Mohon tunggu...
jody aryono
jody aryono Mohon Tunggu... Konsultan IT dan Developer Sistem Berbasis AI | Assesor LSP Informatika

Seorang Senior IT Konsultan Teknologi dan juga Edukator Koding dan Kecerdasan Artifisial, yang fokus pada pengembangan Sistem berbasis AI dan solusi digital untuk instansi pemerintah, masjid, dan komunitas. Aktif menulis seputar teknologi, produktivitas, serta pemanfaatan kecerdasan buatan dalam kehidupan sehari-hari. Topik favorit saya antara lain: AI, dakwah digital, coding, dan edukasi masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Utopia dan Distopia : Cermin Harapan dan Ketakutan Manusia

14 Juli 2025   20:00 Diperbarui: 14 Juli 2025   14:05 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source : AI Image Generated ChatGPT4o Prompt By Jody Aryono

Dalam sejarah pemikiran manusia, utopia dan distopia bukan sekadar khayalan kosong. Mereka adalah gambaran ekstrem dari dunia yang kita harapkan... atau justru yang paling kita takuti. Keduanya lahir dari imajinasi, namun mencerminkan kenyataan yang sangat manusiawi: hasrat akan kesempurnaan dan kecemasan terhadap kehancuran.

Apa Itu Utopia?

Kata utopia pertama kali dipopulerkan oleh Thomas More dalam bukunya yang terbit tahun 1516. Ia membayangkan sebuah masyarakat ideal---tanpa kemiskinan, tanpa perang, penuh keadilan dan kebijaksanaan. Di dunia ini, segala sesuatu berjalan harmonis, seolah hukum dan etika telah mencapai bentuk paling sempurna.

Namun, banyak filsuf dan sosiolog mencatat bahwa utopia seringkali bersifat "terselubung". Karena di balik tatanan sempurna itu, sering tersembunyi bentuk penindasan baru: kebebasan yang dikorbankan demi keteraturan, atau perbedaan yang dihapus demi keseragaman.

Distopia: Bayangan Gelap Kemajuan

Sebaliknya, distopia menggambarkan masa depan yang suram dan menindas. George Orwell dalam 1984, atau Aldous Huxley dalam Brave New World, menunjukkan bagaimana teknologi, birokrasi, dan kekuasaan bisa berubah menjadi alat penindas jika tak dikendalikan oleh etika dan empati.

Distopia mengingatkan kita bahwa kemajuan---tanpa arah moral---bisa menjadi pisau bermata dua. Dunia yang terlalu terkontrol, terlalu terhubung, atau terlalu efisien bisa melahirkan manusia-manusia yang teralienasi, kehilangan makna, dan tunduk tanpa suara.

Mengapa Imajinasi Ini Penting?

Baik utopia maupun distopia bukan sekadar genre sastra. Ia adalah alat refleksi. Lewat utopia, kita bertanya: dunia seperti apa yang kita inginkan? Lewat distopia, kita memperingatkan diri: dunia seperti apa yang harus kita hindari?

Dalam konteks Indonesia, utopia mungkin tergambar dalam visi masyarakat adil dan makmur seperti termaktub dalam Pancasila. Sementara distopia bisa hadir lewat ancaman krisis ekologis, polarisasi politik, atau dominasi teknologi yang tak manusiawi.

Utopia dan Distopia dalam Kehidupan Sehari-hari

Tak perlu menunggu masa depan untuk melihat keduanya. Hari ini, di satu sisi kita bisa melihat kota pintar dengan efisiensi tinggi (miniatur utopia), namun di sisi lain juga menyaksikan hoaks yang menyebar luas dan algoritma media sosial yang memecah belah (miniatur distopia).

Pertanyaannya: bagaimana kita menyeimbangkan keduanya? Apakah kita bisa menciptakan masyarakat yang adil, tanpa mengorbankan kebebasan? Bisakah teknologi memanusiakan manusia, bukan malah mengasingkannya?

Penutup: Imajinasi yang Menggerakkan

Akhirnya, utopia dan distopia adalah cermin---bukan ramalan. Mereka mencerminkan siapa kita hari ini, dan ke mana kita ingin (atau tidak ingin) melangkah esok. Dengan memahami keduanya, kita belajar mengolah harapan dan ketakutan menjadi kompas etika, bukan sekadar fiksi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun