Jakarta, 1 Juni 2025 --- Apa jadinya jika pemerintah bisa menyita harta pribadi warganya tanpa pernah membuktikan utang secara sah di pengadilan? Apa jadinya jika seseorang ditetapkan penanggung utang triliunan rupiah, padahal bukti otentik jelas menunjukkan tidak pernah menerima uang? Bahkan, tidak menandatangani skema penyelesaian apa pun?Â
Itulah kenyataan yang dialami Andri Tedjadharma, warga Jakarta Barat, dalam pusaran kasus Bank Centris Internasional yang telah berlangsung hampir dua dekade. Kini, dua pakar hukum ternama---Dr. Maruarar Siahaan dan Prof. Dr. Nindyo Pramono --- angkat bicara sebagai saksi ahli, untuk menguji konstitusionalitas Perppu No. 49 Tahun 1960 tentang PUPN yang digunakan sebagai dasar penyitaan.
Hasilnya? Mengguncang.
Suara Maruarar dan NindyoÂ
Dalam sidang uji materi yang digelar di Mahkamah Konstitusi, Rabu (28/5) pekan lalu, Maruarar Siahaan, mantan Hakim Konstitusi 2003--2008, menyampaikan pernyataan yang tajam:
"Konstitusi menjamin tidak boleh nyawa, martabat, dan harta seseorang dirampas tanpa  due process of law, proses hukum yang sah. Tidak boleh ada tindakan sewenang-wenang meskipun negara mengklaim sebagai kreditur."
Maruarar menggarisbawahi bahwa dalam sistem hukum yang adil, siapa pun yang dituduh berutang berhak menyampaikan bantahan, bukti, dan mendapat peradilan yang netral. Ia mempertanyakan dasar negara melakukan penyitaan terhadap Andri dan Bank Centris Internasional, padahal tidak ada bukti penerimaan dana dari Bank Indonesia (BI).
"Bener-bener berutang nggak? Kalau jangan-jangan nggak berutang, itu akhirnya gimana?" sindirnya kepada wartawan.
Pernyataan Maruarar itu tidak mengada-ada. Didasarkan bukti kuat, bukti otentik audit BPK yang telah digunakan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, namun tidak ditanggapi sama sekali oleh pemerintah.Â
Maruarar membeberkan kejanggalan paling mencolok dari hasil audit resmi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). BPK menemukan bahwa dana dari Bank Indonesia tidak masuk ke rekening Bank Centris Internasional, melainkan ke rekening berbeda atas nama asing: Centris International Bank dengan nomor rekening berakhiran 000, sementara rekening Bank Centris Internasional berakhiran 0016.
"Kontraknya dengan Bank Centris Internasional, tapi uangnya malah masuk ke rekening Centris International Bank. Kok yang tidak terima uang yang ditagih?" ujar Maruarar dengan nada tinggi.
Sementara itu, Prof. Dr. Nindyo Pramono, Guru Besar Hukum Bisnis dari Universitas Gadjah Mada, memberikan analisis hukum perdata yang tak terbantahkan:
Secara hukum, seseorang hanya dapat dimintai tanggung jawab utang jika ada dasar perikatan yang sah. Kalau tidak menandatangani MRNIA, MSAA, atau APU, maka ia bukan debitur. Tidak bisa ditagih sebagai penanggung utang.",
Nindyo menegaskan, Andri Tedjadharma tidak pernah menandatangani Master Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNIA), Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA), atau Akta Pengakuan Utang (APU). Tanpa ketiga dokumen itu, tidak ada legal standing untuk menjadikan Andri sebagai pihak yang bertanggung jawab atas utang apa pun.
Nindyo juga menyoroti ketidakjelasan definisi "penanggung utang" yang kerap menimbulkan tindakan sewenang-wenang terhadap pemegang saham perusahaan.
Menurut Nindyo, dalam praktiknya, UU PUPN kerap digunakan untuk menyita harta pribadi pemegang saham meskipun mereka tidak pernah menandatangani perjanjian sebagai penanggung utang, bortoh, ataupun personal guarantor.
"Kalau PT yang berutang kepada negara, maka badan hukum itulah penanggung utangnya. Bukan pemegang sahamnya. Apalagi jika tidak pernah ada perjanjian, tidak ikut tanda tangan APU, MSAA, atau personal guarantee," tegasnya.
Ia menambahkan, tindakan penyitaan terhadap pemegang saham yang tidak memiliki kedudukan hukum sebagai penjamin pribadi adalah bentuk pelanggaran terhadap asas-asas dasar hukum perdata dan prinsip kepastian hukum.
"Dalam perkara ini saya melihat seseorang yang tidak menandatangani MRNIA, MSAA, Â APU, dan tidak menandatangani personal , tetapi ditetapkan sebagai penanggung utang. Menurut hukum ini tidak tepat," tegasnya.Â
PUPN: Instrumen Lama yang Langgar Konstitusi?
Selama ini, PUPN digunakan oleh pemerintah untuk menagih utang obligor BLBI, termasuk dengan menyita aset tanpa putusan pengadilan. Maruarar menegaskan bahwa tindakan ini bertentangan dengan UUD 1945, karena konstitusi mensyaratkan pihak ketiga yang netral---yakni pengadilan---untuk memutuskan sengketa atau kewajiban hukum.
"Kalau ada peraturan seperti PUPN yang memungkinkan perampasan tanpa pengadilan, itu bertentangan dengan prinsip due process dan harus dinyatakan batal demi hukum," tegasnya.
Diamnya Negara, Tanda Tanya Besar
Salah satu bagian paling mengejutkan dari pernyataan Maruarar adalah sorotan terhadap ketidakpedulian negara atas temuan audit BPK yang seharusnya menjadi dasar evaluasi kasus.
"Bukti sudah ada. Audit BPK adalah dokumen otentik, sudah jadi alat bukti di pengadilan. Tapi tidak satu pun lembaga negara bertindak. Semua pura-pura tidak tahu. Ini yang membuat saya geram," ujarnya seraya berharap Presiden Prabowo yang berjanji akan mengejar koruptor hingga ke Antartika, membuktikan janjinya.Â
"Lha ini, korupsinya di depan mata. Tapi siapa yang menindak? Nggak ada," katanya getir.
Sistem Rusak, Warga Jadi Korban
Kasus Andri Tedjadharma menggambarkan bagaimana celah dalam sistem hukum dan ketidakseriusan penegak hukum menanggapi bukti bisa menghancurkan hidup seseorang. Penyitaan rumah, harta, dan reputasi dilakukan tanpa pernah ada bukti utang yang sah. Bukti otentik BPK di pengadilan yang diajukan pemerintah sendiri, sudah jelas menunjukkan bahwa Bank Centris tidak menerima dana, tapi tetap saja penagihan dan penyitaan berlanjut.Â
"Ini bukan hanya soal Andri. Ini soal sistem yang membiarkan orang tidak bersalah dihukum. Dan itu harus dihentikan," tutup Maruarar.
Pertaruhan KonstitusiÂ
Ketika peraturan yang usang dan penyalahgunaan wewenang menabrak konstitusi, suara ahli hukum seperti Maruarar dan Nindyo menjadi pengingat bahwa negara tak boleh sewenang-wenang. Bahwa di atas segala aturan teknis, konstitusi adalah fondasi tertinggi, dan tanpa proses hukum yang sah, tidak boleh ada penyitaan, apalagi penghukuman.
Kasus Bank Centris Internasional dan Andri bukan sekadar soal siapa yang berutang, tetapi ujian apakah Indonesia masih menjunjung rule of law, atau sudah terperosok ke jurang negara kekuasaan.Â
Pernyataan Maruarar dan Nindyo patut menjadi alarm bagi majelis hakim MK, apakah hanya sebatas menguji frasa dari pemohon, atau mampu memberi solusi nyata atas kasus konkret yang terjadi: yakni audit BPK dengan dua rekening di Bank Indonesia yang dibiarkan, tidak ditindak, serta adanya salinan kasasi yang dinyatakan Mahkamah Agung sendiri tidak pernah menerima permohonan perkaranya. Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI