Spesialisasi peran dalam lingkup rumah tangga, di mana salah satu pasangan mungkin memfokuskan diri pada upaya pencarian nafkah sementara yang lain mengemban tanggung jawab dalam urusan domestik dan pengasuhan anak, dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang terbatas dan meningkatkan efisiensi secara keseluruhan.Â
Lebih jauh lagi, ikatan pernikahan berpotensi menciptakan sebuah jaring pengaman sosial informal yang tak ternilai harganya.Â
Ketika salah satu pasangan harus menghadapi kenyataan pahit kehilangan pekerjaan atau terjerat dalam kesulitan ekonomi lainnya, pasangan yang lain dapat memberikan sokongan finansial dan emosional yang krusial, mencegah individu tersebut terperosok lebih dalam ke jurang kemiskinan.
Kendati demikian, pandangan ini tidaklah imun terhadap kritik yang tajam. Sosiologi ekonomi juga menyoroti potensi ketidaksetaraan kekuasaan yang mungkin timbul dalam struktur rumah tangga, yang seringkali dipengaruhi oleh kontribusi ekonomi relatif dari masing-masing pasangan.Â
Jika salah satu pihak menjelma menjadi tulang punggung keluarga sebagai pencari nafkah utama di tengah himpitan ekonomi, hal ini dapat menciptakan dinamika ketergantungan yang kompleks dan memengaruhi proses pengambilan keputusan dalam lingkup rumah tangga.Â
Selain itu, tekanan ekonomi yang berlebihan dan berkelanjutan dapat menjadi pemicu utama konflik dan ketegangan dalam hubungan, bahkan berujung pada konsekuensi yang lebih ekstrem seperti perceraian, yang ironisnya justru dapat memperburuk kondisi finansial kedua belah pihak secara signifikan.
Pernikahan Sebagai Pemicu Krisis di Era Ekonomi yang Meresahkan
Di sisi lain, realitas "In This Economy" juga berpotensi menjadikan pernikahan sebagai katalisator krisis finansial, terutama bagi pasangan muda yang baru saja meniti karir dan harus bergulat dengan beban ekonomi yang terasa semakin berat.Â
Biaya pernikahan itu sendiri, mulai dari upacara sakral, resepsi yang meriah (atau sederhana), hingga pengadaan perabotan rumah tangga sebagai fondasi kehidupan bersama, dapat menjelma menjadi pengeluaran besar yang menguras habis tabungan yang telah susah payah dikumpulkan, bahkan memaksa pasangan untuk mengambil langkah berhutang yang berisiko.Â
Belum lagi beban biaya hidup pasca pernikahan, termasuk biaya perumahan yang terus melonjak, biaya transportasi yang tak terhindarkan, dan potensi biaya pengasuhan anak di masa depan, yang semakin terasa mencekik di tengah gelombang inflasi yang tak terkendali dan stagnasi upah yang membatasi ruang gerak finansial.