Mohon tunggu...
Jujun Junaedi
Jujun Junaedi Mohon Tunggu... Penulis dan Pendidik dari Bandung 31324

Pendidik dan pemerhati lingkungan. Aktif mengedukasi di sekolah berwawasan lingkungan di Kota Bandung sejak 1997

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Perspektif Sosiologi Ekonomi: Menakar "In This Economy", Nikah Itu Kalkulasi Cinta atau Krisis?

9 April 2025   22:55 Diperbarui: 13 April 2025   11:38 782
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pernikahan, pengantin, pengantin baru.(SHUTTERSTOCK/AJIILHAMPRATAMA via kompas.com)

Ungkapan "In This Economy" telah menjelma menjadi resonansi kolektif, sebuah pengakuan pahit terhadap realitas finansial yang menantang di berbagai penjuru dunia. 

Kenaikan harga kebutuhan pokok yang tak terkendali, ketidakpastian yang menghantui lapangan pekerjaan, stagnasi upah yang terasa menyesakkan, dan bayang-bayang resesi yang kian mendekat, semuanya membayangi perencanaan masa depan banyak individu. 

Di tengah lanskap ekonomi yang serba tak menentu ini, institusi pernikahan, yang secara tradisional diagungkan sebagai penyatuan dua jiwa yang berlandaskan cinta dan komitmen, tak luput dari tekanan dan reinterpretasi yang mendalam. 

Dari sudut pandang sosiologi ekonomi, sebuah pertanyaan mendasar menyeruak, dalam labirin "In This Economy," apakah keputusan untuk mengikat janji suci pernikahan lebih didorong oleh perhitungan rasional terkait stabilitas finansial, atau justru menjelma menjadi pemicu krisis ekonomi bagi pasangan yang baru saja merajut impian bersama?

Sosiologi ekonomi menawarkan sebuah kerangka analitis yang kaya dan mendalam untuk menyelami bagaimana serangkaian faktor ekonomi, baik dalam skala mikro maupun makro, berinteraksi dan memengaruhi pembentukan, dinamika internal, serta konsekuensi jangka panjang dari pernikahan. 

Pernikahan, sebagai sebuah entitas sosial dan ekonomi yang unik, tidaklah berdiri tegak dalam ruang hampa, terlepas dari konteks material yang melingkupinya. 

Keputusan krusial untuk menikah, penentuan waktu yang dianggap tepat untuk melangkah ke jenjang pernikahan, hingga strategi pengelolaan sumber daya dalam unit rumah tangga yang baru terbentuk, semuanya terjalin erat dalam jaring-jaring kondisi ekonomi yang sedang berlaku.

Pernikahan Sebagai Bentuk Strategi Ekonomi di Tengah Badai Ketidakpastian

Dalam pusaran kondisi ekonomi yang penuh tantangan, pernikahan dapat menjelma menjadi sebuah strategi adaptif yang dirancang untuk meredam dampak kerentanan finansial. 

Pembentukan sebuah rumah tangga bersama membuka pintu bagi efisiensi melalui pembagian beban biaya hidup, mulai dari biaya sewa tempat tinggal, tagihan-tagihan utilitas yang membengkak, hingga kebutuhan pangan sehari-hari yang kian mahal. 

Spesialisasi peran dalam lingkup rumah tangga, di mana salah satu pasangan mungkin memfokuskan diri pada upaya pencarian nafkah sementara yang lain mengemban tanggung jawab dalam urusan domestik dan pengasuhan anak, dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang terbatas dan meningkatkan efisiensi secara keseluruhan. 

Lebih jauh lagi, ikatan pernikahan berpotensi menciptakan sebuah jaring pengaman sosial informal yang tak ternilai harganya. 

Ketika salah satu pasangan harus menghadapi kenyataan pahit kehilangan pekerjaan atau terjerat dalam kesulitan ekonomi lainnya, pasangan yang lain dapat memberikan sokongan finansial dan emosional yang krusial, mencegah individu tersebut terperosok lebih dalam ke jurang kemiskinan.

Kendati demikian, pandangan ini tidaklah imun terhadap kritik yang tajam. Sosiologi ekonomi juga menyoroti potensi ketidaksetaraan kekuasaan yang mungkin timbul dalam struktur rumah tangga, yang seringkali dipengaruhi oleh kontribusi ekonomi relatif dari masing-masing pasangan. 

Jika salah satu pihak menjelma menjadi tulang punggung keluarga sebagai pencari nafkah utama di tengah himpitan ekonomi, hal ini dapat menciptakan dinamika ketergantungan yang kompleks dan memengaruhi proses pengambilan keputusan dalam lingkup rumah tangga. 

Selain itu, tekanan ekonomi yang berlebihan dan berkelanjutan dapat menjadi pemicu utama konflik dan ketegangan dalam hubungan, bahkan berujung pada konsekuensi yang lebih ekstrem seperti perceraian, yang ironisnya justru dapat memperburuk kondisi finansial kedua belah pihak secara signifikan.

Pernikahan Sebagai Pemicu Krisis di Era Ekonomi yang Meresahkan

Ilustrasi - Cinta. | Image by Unsplash/Getty Images
Ilustrasi - Cinta. | Image by Unsplash/Getty Images

Di sisi lain, realitas "In This Economy" juga berpotensi menjadikan pernikahan sebagai katalisator krisis finansial, terutama bagi pasangan muda yang baru saja meniti karir dan harus bergulat dengan beban ekonomi yang terasa semakin berat. 

Biaya pernikahan itu sendiri, mulai dari upacara sakral, resepsi yang meriah (atau sederhana), hingga pengadaan perabotan rumah tangga sebagai fondasi kehidupan bersama, dapat menjelma menjadi pengeluaran besar yang menguras habis tabungan yang telah susah payah dikumpulkan, bahkan memaksa pasangan untuk mengambil langkah berhutang yang berisiko. 

Belum lagi beban biaya hidup pasca pernikahan, termasuk biaya perumahan yang terus melonjak, biaya transportasi yang tak terhindarkan, dan potensi biaya pengasuhan anak di masa depan, yang semakin terasa mencekik di tengah gelombang inflasi yang tak terkendali dan stagnasi upah yang membatasi ruang gerak finansial.

Perspektif sosiologi ekonomi juga mempertimbangkan bagaimana ekspektasi sosial dan budaya yang melekat pada institusi pernikahan turut berkontribusi pada beban finansial yang harus ditanggung oleh pasangan. 

Tradisi pernikahan yang seringkali melibatkan pesta perayaan yang megah dan tuntutan mahar yang tinggi dapat menjadi norma sosial yang sulit untuk dihindari, meskipun secara ekonomi tidaklah realistis bagi banyak pasangan muda yang memiliki keterbatasan finansial. 

Tekanan untuk memenuhi ekspektasi dari keluarga besar dan masyarakat sekitar dapat memaksa pasangan untuk mengeluarkan biaya yang jauh melampaui kemampuan ekonomi mereka, menjerumuskan mereka ke dalam lingkaran hutang yang menyesakkan bahkan sebelum bahtera rumah tangga mereka benar-benar memulai pelayaran.

Pergeseran Nilai dan Prioritas dalam Memandang Pernikahan

Realitas "In This Economy" juga memicu pergeseran nilai dan prioritas dalam cara individu memandang dan mendekati pernikahan. 

Generasi muda, yang tumbuh dan berkembang di tengah ketidakpastian ekonomi yang merajalela, cenderung memberikan prioritas yang lebih tinggi pada pencapaian stabilitas finansial dan kemajuan karir sebelum akhirnya memutuskan untuk mengikat janji suci pernikahan. 

Usia pernikahan pertama pun menunjukkan tren peningkatan, dan individu mungkin menjadi lebih selektif dalam memilih pasangan hidup, dengan mempertimbangkan secara matang prospek ekonomi calon pasangan sebagai bentuk jaminan di tengah ketidakpastian masa depan. 

Konsep "cinta itu buta" mungkin secara perlahan terkikis oleh pertimbangan yang lebih pragmatis terkait kemampuan finansial untuk membangun masa depan yang aman dan sejahtera bersama.

Lebih lanjut, sosiologi ekonomi juga menyoroti munculnya berbagai alternatif pernikahan atau bentuk-bentuk hubungan yang tidak terikat oleh formalitas legal, yang mungkin dipandang sebagai cara untuk mengurangi beban finansial dan kerumitan birokrasi yang seringkali melekat pada pernikahan tradisional. 

Fenomena hidup bersama tanpa ikatan pernikahan (kohabitasi) atau menunda pernikahan hingga kondisi ekonomi terasa lebih stabil menjadi pilihan yang semakin umum dan diterima di kalangan generasi muda yang berhati-hati dalam mengambil keputusan finansial.

Kesimpulan

Dalam konteks yang ditandai oleh "In This Economy," pernikahan berdiri di persimpangan jalan yang kompleks, antara perhitungan cinta yang idealis dan potensi krisis finansial yang realistis. 

Keputusan untuk menikah tidak lagi semata-mata didorong oleh gelora romantisme, melainkan juga oleh pertimbangan rasional terkait dengan pencapaian stabilitas ekonomi dan kemampuan untuk bertahan hidup bersama dalam menghadapi tantangan finansial yang tak terhindarkan. 

Namun, di sisi lain, beban biaya yang terkait dengan pernikahan dan kehidupan rumah tangga di era ekonomi yang sulit juga berpotensi menjadi pemicu krisis yang signifikan, terutama bagi pasangan yang tidak memiliki perencanaan keuangan yang matang.

Perspektif sosiologi ekonomi memberikan lensa yang berharga untuk memahami bahwa pernikahan bukanlah institusi yang statis, melainkan entitas sosial yang dinamis dan terus beradaptasi dengan perubahan kondisi ekonomi yang melingkupinya. 

Realitas "In This Economy" menuntut pasangan untuk bersikap lebih bijaksana dalam merencanakan keuangan masa depan mereka, lebih fleksibel dalam menghadapi berbagai tantangan ekonomi yang mungkin muncul, dan mungkin juga untuk mendefinisikan ulang makna pernikahan yang tidak selalu harus identik dengan kemewahan dan tradisi yang memberatkan secara finansial. 

Pada akhirnya, keberhasilan sebuah pernikahan di era ekonomi yang sulit mungkin tidak hanya diukur dari dalamnya cinta yang dirasakan, tetapi juga dari kemampuan pasangan untuk berkolaborasi secara efektif dalam ranah ekonomi dan membangun fondasi finansial yang kokoh bersama. 

Pertanyaan mendasar, "Nikah Itu Kalkulasi Cinta atau Krisis?" mungkin tidak memiliki jawaban tunggal yang sederhana, karena realitasnya seringkali merupakan perpaduan kompleks antara keduanya, yang terus dinegosiasikan dalam dinamika hubungan dan konteks ekonomi yang terus berubah.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun