“Kapan lagi Kang!” katanya tersenyum. ”Kita bisa dapat berita bagus!”
Nyi Iteung lebih punya bakat daripada saya.
Entah Dyah punya naluri atau tidak. Sebuah jip lagi datang setelah sepuluh menit tembak menembak. Jip itu berisi empat tentara yang segera meloncat turun. Gerombolan itu lari. Tampaknya seorang ada yang tertembak. Tubuhnya diperiksa empat tentara itu.
“Kadiyek!” sahut seorang tentara melihat kami hanya melongo dari jauh.
Saya dan Dyah segera berlari ke tempat mayat anggota gerombolan itu.
“Wong Edan kamu Ikhsan!” Rupanya salah seorang tentara itu mengenal saya. Saya memperhatikan rautnya, sebaya saya. Astaga? Dia Kapten Hari Jumanto, yang saya kenal waktu di Gunung Kidul, meliput geriliya waktu Agresi II.”
Dia memeluk saya. “Sopo?” katanya melihat Dyah.
“Murid saya,” jawab saya.
“Berani juga seperti kamu menghadapi situasi seperti ini,” kata Hari. ”Apalagi Adik kita ini?”
Dyah dengan tenang mencatat situasi. Mengamati anak muda yang terkapar itu. Mungkin usianya sebaya dia. Sama sekali tidak tampak shock atau takut. Aneh juga Nyi Iteung ini kerap melamun dan terpukul karena cinta, tetapi tidak takut berada di tengah perang. Tentara-tentara itu tampaknya terkagum-kagum.
“Ah, saya pernah berada dalam oplet menuju Cijulang, lalu ditembaki dan orang sebelah saya berlumur darah,” ujarnya tenang.