Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Gemini Syndrome, Episode Berdansa di Kota Romantis (Dua Puluh Lima)

5 Maret 2025   14:46 Diperbarui: 5 Maret 2025   14:46 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ciwidey  1950-an- Sumber Foto: https://indonesia-zaman-doeloe.blogspot.com/2018/04/industri-pengolahan-belerang-di-kawah.html

Ciwidey, 29 Oktober 1957 malam bada Isya

"Widy! Kamu sama Jilly, dan satu lagi..!" Syafri sendiri membuka pintu  rumah  panggung berdinding bambu  cukup besar itu. Pamannya Emil Tahar juga ikut menyambutnya.

"Saya Ambar, Suhesti Ambarwati tepatnya, kata perempuan hitam manis itu mengulurkan tangan, Syafri menyambutnya.

"Hey, nggak lama-lama!" Widy mengolok, tapi dia sama sekali tidak cemburu.

Emil Tahar pria berbadan besar itu baru pertama kali bertemu Widy, pengusaha perkebunan juga mempunyai sebuah apotek di Kota Bandung dan toko.  Syafri kini jadi tangan kanannya. Istrinya Meiti, juga ikut datang tergopoh-gopoh dia melihat Widy.

"Euuy, keponakan kamu juga dapat orang Sunda!" serunya. "Maaf kami tidak datang ke pernikahan kalian, karena kami waktu itu lagi ke Lampung."

Dua orang pegawai Emil membantu membawa kopor Widy, Jilly dan Ambar. Mereka langsung masuk ke ruang tamu, ternyata sudah ada Hein dan Rinitje.

"Surprise! Kang Angga juga ada, kami menginap malam ini karena juga mengurus perkebunan. Kalau aku juga urus bisnis balerang," kata Hein.

"Kang Angga?"

"Lagi keluar bersama Yoga, nanti bergabung."

Selang berapa saat Mirna masuk bersama ayahnya yang masih memegang tongkat dan kantong diperutnya yang diikat.

"Mereka boleh ikut?"

"Boleh," kata Meiti ramah. " Ada berapa kamar kosong."

"Ayah berkeras ingin keluar kota.  Seminggu di rumah sakit dan di rumah membuatnya bosan," kata Mirna

Sersan Mayor Setyo ayah Mirna, memberi hormat.

"Ya, kami juga mau tidak menginap!" Letnan Herlanda dan Daus serta seorang serdadu ikut masuk.

"Wah, ramai nih...! Tetapi cukup aman kok, ada patrol tentara dan OKD di Ciwidey ini," tutur Emil.

Mereka kemudian dipersilahkan makan di saung yang cukup besar. Setyo menolak digadeng Mirna.  Tetapi akhirnya membiarkan seorang serdadu  mendukungnya.

"Namanya Paul, dia orang Keimana," kata Jilly." Jadi di perjalanan kami mengobrol soal kampung masing-masing."

Paul yang jangkung berkulit hitam hanya tersenyum.

Mereka makan ikan bakar dan ayam bakar dengan nasi liwet hangat, serta bajigur yang panas pula.

"Sisihkan untuk Adi dan Bisma, yang jaga di luar Paul!" perintah Herlanda.

Rupanya paman Syafri  sudah lama menjajaki perkebunan stroberi dan jamur di Ciwidey.  Mereka melakukan survei lahan. Rumah itu milik Paman Syafri dan kerap disewakan memiliki sekitar sepuluh kamar.

Setengah jam ketika makan, Angga bergabung bersama anak Emil dan Meiti,  Didi Bagus, serta Yoga.

"Jenis jamurnya apa?" tanya Serma Setyo.

"Tiram dan asparagus.  Tetapi yang kedua sedang dijajaki. Kami sedang mencoba mendatangkan bibit dari Batu, Malang. Juga jeruk di sana yang tumbuh di ketinggian," ujar Emil.

"Wah, mengapa tidak bilang dari dulu Kang Syafri, bisa buka usaha restoran serba jamur, bule-bule Belanda suka itu," sela Widy.

"Kalau kami masih diperbolehkan di Indonesia," kata Hein.

"Kalian masih di sinilah," kata Syafri optimis.

"Yang lebih genting kalau Minang dan Minahasa bergolak keras," kata Rinitje.

"Nah, itu dia! Bisa saling berhadapan tentara republik dengan tentara republik," kata Herlanda,

"Kawan aku di sana banyak yang di bawah komando Ahmad Husein," kata Daus.

"Aku nggak kenal. Tetapi tahu dia," kata Setyo.

"Ada sepupu aku  di sana yang bolak balik jual hasil Bumi ke luar negeri, hasilnya dibangun untuk daerah tidak dikirim ke pusat," kata Syafri.

"Kalau di Minahasa soal pembagian hasil Kopra," timpal Rinitje.

"Juga gara-gara komunis, bikin runyam," gerutu Harland. "tetapi mereka menempel Sukarno."

"Ya, sudah pukul sembilan malam, kalau mau nongkrong silahkan. Yang salat Isha, ada langgar di kampung tetapi di kamar tersedia sejadah," kata Meiti.

"Jadi bagaimana nih, aku dan Widy satu kamar, Jilly dan Ambar satu kamar Miyrna sama Rinitje? Hein dan Kang Angga satu kamar, Yoga bisa sama Didi." ujar Syafri. "Pak Setyo bisa sama  Bang Paul, Uda Daus sama Kang Herland. Kalian kan cocok."

"Oke," kata Setyo.

"Boleh, tapi Paul gantian nanti tidur sama yang jaga di luar!"

"Siap Dan!"

"Bisa bertiga."

"Bisa," kata Emil. "Nanti kami kasih Kasur tambahan."

"Lalu aku sama siapa!!!" terdengar suara anak kecil. Kinan.

Mereka semua terperanjat. Kopral Adi tergopoh-gopoh mengejarnya.

"Barudak, kamu ngumpet di mana!" kata Herlanda.

"Maaf Dan, dia ada di bagian belakang Jip  yang saya kemudikan, di antara ransel-ransel lalu ditutupi terpal, ketiduran. Pas saya bangunkan, dia lari ke tempat ini!"

Herland geleng kepala. "Bisa jadi

Widy melotot. Kinan hanya nyengir.

"Besok kau sekolah!" ujar Widy.

"Biarin. Masa Teteh jalan-jalan, aku tidak boleh." Kinan mulai kedinginan.

"Nggak bawa baju lagi?"

"Pakai baju Devi saja. Dia sepantaran, anak kami yang bungsu."

Jilly dan Ambar tertawa terbahak. "Memangnya kamu tidak bandel seperti  adik itu waktu kecil?"

"Ohh, lebih-lebih dan menyusahkan saya. Malah waktu perang dulu tahu-tahu dia sudah di tenda," keluh Herland.

 Widy akhirnya tertawa. "Kamu sendiri  di kamar berani?"

"Berani!" kata Kinan.

"Ya, sudah sama kita saja," kata Syafri.

Kinan bersorak. "Tidurnya di tengah ya, antara Teteh Widy dan Om Syafri."

"Besok pulang sama Teteh. Waduh, bilang sama Ayah dan Ibu," keluh Widy.

"Ah, mereka paham Kelakuannya nular dari kamu," kata Herland.

"Daah makan dulu Nak! Kamu pastil lapar! Masih banyak ikan dan ayam bakar," kata Meiti ramah.

Kinan tanpa malu-malu menyantap sepotong paha ayam, nasi dan meneguk bajigur dengan lahap.

"Kelakuannya sama seperti Medina waktu kecil," sela Emil. "Saya dengar kamu dan dia cocok."

"Iya, sih," kata Widy tertawa.

Ciwidey, 30 Oktober 1957 dini hari

Kopral Adi Pramana dan Pratu Made Agung Jaya menyantap nasi liwet dan gurame bakar dengan lahap bersama sejumlah OKD. Mereka baru  saja meneguk bajigur hangat disusul kopi ketika melihat ada beberapa sosok di balik rimbunan pohon.

"Tidak biasanya Kang, tempat ini sepi. Belum ada gangguan gerombolan sih berapa bulan ini," ujar Karmin, seorang OKD.

"Kita bangunankan Komandan?" tanya Pratu.

"Nggak, periksa dulu, di dalam banyak perempuan dan anak-anak, kalau bisa diselesaikan tanpa berisik," kata Kopral Adi.

Adi meminta Made dan OKD berhaga, sementara dia bersama seorang OKD merayap ke dekat semak.  Jantungnya berdegup ternyata ada beberapa anggota gerombolan sedang mengintai tidak mengetahui kehadirannya. 

"Setyo ada di sana menurut laporan pengintai, dia masih bisa berjalan," kata salah seorang. "Aku belum puas kalau belum buat dia cacat."

"Mengapa anjeun dendam sekali sama Setyo, Kangmas Dewanto?" tanya seorang di antara mereka.

"Sakit hati Lek, apa hebatnya dia?  Dia buat laporan buruk tentang aku selama jadi bawahannya hingga aku tak terpilih jadi tentara," kata yang disebut Dewanto. "Sayang ketika aku mau pateni Si Setyo ada yang menyelematkan dia sepertinya bukan tentara?"

"OKD? Jago sekali dia bunuh berapa orang kita sekaligus."

Adi dengan gemetar membidik gerombolan itu  namun ada yang di belakangnya menodongkan senjata.

"Kamu pikir kamu orang cerdik ya?"  terdengar suara seorang bule menodongkan pistol.

"Ah, Letnan Van Ham,

Adi digelandang ke dekat Dewanto yang memimpin kelompok. Dia tersenyum sinis. "Iya, ini anak buah Setyo dulu, aku kenal Si Adi."

Dia mengeluaran pisaunya. Sementara  dua orang anggota gerombolan memegang lengan Kopral Adi dengan kuat.

"Aku mau buat tanda mata di pipinya," katanya.  "Lalu aku buat cacat dia."

"Nama OKD yang jago itu Daus!" terdengar suara dan menembak salah seorang anggota gerombolan yang memegang Adi.  Kesempatan itu digunakan Adi untuk menghindar dan membanting seorang lagi memegang dirinya.

Dewanto menoleh dan Daus langsung menerkamnya.

Bule itu dan anak buahnya menembak serdadu dan OKD yang berdatangan. Salah seorang OKD jatuh.  Letnan Harland segera datang dan ikut  menangkap Dewanto. Sementara Made menembak seorang anggota gerombolan.

Pasukan TNI berdatangan.  Mereka yang masuk perangkap, beberapa anggota gerombolan tertembak, namun Van Ham dan beberapa anak buahnya berhasil lolos.  Mereka dikejar.

Paginya Dewanto diletakan di gudang bersama sejumlah OKD.  Sersan Mayor Setyo tertatih-tatih melihatnya. Dia tampak kecewa. "Jadi ini soal dendam pribadi, kamu ikut gerombolan itu sakit hati?"

"Pengadu! "

"Ya, kau gedor toko orang Tionghoa di Malang itu salah Lek! Kamu bikin rusak nama tentara, tidak ubahnya begal sekarang merampok orang desa"

"Perutmu rusak Setyo, tembakanku yang merusaknya," ejak Dewanto.

"Apa perlu aku rusak perutnya juga?" kata Daus mengeluarkan pisau.

"Jangan, biar dia diadili di makamah militer!  Bawa mereka!" perintah Harland pada anak buahnya.  Rupanya sjeumlah serdadu ditempatkan di posisi tersembunyi. 

Setyo mengacungkan jempol pada Daus. "Siasatmu untuk menjebak gerombolan itu cerdas  dengan membawaku kemari tanpa membahayakan orang sipil."

"Aku punya feeling, Paman Setyo diincar secara pribadi. Mereka bukan bagian dari DI/TII tetapi hanya petualang sakit hati yang mendompleng," ujar Daus. "Meskipun yang Belanda itu  mungkin simpatisan Kastosuwiryo."

"Tapi untuk apa, tidak paham aku," kata Harland. 

"Masih ada Belanda tidak terima kehilangan Indonesia, itu satu. Dua, dia ingin menunjukkan Belanda lebih pintar."

"Gila, meninggalkan keluarga.

"Mereka tidak punya keluarga dan tidak tahu mau ngapain kalau pulang ke Belanda," kata Daus. 

Lalu mereka menoleh pada Setyo.

"Mereka yang di rumah tidak tahu?" tanya Setyo.

"Nggak lah, mereka dengar tembakan, tetapi sudah biasa mereka dengar. Mereka terlalu capai dan makan enak hingga lelap tidurnya. Cuma kehadiran Kintan nyaris mengacaukan rencana," ujar Harland.

 "Mirna pun nggak curiga," ucap Setyo. "Berisiko, tetapi itu rencana cerdas dan mereka kena!"

Pagi setelah mandi dan  sarapan Widy, Kintan, Syafri, Hein, Yoga, Angga, Rinitje, Jilly dan Ambar termasuk Paman Syafri,  Emil Tahar dan  Meiti, serta orang sipil diminta  meninggalkan Ciwidey ke Bandung. Akhirnya mereka tahu, tetapi maklum. Untuk sementara tidak ada yang boleh masuk Ciwidey dulu.

Meskipun  Widy, Syafri, Mirna Jilly dan Ambar  diperbolehkan jalan-jalan di kawah putih dengan pengawalan. Apalagi Kintan merengek ikut, dia tak henti-hentinya berseru gembira. Hanya dia tidak mengerti ada kejadian yang membuat mereka dipulangkan.

"Dasar Barudak nakal, awas kalau kau bolos lagi!" Widy menjewer kupingnya.

"Ya, tetapi Kintan boleh jalan-jalan dengan Om Syafri, Teteh Widy tidak boleh ikut yaa?"

"Ya, anak kecil ini cemburu!" Angga tertawa.

"Boleh, nilai rapotmu harus rata-rata 7 ke atas ya!" kata Syafri. Diikuti acungan jempol dari Widy yang sudah pasrah.

"Siap!" katanya centil.

Mirna dan Setyo ikut jip yang dikemudikan Daus dan berapa tentara. Sementara Angga,Hein, Rinitje dengan Yoga satu mobil.  Widy, Syafri dan Kintan di motor gandeng.  Mobil Emil Tahar dan Meiti dan anaknya mengikuti. Mereka dikawal tentara ke Bandung.

Sepanjang perjalanan Kintan tak henti-hentinya berceloteh sambil menyantap stroberi dan kentang goreng di samping Widy.

"Jangan banyak-banyak sakit perut!" Widy memplototi. Dia dan Syafri masih memikirkan untuk ngomong sanma ayah dan ibunya agar Kinan tidka terlalu dimarahi. (Bersambung)

Irvan Sjafari

Sumber Foto:

https://indonesia-zaman-doeloe.blogspot.com/2018/04/industri-pengolahan-belerang-di-kawah.html

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun