“Ya, harusnya namanya bukan Nyi Iteung, dia itu harus namanya Cut Nyak Dien, misalnya,” kata pimpinan redaksi.
“Bung tidak tahu soal perempuan muda yang memenggal kepala tentara Gurkha di Kota Bandung waktu revolusi,” seorang jurnalis perempuan menyela di dekat kami. Rupanya dia menyimak pembicaraan kami.
“Ya, ya, ternyata banyak yang kita tidak tahu soal perempuan pemberani,” kata Mas Yoppie, pimpinan redaksi saya. “Omong-omong kamu suka dia?”
“Ah, Bung Yoppie. Hubungan laki-laki dan perempuan belum tentu selalu asmara. Bahkan persahabatan kadang lebih kokoh dibanding percintaan bahkan persaudaraan, sebab lebih tulus,” kata rekan saya bernama Mutia.
Saya tidak perlu menjawab.
Berkat laporan itu Mas Yoppie memperbolehkan saya menjadikan Dyah Wahyuni sebagai koresponden. Perempuan itu senang sekali. Kami bertemu kembali sewaktu peresmian Universitas Padjadjaran pada September 1957.
“Sebetulnya saya ingin kuliah di sini, ambil Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat, sayang nggak ada Fakultas Publisitik,” katanya. “Lagi pula apa mereka mau menerima saya, baru mau kuliah usia di atas 20 tahunan,” katanya.
“Tahun depan barangkali bisa. Sekarang bantu saya buat tulisan soal Daeng Soetigna dan Mang Udjo habis peresmian,” kata saya.
“Akang mau menulis soal angklung?”
“Sepertinya kita berdua?”
“ Mang Koko kan juga bisa jadi sumber? Sepupu saya juga bisa karena dia pernah jadi murid Mang Koko dan juga Mang Udjo,”