Ketenaran Srintil justru membuatnya diseret masuk ke pusaran politik. Pak Bakar, tokoh partai dari luar desa, memanfaatkan ronggeng sebagai alat propaganda. Srintil dan rombongannya diberi pengeras suara, panggung, dan atribut partai. Dukuh Paruk pun berubah wajah. Srintil menjadi simbol gerakan, meski ia sendiri tak benar-benar mengerti permainan ideologi. Ketika konflik politik memuncak, ronggeng yang dulu suci menjadi bukti keterlibatan dalam perkara yang tak pernah mereka pahami.
Puncaknya tragis: Dukuh Paruk dibakar, para tokohnya ditangkap, dan Srintil dipenjara bersama Kartareja. Mereka hanya seniman rakyat, tapi dihukum seperti pengkhianat negara. Tubuh Srintil kembali terpenjara---bukan lagi oleh panggung atau lelaki, melainkan oleh sejarah yang membungkam dan negara yang tak peduli pada kebenaran kecil di balik gegap gempita politik besar.
Setelah semua hangus, yang tersisa hanya puing dan sunyi. Srintil, perempuan yang dulu dipuja-puja, kini menjadi lambang luka kolektif: tentang bagaimana kesenian dijadikan senjata, bagaimana perempuan diperalat, dan bagaimana sejarah menghapus yang tak bersuara. Lintang Kemukus Dini Hari bukan hanya penutup kisah, tapi juga pelajaran pahit tentang kekuasaan, trauma, dan kemanusiaan yang terpinggirkan.
Srintil dan Ketika Perempuan Tak Lagi Memiliki Tubuhnya Sendiri
Kisah dibuka dengan kehilangan besar: Rasus pergi tanpa pamit. Sejak itu, Srintil tak lagi utuh. Ia mulai menggugat ulang peran dirinya sebagai perempuan dan ronggeng. Dulu, tubuhnya adalah alat kesenian dan perantara kenikmatan laki-laki. Namun, sejak Rasus hadir, ia mengenal makna cinta yang tak transaksional. Kepergian Rasus memicu krisis identitas: Srintil berhenti manggung, menolak disentuh lelaki, dan menepi dari dunia yang dulu menjadikannya pusat pujaan.
Perubahan Srintil menimbulkan kegemparan. Masyarakat mencibir, Nyai Kartareja gusar, dan para lelaki geram. Namun Srintil bersikukuh. Ia ingin menjadi perempuan yang berdaulat atas tubuh dan pilihannya. Penolakannya pada Marsusi---bahkan setelah diberi kalung emas seperti yang dulu ia dambakan---adalah pernyataan simbolik: Srintil tak bisa lagi dibeli. Dalam dunia patriarki, ini adalah bentuk pemberontakan.
Geger Dukuh Paruk dan Manipulasi Kekuasaan Lokal
Pak Bakar hadir sebagai tokoh kunci dari luar yang membawa perubahan besar. Ia menyusup ke kehidupan Dukuh Paruk lewat pentas seni, pengeras suara, dan pidato-pidato penuh propaganda. Lambang partai menyelinap masuk bersama alat-alat bantu ronggeng. Srintil, yang semula pasif, perlahan menjadi wajah simbolik dari kebangkitan desa.
Namun, di balik gemerlap panggung, tersembunyi manipulasi. Pentas yang dulu bermakna budaya berubah jadi alat legitimasi politik. Pak Bakar memanfaatkan pesona Srintil untuk membungkus ideologi. Ini menjadi metafora bagaimana kesenian lokal dijerat dalam politik praktis. Srintil, sekali lagi, menjadi medium yang dipakai tanpa persetujuannya penuh.
Kegagalan Cinta dan Trauma Menjadi Istri Simbolik
Ketika Srintil akhirnya mencoba peran baru sebagai gowok bagi Waras di Alaswungkal, ia seolah hendak menebus diri. Tapi upaya itu gagal. Waras, lelaki muda tanpa pemahaman birahi dan emosi matang, tak mampu menjadi laki-laki dewasa. Srintil hanya bertahan tiga hari. Yang ia rasakan bukan kekosongan seksual, melainkan kehampaan eksistensial: ia gagal sebagai perempuan, bukan karena tak memberi kenikmatan, tapi karena tak dihargai sebagai sosok utuh.