MAMA selalu bilang, "Kalau sudah kerja nanti, jangan lupa sama orang tua."
Dulu aku pikir itu cuma nasihat klise. Sekarang, sambil menatap layar laptop di meja kerja yang berantakan, aku baru paham betapa beratnya kata "jangan lupa" itu.
Notifikasi WhatsApp dari Mama sudah menumpuk sejak pagi. Tiga missed call. Dua voice note yang belum aku buka. Dan satu pesan terakhir: "Mama ke dokter sendiri ya, Dek. Kamu kan sibuk."
Jantungku berdegup kencang. Mama sakit?
Aku scroll ke atas, mencari clue di chat history kami. Ternyata sejak dua minggu lalu, Mama sudah cerita soal pusing yang nggak hilang-hilang. Waktu itu aku cuma balas, "Istirahat yang cukup, Ma. Mungkin kecapean." Lalu aku lanjut meeting dengan klien Jepang yang waktunya beda 2 jam.
Status WhatsApp Mama yang terakhir: foto hasil lab darah. Aku bahkan nggak sempat buka.
"Andi, laporan untuk Pak Direktur sudah siap?" suara Mba Sari memecah lamunanku.
"Sebentar, Mba..." aku ketik cepat ke grup keluarga: "Mama gimana? Hasil dokternya apa?"
Yang balas malah Kakak Rina dari Surabaya. "Mama diabetes. Gula darahnya tinggi banget. Kata dokter harusnya kontrol rutin dari dulu."
Diabetes. Penyakit yang aku cuma tau dari iklan obat di TV.
Aku ingat bulan lalu, Mama pernah bilang sering haus dan sering pipis. Waktu itu aku lagi WFH, sambil zoom meeting sambil dengerin Mama cerita. Aku cuma angguk-angguk sambil mute mikrofon.
"Mungkin kebanyakan minum air putih, Ma," jawabku asal waktu itu.
Sekarang aku merasa seperti ditampar.
HP ku berdering. Mama.
"Halo, Ma?"
"Dek, Mama di rumah sakit. Tensi tinggi, dokter bilang harus dirawat dulu."
Suaranya lemah. Beda banget sama Mama yang biasanya cerewet nanyain kapan nikah, kapan pulang kampung, udah makan belum.
"Mama di RS mana? Andi langsung ke sana."
"Nggak usah, Dek. Mama tau kamu sibuk. Kakak Rina udah dalam perjalanan dari Surabaya."
Sibuk. Kata yang selama ini jadi alibi untuk segala hal.
Sibuk jadi alasan kenapa aku jarang pulang kampung. Sibuk jadi alasan kenapa video call keluarga cuma sebentar. Sibuk jadi alasan kenapa aku lebih sering chat sama teman kerja daripada chat sama Mama.
Padahal yang namanya sibuk itu relatif kan? Aku bisa scroll TikTok sejam, tapi nggak bisa dengerin cerita Mama lima menit.
"Andi ke sana sekarang, Ma. Tunggu ya."
Aku tutup laptop tanpa save file yang tadi dikerjain. Mba Sari melongo pas aku bilang mau izin pulang mendadak.
"Tapi laporan Pak Direktur?"
"Nanti aku kirim via email."
Sesampainya di RS, aku berlari ke ruang ICU. Dokter baru saja keluar dari dalam dengan wajah kusut.
"Dokter, gimana keadaan Mama saya?"
"Anda keluarga pasien Ibu Siti?"
"Iya, Dok. Saya anaknya."
Dokter itu menghela napas panjang. "Maaf, kami sudah berusaha maksimal. Tapi kondisi Ibu sudah terlalu kritis. Diabetes dan hipertensinya sudah stadium lanjut. Seharusnya kontrol rutin dari jauh-jauh hari."
Dadaku sesak. "Maksudnya gimana, Dok?"
"Ibu sudah meninggal dunia 15 menit yang lalu."
Dunia seakan runtuh.
Kakak Rina yang baru sampai langsung memelukku sambil menangis histeris. Aku masih berdiri kaku, belum bisa menerima kenyataan.
Di ruang jenazah, aku melihat Mama terbaring tenang. Wajahnya damai, tapi dingin. Tangan yang dulu selalu hangat saat mengusap rambutku kini kaku dan pucat.
HP Mama masih bergetar di nakas. Notifikasi masuk terus.
Dari aku.
Pesan yang baru saja aku kirim di mobil: "Ma, Andi udah di RS. Tunggu ya."
Status: Terkirim. Tapi tidak akan pernah dibaca.
Aku ambil HP Mama dengan tangan gemetar. Buka chat history kami untuk terakhir kalinya.
Pesan terakhir Mama, kemarin malam jam 23.15: "Dek, Mama susah tidur. Dada sesak banget. Tapi Mama nggak mau ganggu kamu. Selamat malam ya, sayang. Mama sayang sama Andi."
Jam segitu aku masih lembur di kantor, sambil scroll Instagram. Aku baca pesan itu tapi cuma kasih react emoji love tanpa reply apa-apa.
Seandainya aku tanya, "Kenapa Ma? Serius nih, ke UGD aja." Seandainya aku video call. Seandainya aku nggak terlalu bangga dengan kesibukan yang sebetulnya bisa ditunda.
Air mataku menetes ke layar HP Mama.
"Maaf, Ma. Maaf Andi terlambat. Maaf Andi selalu bilang sibuk. Maaf..."
Tapi Mama sudah nggak bisa dengar lagi.
Tiga hari kemudian, setelah pemakaman, aku duduk sendiri di kamar Mama. Semua masih tertata rapi seperti biasa. Buku resep masakan tulisan tangannya, foto-foto keluarga di dinding, dan HP yang masih penuh daya.
Aku buka galeri HP Mama. Ternyata penuh foto makanan. Rendang, soto ayam, klepon, gudeg. Semua makanan favorit aku dan Kakak Rina. Di setiap foto ada caption: "Buat Andi kalau pulang nanti" atau "Rindu masak buat anak-anak."
Ada folder khusus bernama "Andi Kerja". Isinya screenshot LinkedIn ku, foto kantor yang pernah aku kirim, bahkan story Instagram aku lagi presentasi. Mama bangga dan dokumentasi setiap pencapaian kecilku.
Yang paling menyakitkan, ada draft pesan yang nggak pernah dikirim:
"Dek, Mama tau kamu sibuk banget. Tapi kalau ada waktu sebentar aja, video call sama Mama ya? Mama kangen banget sama kamu. Mama lagi nggak enak badan, takut kenapa-kenapa. Mama cuma pengen denger suara anak Mama."
Draft itu dibuat seminggu lalu. Mama ngetik tapi nggak jadi kirim. Mungkin takut ganggu aku yang selalu bilang sibuk.
Aku scroll lagi. Ada screenshot percakapan grup keluarga yang Mama simpan. Chat-chat pendek dariku yang cuma "oke Ma" atau "iya, nanti". Mama screenshot dan save satu per satu. Mungkin buat dia, setiap balasan singkat dariku itu berharga.
Di meja kerja Mama ada kalender dengan lingkaran-lingkaran tanggal: "Ulang tahun Andi", "Rina mudik", "Kontrol dokter". Mama selalu ingat semua hari penting keluarga.
Tapi aku bahkan lupa kapan terakhir kali bilang "Selamat pagi" duluan ke Mama.
HP ku berdering. Notifikasi dari atasan: "Andi, revisi laporan sudah siap?"
Dulu pasti langsung aku bales. Sekarang aku cuma menatap kosong.
Aku buka WhatsApp, scroll ke kontak "Mama ❤️" yang selamanya akan menunjukkan "last seen yesterday at 23.15".
Aku ketik: "Ma, Andi kangen. Maafin Andi ya. Andi baru sadar sekarang betapa berharganya Mama."
Send.
Centang satu. Centang dua.
Tapi nggak akan pernah "read".
Grup keluarga yang dulu rame karena Mama selalu share resep, foto masakan, forward motivasi pagi, atau forward sesuatu yang gak penting, sekarang sepi. Tanpa Mama, grup itu cuma jadi tempat koordinasi keperluan praktis.
Aku menatap foto terakhir kami pas lebaran tahun lalu. Mama senyum lebar di tengah, merangkul aku dan Kakak Rina. Terakhir kali kami foto bersama.
Kini yang tersisa hanya penyesalan yang akan kubawa seumur hidup, dan notifikasi terakhir yang tak akan pernah terbaca oleh orang yang paling ingin mendengar kabar dariku.
Yang paling menyakitkan: bukan karena aku nggak sayang sama Mama. Tapi karena aku pikir Mama akan selalu ada. Aku pikir masih ada banyak waktu untuk jadi anak yang lebih baik.
Ternyata "nanti" itu tidak selalu datang.
Aku baru menyadari betapa berharganya seseorang ketika notifikasi terakhir mereka selamanya berhenti di satu kata 'terkirim' tanpa pernah berubah jadi 'terbaca'. [IM]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI