Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Perempuan yang Menyebut Dirinya Nyi Iteung

28 Agustus 2016   15:30 Diperbarui: 31 Agustus 2016   16:31 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkubanparahu 1950-an (Kredit foto bendav.nl)

Beberapa kali dia menamakan dirinya Nyi Iteung. Kepada laki-laki yang ia cintai dia memanggilnya dengan Kang Kabayan. Perempuan itu kerap memperlihatkan foto hitam putih memperlihatkan dia berdua dengan laki-laki itu kepada saya, kepada kawan-kawannya semasa sekolahnya dulu, kepada kawan-kawan di tempat ia bekerja, bahkan kepada orang yang baru ia kenal. Dia begitu bangga memamerkan foto yang diambil di depan Rumah Makan Naga Mas di kawasan alun-alun, tempat mereka makan berdua pertama kali.

Mengapa ia ingin menjadi Nyi Iteung? Mengapa tidak menjadi Purbasari dalam dongeng Lutung Kasarung? Mungkin ia ingin menerima seorang suami yang dipilihnya karena bersahaja, rendah hati, dan di balik itu sebetulnya pandai. Itu semua ada pada tokoh Kabayan menurut pandangan perempuan itu. Laki-laki yang disebut Kabayan itu seorang priyayi di sebuah kota di Jawa Tengah, mengenyam pendidikan di negeri Belanda, saya tidak ingin latar belakangnya lebih lanjut, yang penting perempuan itu tampak mencintai suaminya.

Tetapi itu cerita setahun lalu. Pada hari ini dalam Bulan Agustus 1957, tiba-tiba secarik kertas diberikan Seorang pelayan Hotel Selecta kepada saya. Perempuan itu tahu kalau saya kerap menginap di hotel di kawasan Pasirkaliki ini kalau sedang bertugas sebagai jurnalis atau sekadar ke Kota Bandung. Dia mengajak bertemu di sebuah rumah makan kecil di Jalan Dipati Ukur. Sore itu juga saya bergegas menemui dia di rumah makan itu.

“Saya dikhianati suami saya,” cetusnya. “Dia selingkuh dengan sesama pelajar Indonesia di Eropa. Mungkin dia mencari seorang perempuan yang kepandaian setara dengan dirinya. Bukan saja lebih pandai, tetapi juga dari kalangan ningrat dan berada.”

Saya tak mengomentarinya karena saya tak mau mencampuri urusan pribadinya. Saya biarkan dia menceritakan kekesalannya terhadap pengkhiatan yang dilakukan Kabayan. Tetapi saya bersimpati pada dia dan memihak dia walau hanya dalam hati.

“Saya diceraikan lewat sehelai surat dan surat tanda talak tinggal diambil di kota tempat dia nanti bertugas?”

“Nanti? Memangnya dia masih di Eropa?”

Perempuan itu mengangguk. Dia mampu menahan kesedihannya. Lalu kemudian dia bercerita bahwa ia terkena suatu penyakit yang cukup berat. Awalnya laki-laki yang disebut sebagai Kabayan itu bersimpati, tetapi entah mengapa ia balik mengejeknya sebagai “penyakitan”. Yang membuat saya tak habis pikir, dia diberikan obat-obatan agar tidak hamil untuk waktu tertentu. Aneh apa maksudnya? Biasanya pasangan yang baru menikah ingin buru-buru punya anak.

Angka kawin cerai di kawasan Jawa Barat tertinggi di Republik Indonesia, bahkan sejak masa penjajahan. Pada 1934 di Kota Bandung menurut surat kabar Adil yang saya baca tercatat 3943 pernikahan, tetapi pada tahun itu angka perceraiannya 2942. Di Kota Tasikmalaya, tempat asal perempuan bernama Nyi Iteung pada tahun itu tercatat 1658 pernikahan tetapi perceraiannya juga tinggi mencapai 1165. Sebuah surat kabar menyebutkan banyak laki-laki yang tanah ke Tanah Pasundan tidak membawa istrinya, padahal di rumah sudah punya bini dan anak itu. Kesannya laki-laki mau enaknya saja, persis seperti kelakuan para orang kaya Belanda memelihara Nyai.

Perempuan di Tanah Pasundan kondang dengan kecantikannya. Priangan si jelita bukan julukan pada tanahnya tetapi juga kaum hawanya.

Keesokan harinya saya mengajaknya mengikuti saya ke Jayagiri. Kami berangkat pagi-pagi dengan angkutan umum ke Pasar Lembang. Dari sana kami mendaki ke Bukit Jayagiri. Perempuan itu antusias sekali dengan perjalanan.

“Tahukah kamu bahwa Jayagiri ini disebut tempat pertemuan kembali Dayang Sumbi dan Sangkuriang. Kamu tahu bahwa Dayang Sumbi perempuan yang kuat mampu menolak cintanya Sangkuriang yang ia tahu anaknya sendiri. Dayang Sumbi adalah perempuan mandiri,” tutur saya.

“Saya ingin sekuat dia , Kang.”

“Kamu setuju emansipasi?” Saya ingin tahu apakah perempuan seperti dia tahu soal persamaan hak. Apakah dia hanya tahu Kartini atau lebih dari itu dia sudah membaca Virginia Woolf. Hanya sedikit perempuan di Tanah Pasundan ini menyadari soal emansipasi. Tulisan di Pikiran Rakyat hanya beberapa nama perempuan dan tulisannya soal hak perempuan.

“ Iya, tetapi laki-laki tetap harus jadi imam. Bagaimana pun kita orang timur,” cetusnya.

Jawaban kebanyakan perempuan yang terdidik di republik ini. Sekalipun angka perceraian tinggi, bukan berarti perempuan di Tanah Pasundan selalu tidak berdaya. Dayang Sumbi buktinya mampu melawan, tetapi sebetulnya Purbasari simbol yang lebih gagah. Dia mampu menegakkan keadilan di negerinya dan lawannya, saudarinya Purbararang walau di jalan yang salah juga perempuan yang menjadi pemimpin. Sekalipun emansipasi sudah ada seperti dalam cerita Lutung Kasarung itu, tetapi laki-laki tetap diakui jadi imam menurut cerita rakyat Sunda. Kalau laki-laki semena-mena, maka perempuannya melawan seperti dalam cerita Sangkuriang.

Kami menapak hutan pinus yang dingin dan berkabut. Tujuan saya mengajaknya setelah mencapai Bukit Jayagiri menembus Tangkubanparahu melalui jalan setapak. Sebetulnya perjalanan ini mengandung risiko, karena bisa dihadang gerombolan bersenjata. Awal 1957 empat pemuda Tionghoa dikabarkan terbunuh di dekat kawah. Meskipun pembunuhan itu masih menjadi tanda tanya, apakah dilakukan gerombolan bersenjata atau kawan mereka sendiri. Tetapi tamu negara yang berkunjung ke Kota Bandung selalu diajak ke kawah ini dan aman-aman saja.

Tadinya saya kuatir perempuan itu tidak kuat di jalan menanjak. Tetapi ia kuat, malah saya yang nafasnya tersengal-sengal. Seharusnya wajar saja. Usia saya di atas empat puluh tahun dan dia dua puluh tahunan. Hanya karena dia perempuan saya meragukan. Anggapan saya salah ketika saya tertinggal dari dia, perempuan itu menunggu di jalan setapak bersemak terjal 45 derajat mengulurkan sebatang kayu membantu saya naik. Dia tertawa kecil.

***

Saya mengenalnya empat tahun yang lalu, ketika ia baru saja lulus SMA di Jalan Dago, Bandung. Ceritanya kawan saya Raden Barata, pernah satu kantor dengan saya mengajak saya merintis sebuah majalah wisata untuk kepentingan kelompok Bandung Vruit, suatu perkumpulan pencinta wisata di kota ini termasuk juga perhotelan dan restoran. Dalam pembicaraan isi majalah meluas ke soal budaya dan sejarah. Saya pikir hanya saya dan Barata yang menulis, ternyata ada sejumlah gadis yang membantu.

Waktu rapat di rumah Raden Barata di Jalan Anggrek, mulanya ada seorang remaja manis yang malah masih duduk di bangku SMA. Namanya Yunita Hardjadinata, dari keluarga menak. Tubuhnya mungil dan manis. Dia sangat cerdas dan santun ketika diperkenalkan dengan saya. Belakangan masuk perempuan sekalipun agak gemuk namun rancak, namanya Dyah Wahyuni. Dia sudah lulus SMA dan sedang kursus Bahasa Inggris dan Belanda. Minatnya menulis sangat kuat. Dalam diskusi, saya dan Dyah lebih nyambung. Dyah ini menyebut dirinya sebagai Nyi Iteung.

Proyek pertama kami bukanlah Tangkubanparahu, tetapi memetakan hotel dan rumah makan di Kota Bandung, serta berapa panorama di luar kota. Harapannya agar para wisatawan di Kota Bandung punya panduan. Awalnya saya hanya membimbing Yunita menulis Situ Aksan yang digemari orang Tionghoa untuk perayaan tahun barunya. Namun Dyah Wahyuni lebih menarik ketika saya ajak diskusi soal lagu pupuh Sunda. Rupanya dia pernah juara di kampungnya di kawasan Tasikmalaya. Diskusi merembet ke soal Pasundan purbakala. Harusnya Yunita yang mempunyai minat soal ini.

***

Sekitar satu setengah jam berjalan kaki melalui hutan, keringat kami bercucuran. Bau belerang mulai tercium tandanya kami sudah mendekati Gunung Tangkubanparahu. Saya sekitar sepuluh meter tertinggal oleh Dyah Wahyuni yang begitu bersemangat. Mungkin pelesir petualangan seperti ini membuat dia bisa bangkit melupakan bagaimana rasanya dikhianati oleh laki-laki. Dyah Wahyuni bukan hanya sekali disakiti laki-laki, tetapi beberapa kali. Sepanjang perjalanan dia bercerita soal itu.

“Saya pernah lupa rasanya jatuh cinta. Ada yang pernah hidupnya saya biayai, tetapi kemudian dia meninggalkan saya ketika sudah bekerja di perusahaan GIA.”

“ Pilot?”

“ Ya. Dia lulusan sekolah penerbangan Curug,” kata Dyah.

Yang diinginkannya seperti sederhana, ingin suami biasa saja, dia sebagai istri menunggu di rumah ketika suami mencari nafkah. Bagi dia emansipasi menulis, mengungkapkan apa pandangannya soal dunia dan perasaannya, pokoknya berekspresi. Dia belajar menulis dengan saya. Pendeknya cita-citanya menjadi Nyi Iteung modern. Laki-laki yang ia dambakan ialah seperti Si Kabayan, pria bersahaja tetapi setia pada istri.

Lalu mengapa saya bersimpati? Jatuh cintakah saya sebenarnya? Saya tidak tahu. Anehnya saya tidak cemburu kalau dia dekat dengan laki-laki lain. Ketika dia menikah saya sebetulnya ingin hadir kalau tidak dikirim ke Sumatera Barat, tempat asal orang tua. Merasa kehilangan juga menerima surat undangan, tetapi akhirnya ikhlas. Tetapi kalau tidak membaca surat dia atau tulisan dia di surat kabar, atau tidak bertemu rasanya ada yang hilang.

Dyah Wahyuni terus berjalan. Dia mungkin melamun. Saya juga melamun. Saya juga pernah merasakan kehilangan cinta sewaktu duduk di bangku AMS di Bandung, seorang gadis peranakan Arab menolak saya. Masa penjajahan menempatkan ras pribumi di strata paling bawah. Sudah paling bawah, kaum menak, bangsawan dan priyayi juga menempatkan diri sebagai merasa tinggi. Apa artinya, saya anak seorang guru. Masa lalu dan saya tidak mau menikah hingga sekarang. Saya baru bisa melupakan perempuan peranakan Arab itu setelah sepuluh tahun.

Dua jam sudah berjalan. Kawah Tangkubanparahu terhampar di mata kami. Begitu indah. Sekitar pukul sembilan udara dingin, tetapi untungnya matahari bersinar cerah dan kehangatannya menyapa kulit wajah kami. Dyah tampak gembira. Saya suka melihat dia gembira, apalagi kalau dia tertawa. Tetapi kalau dia bersedih, saya juga merasa bersedih.

“Memangnya kamu pertama kali ke Tangkubanparahu? Selama di Bandung, ke mana saja?”

“ Iya, nggak sempat Kang! Saya pernah ke Situ Patenggang dan perkebunan teh selatan Bandung bersama teman-teman sekolah.”

Hanya kami berdua hari itu, karena naik pada hari kerja. Agak aneh, harusnya ada penjaga keamanan di sekitar lokasi. Apalagi Soekarno sudah mengumumkan SOB [1]. Sekalipun Jawa Barat tidak gerakan di daerah, tetapi Front Pemuda Sunda sudah beberapa kali melakukan provokasi.

Jangan-jangan?

Empat laki-laki berseragam hijau tanpa tanda pangkat dari kejauhan. Mereka mengawasi kami. Sebagai jurnalis yang pernah meliput waktu Perang Kemerdekaan, saya tahu persis yang disandang seorang di antara mereka sten, yang tiga mungkin membawa pistol. Dyah menyadari hal itu dan melihat mimik wajah saya begitu khawatir. Saya khawatir mereka menggarong kami, tetapi kami punya apa? Paling-paling kami berdua bawa uang Rp 25, pas untuk makan siang dan ongkos pulang ke Bandung.

Tetapi Dyah menunjukkan dirinya Nyi Iteung dengan wajah yang polos dan memberikan senyum khas perempuan desa.

“ Saha Neng? Suaminya?”

“ Iya. Jalan sama Akang saya,” sahut dia tetap tenang.

Keempat laki-laki itu tidak menghampiri kami. Mereka mengincar yang lain. Mereka bersembunyi di belakang batu-batu dan tanaman yang rimbun, ketika sebuah mobil jenis Chevrolet datang. Lalu saya menarik Dyah untuk menjauh. Disusul sebuah jip willis berisi dua orang tentara dan seorang yang saya tahu berseragam OKD[2]. Dari Chevrolet turun seorang pria setengah baya, supirnya dan dua laki-laki muda. Rupanya mereka ingin melihat keadaan kawah. Berapa tahun lalu ada desas-desus yang menyebutkan Tangkubanparahu akan meletus. Warga Bandung lebih takut Tangkubanparahu meletus daripada dicegat gerombolan.

Nakunahon si Akang dan si Neng? Tidak ke pos dahulu?” kata laki-laki setengah baya.

Tembakan meletus sebelum salah seorang dari kami menjawab. Saya menarik tangan Dyah untuk bersembunyi di balik batu. Peluru menembus dinding Chevrolet. Tentara membalas sambil berlindung di balik jip.

“Kalian ke pos!” teriak seorang tentara.

Tanpa banyak bicara lagi saya membawa Dyah meninggalkan lokasi. Kalau saya sedang tugas dan tidak bersama Dyah tentu saya akan tetap di tempat. Tetapi Dyah justru menahan saya dan tetap di balik batu.

“Kapan lagi Kang!” katanya tersenyum. ”Kita bisa dapat berita bagus!”

Nyi Iteung lebih punya bakat daripada saya.

Entah Dyah punya naluri atau tidak. Sebuah jip lagi datang setelah sepuluh menit tembak menembak. Jip itu berisi empat tentara yang segera meloncat turun. Gerombolan itu lari. Tampaknya seorang ada yang tertembak. Tubuhnya diperiksa empat tentara itu.

Kadiyek!” sahut seorang tentara melihat kami hanya melongo dari jauh.

Saya dan Dyah segera berlari ke tempat mayat anggota gerombolan itu.

“Wong Edan kamu Ikhsan!” Rupanya salah seorang tentara itu mengenal saya. Saya memperhatikan rautnya, sebaya saya. Astaga? Dia Kapten Hari Jumanto, yang saya kenal waktu di Gunung Kidul, meliput geriliya waktu Agresi II.”

Dia memeluk saya. “Sopo?” katanya melihat Dyah.

“Murid saya,” jawab saya.

“Berani juga seperti kamu menghadapi situasi seperti ini,” kata Hari. ”Apalagi Adik kita ini?”

Dyah dengan tenang mencatat situasi. Mengamati anak muda yang terkapar itu. Mungkin usianya sebaya dia. Sama sekali tidak tampak shock atau takut. Aneh juga Nyi Iteung ini kerap melamun dan terpukul karena cinta, tetapi tidak takut berada di tengah perang. Tentara-tentara itu tampaknya terkagum-kagum.

“Ah, saya pernah berada dalam oplet menuju Cijulang, lalu ditembaki dan orang sebelah saya berlumur darah,” ujarnya tenang.

Nyi Iteung ini lebih berani dari yang saya duga.

Kami berdua diberi tumpangan di sebuah jip, langsung disupiri sendiri oleh Kapten Hari Jumanto. Dia rupanya dia masih penasaran kami berani naik keTangkubanparahu dengan jalan hutan tanpa melapor dulu ke pos atau minta bantuan keamanan. Kami bukan saja diantar ke Lembang, tetapi ke kota Bandung. Tengah hari kami tiba, bahkan dia mentraktir kami makan di sebuah kedai dekat markas Siliwangi.

“ Pindah ke Siliwangi, Har?’ tanya saya.

“ Nggak. Aku kebetulan lagi cuti. Istri dan anakku mau melihat Tangkubanparahu dan jalan-jalan di Bandung,” jawabnya.

“ Jadi survei dulu.”

“ Iya, diantar Kang Adang,” katanya menepuk pundak seorang serdadu Siliwangi di sampingnya.

Kami makan bersama di kedai makanan Sunda itu. Kemudian saya mengantarkan Dyah ke tempat kosnya di kawasan Dago setelah salat di Masjid Agung dekat alun-alun. Lalu saya kembali ke penginapan di Pasirkaliki.

***

Laporan yang ditulis oleh Dyah Wahyuni saya bawa ke Jakarta sorenya dan malam harinya tiba. Langsung saya ke kantor sebuah surat kabar. Pimpinan Redaksi saya terkagum-kagum membaca tulisan Dyah, yang minta nama samaran sebagai Nyi Iteung.

“Dia mengingatkan saya pada SK Trimurti, tetapi tulisannya lebih banyak soal perjalanan petualangan,”katanya. “Mengapa dia tidak menulis soal kaumnya, seperti Nilakusuma di Pikiran Rakyat awal 1950-an?”

“Saya tidak tahu. Mungkin dia seorang perempuan yang ingun berbuat saja mencapai apa yang diinginkan dan tidak cerewet mengeluhkan nasibnya di surat kabar, karena tidak akan membawa perubahan apa-apa terhadap nasib kaumnya,” kata saya.

“Ya, harusnya namanya bukan Nyi Iteung, dia itu harus namanya Cut Nyak Dien, misalnya,” kata pimpinan redaksi.

“Bung tidak tahu soal perempuan muda yang memenggal kepala tentara Gurkha di Kota Bandung waktu revolusi,” seorang jurnalis perempuan menyela di dekat kami. Rupanya dia menyimak pembicaraan kami.

“Ya, ya, ternyata banyak yang kita tidak tahu soal perempuan pemberani,” kata Mas Yoppie, pimpinan redaksi saya. “Omong-omong kamu suka dia?”

“Ah, Bung Yoppie. Hubungan laki-laki dan perempuan belum tentu selalu asmara. Bahkan persahabatan kadang lebih kokoh dibanding percintaan bahkan persaudaraan, sebab lebih tulus,” kata rekan saya bernama Mutia.

Saya tidak perlu menjawab.

Berkat laporan itu Mas Yoppie memperbolehkan saya menjadikan Dyah Wahyuni sebagai koresponden. Perempuan itu senang sekali. Kami bertemu kembali sewaktu peresmian Universitas Padjadjaran pada September 1957.

“Sebetulnya saya ingin kuliah di sini, ambil Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat, sayang nggak ada Fakultas Publisitik,” katanya. “Lagi pula apa mereka mau menerima saya, baru mau kuliah usia di atas 20 tahunan,” katanya.

“Tahun depan barangkali bisa. Sekarang bantu saya buat tulisan soal Daeng Soetigna dan Mang Udjo habis peresmian,” kata saya.

“Akang mau menulis soal angklung?”

“Sepertinya kita berdua?”

“ Mang Koko kan juga bisa jadi sumber? Sepupu saya juga bisa karena dia pernah jadi murid Mang Koko dan juga Mang Udjo,”

“Iya. Iya, Nyi Iteung! Kamu bisa bantu!” kata saya kagum.

Dia hanya tertawa. Dia perempuan yang kuat. Saya suka semangatnya, seorang true fighter.

Depok, Jawa Barat, 28 Agustus 2016

Irvan Sjafari
Kepada seorang perempuan.

Catatan:

  1. Staat van Oorlog en Beleg atau negara dalam keadaan bahaya
  2. Organisasi keamanan desa, elemen sipil yang dilatih mliter menghadapi gerombolan Darul Islam.

Ilustrasi foto: Tangkuban Perahu 1950-an (kredit foto)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun