Nyi Iteung ini lebih berani dari yang saya duga.
Kami berdua diberi tumpangan di sebuah jip, langsung disupiri sendiri oleh Kapten Hari Jumanto. Dia rupanya dia masih penasaran kami berani naik keTangkubanparahu dengan jalan hutan tanpa melapor dulu ke pos atau minta bantuan keamanan. Kami bukan saja diantar ke Lembang, tetapi ke kota Bandung. Tengah hari kami tiba, bahkan dia mentraktir kami makan di sebuah kedai dekat markas Siliwangi.
“ Pindah ke Siliwangi, Har?’ tanya saya.
“ Nggak. Aku kebetulan lagi cuti. Istri dan anakku mau melihat Tangkubanparahu dan jalan-jalan di Bandung,” jawabnya.
“ Jadi survei dulu.”
“ Iya, diantar Kang Adang,” katanya menepuk pundak seorang serdadu Siliwangi di sampingnya.
Kami makan bersama di kedai makanan Sunda itu. Kemudian saya mengantarkan Dyah ke tempat kosnya di kawasan Dago setelah salat di Masjid Agung dekat alun-alun. Lalu saya kembali ke penginapan di Pasirkaliki.
***
Laporan yang ditulis oleh Dyah Wahyuni saya bawa ke Jakarta sorenya dan malam harinya tiba. Langsung saya ke kantor sebuah surat kabar. Pimpinan Redaksi saya terkagum-kagum membaca tulisan Dyah, yang minta nama samaran sebagai Nyi Iteung.
“Dia mengingatkan saya pada SK Trimurti, tetapi tulisannya lebih banyak soal perjalanan petualangan,”katanya. “Mengapa dia tidak menulis soal kaumnya, seperti Nilakusuma di Pikiran Rakyat awal 1950-an?”
“Saya tidak tahu. Mungkin dia seorang perempuan yang ingun berbuat saja mencapai apa yang diinginkan dan tidak cerewet mengeluhkan nasibnya di surat kabar, karena tidak akan membawa perubahan apa-apa terhadap nasib kaumnya,” kata saya.