-bayang masa lalu, seakan tak pernah benar-benar lepas dari tubuh yang pernah dijadikan alat oleh desa dan para lelaki.

Ketenaran Srintil justru membuatnya diseret masuk ke pusaran politik. Pak Bakar, tokoh partai dari luar desa, memanfaatkan ronggeng sebagai alat propaganda. Srintil dan rombongannya diberi pengeras suara, panggung, dan atribut partai. Dukuh Paruk pun berubah wajah. Srintil menjadi simbol gerakan, meski ia sendiri tak benar-benar mengerti permainan ideologi. Ketika konflik politik memuncak, ronggeng yang dulu suci menjadi bukti keterlibatan dalam perkara yang tak pernah mereka pahami.

Puncaknya tragis: Dukuh Paruk dibakar, para tokohnya ditangkap, dan Srintil dipenjara bersama Kartareja. Mereka hanya seniman rakyat, tapi dihukum seperti pengkhianat negara. Tubuh Srintil kembali terpenjara---bukan lagi oleh panggung atau lelaki, melainkan oleh sejarah yang membungkam dan negara yang tak peduli pada kebenaran kecil di balik gegap gempita politik besar.

Setelah semua hangus, yang tersisa hanya puing dan sunyi. Srintil, perempuan yang dulu dipuja-puja, kini menjadi lambang luka kolektif: tentang bagaimana kesenian dijadikan senjata, bagaimana perempuan diperalat, dan bagaimana sejarah menghapus yang tak bersuara. Lintang Kemukus Dini Hari bukan hanya penutup kisah, tapi juga pelajaran pahit tentang kekuasaan, trauma, dan kemanusiaan yang terpinggirkan.

Srintil dan Ketika Perempuan Tak Lagi Memiliki Tubuhnya Sendiri

Kisah dibuka dengan kehilangan besar: Rasus pergi tanpa pamit. Sejak itu, Srintil tak lagi utuh. Ia mulai menggugat ulang peran dirinya sebagai perempuan dan ronggeng. Dulu, tubuhnya adalah alat kesenian dan perantara kenikmatan laki-laki. Namun, sejak Rasus hadir, ia mengenal makna cinta yang tak transaksional. Kepergian Rasus memicu krisis identitas: Srintil berhenti manggung, menolak disentuh lelaki, dan menepi dari dunia yang dulu menjadikannya pusat pujaan.

Perubahan Srintil menimbulkan kegemparan. Masyarakat mencibir, Nyai Kartareja gusar, dan para lelaki geram. Namun Srintil bersikukuh. Ia ingin menjadi perempuan yang berdaulat atas tubuh dan pilihannya. Penolakannya pada Marsusi---bahkan setelah diberi kalung emas seperti yang dulu ia dambakan---adalah pernyataan simbolik: Srintil tak bisa lagi dibeli. Dalam dunia patriarki, ini adalah bentuk pemberontakan.

Geger Dukuh Paruk dan Manipulasi Kekuasaan Lokal

Pak Bakar hadir sebagai tokoh kunci dari luar yang membawa perubahan besar. Ia menyusup ke kehidupan Dukuh Paruk lewat pentas seni, pengeras suara, dan pidato-pidato penuh propaganda. Lambang partai menyelinap masuk bersama alat-alat bantu ronggeng. Srintil, yang semula pasif, perlahan menjadi wajah simbolik dari kebangkitan desa.

Namun, di balik gemerlap panggung, tersembunyi manipulasi. Pentas yang dulu bermakna budaya berubah jadi alat legitimasi politik. Pak Bakar memanfaatkan pesona Srintil untuk membungkus ideologi. Ini menjadi metafora bagaimana kesenian lokal dijerat dalam politik praktis. Srintil, sekali lagi, menjadi medium yang dipakai tanpa persetujuannya penuh.

Kegagalan Cinta dan Trauma Menjadi Istri Simbolik

Ketika Srintil akhirnya mencoba peran baru sebagai gowok bagi Waras di Alaswungkal, ia seolah hendak menebus diri. Tapi upaya itu gagal. Waras, lelaki muda tanpa pemahaman birahi dan emosi matang, tak mampu menjadi laki-laki dewasa. Srintil hanya bertahan tiga hari. Yang ia rasakan bukan kekosongan seksual, melainkan kehampaan eksistensial: ia gagal sebagai perempuan, bukan karena tak memberi kenikmatan, tapi karena tak dihargai sebagai sosok utuh.

Dalam simbolisasi yang halus, Tohari menggambarkan Srintil sebagai perempuan yang telah kehilangan fungsi simboliknya: bukan lagi penghibur, bukan pula pasangan. Ia menjadi "sisa" dari sistem sosial yang menolak mengakui trauma, tubuh, dan pilihan perempuan.

Tragedi Sejarah dan Dihapusnya Peran Perempuan dalam Narasi Nasional

Trilogi Ronggeng Dukuk Paruk karya Ahmad Tohari (dok. Jernih.co)
Trilogi Ronggeng Dukuk Paruk karya Ahmad Tohari (dok. Jernih.co)

Puncak tragedi terjadi saat Dukuh Paruk terbakar. Srintil, bersama Nyai Kartareja, Sakarya, dan lainnya, ditahan karena dituduh berafiliasi dengan PKI. Padahal mereka hanyalah seniman rakyat yang terjebak dalam arus besar sejarah yang tak mereka pahami. Pementasan ronggeng menjadi bukti yang memenjarakan.

Ahmad Tohari melalui Srintil memotret luka sejarah yang diabaikan negara. Perempuan yang tak bersalah dipenjara, desa-desa dibumihanguskan, dan tubuh-tubuh tak bersuara dihilangkan dari arsip nasional. Sejarah hanya mencatat yang kuat, bukan yang benar. Srintil, si Ronggeng, menjadi korban dua kali: pertama oleh budaya patriarki, kedua oleh politik negara.

Ronggeng, Identitas Budaya yang Dikorbankan

Ronggeng sebagai kesenian rakyat awalnya adalah ekspresi spiritual, bukan sensual. Namun sistem ekonomi dan kekuasaan telah menggeser maknanya menjadi komoditas hiburan. Srintil adalah wajah dari transisi ini. Ia tumbuh dari ronggeng spiritual menjadi ronggeng kapital. Ketika ia ingin merebut kembali makna, masyarakat menolaknya. Ia tak lagi dianggap Ronggeng sejati.

Tohari menegaskan bahwa tragedi Srintil juga adalah tragedi identitas budaya. Ketika ronggeng dijadikan alat kekuasaan, maka nilai-nilai luhurnya dikorbankan. Srintil hanyalah perpanjangan dari hilangnya kesakralan budaya di tengah permainan kekuasaan.

Keunggulan dan Kelemahan Novel

Keunggulan novel ini terletak pada kedalaman psikologis dan historis tokohnya. Ahmad Tohari berhasil menggabungkan narasi mikro (perempuan dan tubuh) dengan narasi makro (sejarah dan kekuasaan). Bahasanya puitis, deskripsinya halus namun tajam. Ia tak menggurui, tapi mengalirkan luka dengan tenang. Simbol-simbol lokal seperti warung, daun sirih, atau peristiwa sehari-hari menjelma jadi medium refleksi eksistensial yang kuat dan bermakna. Ketika tokoh-tokoh perempuan bersuara melalui sunyi, kita justru mendengar gaung perlawanan yang mendalam---nyaris mistis.

Namun, kelemahan bisa ditemukan dalam beberapa bagian yang repetitif, serta ritme yang kadang melambat di tengah. Beberapa tokoh sampingan kurang tergarap secara utuh, dan akhir cerita tak memberikan resolusi yang memuaskan secara naratif, meski justru hal itulah yang memperkuat pesan tragisnya. Terdapat pula beberapa bagian deskriptif yang terlalu berlarut-larut, sehingga menghambat ketegangan emosi pembaca. Meski gaya naratifnya konsisten, repetisi pada tema dan metafora bisa melemahkan daya pukau di beberapa titik. Meskipun demikian, kelemahan tersebut tidak cukup besar untuk mengaburkan kekuatan utama novel ini: keberaniannya meraba luka sejarah lewat bahasa yang hening namun menghunjam.

Penutup

"Aku ingin berhenti menjadi ronggeng, karena aku ingin menjadi perempuan..." 

Barangkali kalimat itulah yang paling mewakili seluruh trilogi ini. Lintang Kemukus Dini Hari adalah novel tentang luka perempuan, kekerasan sejarah, dan kegagalan sistem mengenali suara-suara kecil yang terluka.

Dengan latar pedesaan yang sunyi namun penuh gema sejarah, Lintang Kemukus Dini Hari menyeret kita pada pertanyaan-pertanyaan eksistensial: siapa yang berhak menentukan makna hidup seseorang? Srintil, yang sebelumnya dilihat sebagai simbol kesuburan dan penghibur, di akhir perjalanan justru menjadi simbol perlawanan sunyi terhadap sistem yang menelanjangi martabat manusia. 

Dalam keputusasaannya, ia menemukan bentuk keberanian yang lain---berhenti menjadi apa yang dikehendaki orang lain, dan mulai menjadi dirinya sendiri. Novel ini tak memberi penyelesaian manis, tapi menghadirkan kejujuran pahit yang justru terasa menyembuhkan.

Daftar Pustaka 

Tohari, Ahmad. (2000). Lintang Kemukus Dini Hari. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000. 

Faruk. (2007). Sastra Kontekstual: Pandangan dan Kritik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 

Kompas. (2020, 30 September). Luka Sejarah dan Tragedi G30S: Narasi Alternatif dari Penyintas. https://www.kompas.id 

Tempo. (2021, 17 April). Ronggeng, Tubuh Perempuan, dan Sejarah yang Diabaikan. https://www.majalahtempo.co

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun