“Tahukah kamu bahwa Jayagiri ini disebut tempat pertemuan kembali Dayang Sumbi dan Sangkuriang. Kamu tahu bahwa Dayang Sumbi perempuan yang kuat mampu menolak cintanya Sangkuriang yang ia tahu anaknya sendiri. Dayang Sumbi adalah perempuan mandiri,” tutur saya.
“Saya ingin sekuat dia , Kang.”
“Kamu setuju emansipasi?” Saya ingin tahu apakah perempuan seperti dia tahu soal persamaan hak. Apakah dia hanya tahu Kartini atau lebih dari itu dia sudah membaca Virginia Woolf. Hanya sedikit perempuan di Tanah Pasundan ini menyadari soal emansipasi. Tulisan di Pikiran Rakyat hanya beberapa nama perempuan dan tulisannya soal hak perempuan.
“ Iya, tetapi laki-laki tetap harus jadi imam. Bagaimana pun kita orang timur,” cetusnya.
Jawaban kebanyakan perempuan yang terdidik di republik ini. Sekalipun angka perceraian tinggi, bukan berarti perempuan di Tanah Pasundan selalu tidak berdaya. Dayang Sumbi buktinya mampu melawan, tetapi sebetulnya Purbasari simbol yang lebih gagah. Dia mampu menegakkan keadilan di negerinya dan lawannya, saudarinya Purbararang walau di jalan yang salah juga perempuan yang menjadi pemimpin. Sekalipun emansipasi sudah ada seperti dalam cerita Lutung Kasarung itu, tetapi laki-laki tetap diakui jadi imam menurut cerita rakyat Sunda. Kalau laki-laki semena-mena, maka perempuannya melawan seperti dalam cerita Sangkuriang.
Kami menapak hutan pinus yang dingin dan berkabut. Tujuan saya mengajaknya setelah mencapai Bukit Jayagiri menembus Tangkubanparahu melalui jalan setapak. Sebetulnya perjalanan ini mengandung risiko, karena bisa dihadang gerombolan bersenjata. Awal 1957 empat pemuda Tionghoa dikabarkan terbunuh di dekat kawah. Meskipun pembunuhan itu masih menjadi tanda tanya, apakah dilakukan gerombolan bersenjata atau kawan mereka sendiri. Tetapi tamu negara yang berkunjung ke Kota Bandung selalu diajak ke kawah ini dan aman-aman saja.
Tadinya saya kuatir perempuan itu tidak kuat di jalan menanjak. Tetapi ia kuat, malah saya yang nafasnya tersengal-sengal. Seharusnya wajar saja. Usia saya di atas empat puluh tahun dan dia dua puluh tahunan. Hanya karena dia perempuan saya meragukan. Anggapan saya salah ketika saya tertinggal dari dia, perempuan itu menunggu di jalan setapak bersemak terjal 45 derajat mengulurkan sebatang kayu membantu saya naik. Dia tertawa kecil.
***
Saya mengenalnya empat tahun yang lalu, ketika ia baru saja lulus SMA di Jalan Dago, Bandung. Ceritanya kawan saya Raden Barata, pernah satu kantor dengan saya mengajak saya merintis sebuah majalah wisata untuk kepentingan kelompok Bandung Vruit, suatu perkumpulan pencinta wisata di kota ini termasuk juga perhotelan dan restoran. Dalam pembicaraan isi majalah meluas ke soal budaya dan sejarah. Saya pikir hanya saya dan Barata yang menulis, ternyata ada sejumlah gadis yang membantu.
Waktu rapat di rumah Raden Barata di Jalan Anggrek, mulanya ada seorang remaja manis yang malah masih duduk di bangku SMA. Namanya Yunita Hardjadinata, dari keluarga menak. Tubuhnya mungil dan manis. Dia sangat cerdas dan santun ketika diperkenalkan dengan saya. Belakangan masuk perempuan sekalipun agak gemuk namun rancak, namanya Dyah Wahyuni. Dia sudah lulus SMA dan sedang kursus Bahasa Inggris dan Belanda. Minatnya menulis sangat kuat. Dalam diskusi, saya dan Dyah lebih nyambung. Dyah ini menyebut dirinya sebagai Nyi Iteung.
Proyek pertama kami bukanlah Tangkubanparahu, tetapi memetakan hotel dan rumah makan di Kota Bandung, serta berapa panorama di luar kota. Harapannya agar para wisatawan di Kota Bandung punya panduan. Awalnya saya hanya membimbing Yunita menulis Situ Aksan yang digemari orang Tionghoa untuk perayaan tahun barunya. Namun Dyah Wahyuni lebih menarik ketika saya ajak diskusi soal lagu pupuh Sunda. Rupanya dia pernah juara di kampungnya di kawasan Tasikmalaya. Diskusi merembet ke soal Pasundan purbakala. Harusnya Yunita yang mempunyai minat soal ini.