Seandainya aku tanya, "Kenapa Ma? Serius nih, ke UGD aja." Seandainya aku video call. Seandainya aku nggak terlalu bangga dengan kesibukan yang sebetulnya bisa ditunda.
Air mataku menetes ke layar HP Mama.
"Maaf, Ma. Maaf Andi terlambat. Maaf Andi selalu bilang sibuk. Maaf..."
Tapi Mama sudah nggak bisa dengar lagi.
Tiga hari kemudian, setelah pemakaman, aku duduk sendiri di kamar Mama. Semua masih tertata rapi seperti biasa. Buku resep masakan tulisan tangannya, foto-foto keluarga di dinding, dan HP yang masih penuh daya.
Aku buka galeri HP Mama. Ternyata penuh foto makanan. Rendang, soto ayam, klepon, gudeg. Semua makanan favorit aku dan Kakak Rina. Di setiap foto ada caption: "Buat Andi kalau pulang nanti" atau "Rindu masak buat anak-anak."
Ada folder khusus bernama "Andi Kerja". Isinya screenshot LinkedIn ku, foto kantor yang pernah aku kirim, bahkan story Instagram aku lagi presentasi. Mama bangga dan dokumentasi setiap pencapaian kecilku.
Yang paling menyakitkan, ada draft pesan yang nggak pernah dikirim:
"Dek, Mama tau kamu sibuk banget. Tapi kalau ada waktu sebentar aja, video call sama Mama ya? Mama kangen banget sama kamu. Mama lagi nggak enak badan, takut kenapa-kenapa. Mama cuma pengen denger suara anak Mama."
Draft itu dibuat seminggu lalu. Mama ngetik tapi nggak jadi kirim. Mungkin takut ganggu aku yang selalu bilang sibuk.
Aku scroll lagi. Ada screenshot percakapan grup keluarga yang Mama simpan. Chat-chat pendek dariku yang cuma "oke Ma" atau "iya, nanti". Mama screenshot dan save satu per satu. Mungkin buat dia, setiap balasan singkat dariku itu berharga.