Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Amnesia Nama-nama Bupati Jelang Pilkada

12 Juli 2020   03:41 Diperbarui: 12 Juli 2020   03:53 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak setengah-setengah dari imannya. Begitu total. Begitu kaffah. Rumah kami tidak hanya ramai oleh anak-anaknya. Tapi juga segala jenis binatang segala rupa. Juga tetumbuhan di sekeliling halaman.

Seperti Gaek Ompong, panggilan kami atas Ajam, kakek saya yang bekerja sebagai juru tulis jumlah angkutan batubara di Jawatan Kereta Api Hindia Belanda. Sangat terkenal bersih. Tulisannya dua kali lebih indah dibanding ayah. Lengkung huruf tulisan tangan yang seperti memahat setiap sisi, tebal tipis.

Sampai benar-benar dikejar dengan deadline menulis sejumlah kolom di koran-koran, saya tak terbiasa dengan mesin ketik atau komputer. Saya menulis kolom dengan tulisan tangan. 

Baru saya pindahkan ke komputer. Seperti banyak peneliti di Centre for Strategic and International Studies (CSIS) mengingat saya, sebagai predator paling rakus dlaam menggunakan kertas.

Ya, guna memastikan tulisan saya benar-benar terasa sebagai tulisan tangan, saya kembali mencorat-coret artikel yang sudah saya print out. Dua-hingga tiga kali. 

Tentu dengan perasaan penuh dosa. Saya mendapatkan honor dari tulisan-tulisan itu. CSIS? Sebagai institusi tak dapat apa-apa. Saya seperti pencuri dengan nama mentereng sebagai intelektual.

Baru kini saya sadar, ada yang perlu digaungkan. Hampir seluruh tulisan tangan saya di rumah tengah sawah kala pulang kampung, lalu saya ketik ulang di Jakarta, mampu merambah halaman-halaman penting kolom-kolom koran terkenal. Pun tanggapan dari pembaca sungguh terasa. Kebanyakan orang-orang tua, termasuk kritikan dari Daoed Joesoef tentang tulisan saya menyangkut jahatnya kota. Sekretaris pribadi Daud Beureueh bahkan mengirimkan tulisan tangan, beserta dokumen penting, ke alamat saya. Prof Dr Ali Hasyimi, Ketua Majelis Ulama Aceh. Dia menangis membaca tulisan  saya.

Pun, tak jarang saya menulis sambil menangis. Ketika Dhortheys Hiyo Eluay tewas. Ketika Tengku Abdullah Syafiie ditembus peluru. Saya terbiasa hormat kepada lawan yang tangguh. 

Seberapa berbedapun dengan sikap, pandangan, atau posisi saya berdiri. Ayah yang "mengajarkan" cara itu, walau ia dikenal dengan watak yang keras. Ayah adalah gerilyawan gagah di usia muda. Tapi ia peduli kepada apapun. Jejak tangis ayah terbaca dalam tintanya.

Delapan Belas Bupati  Tanpa Tanggal Lahir, Apalagi Legacy 

Ketika malam ini saya mencoba menelusuri nama-nama Bupati Padang Pariaman sejak 1945, saya sungguh merasakan "makna" dibalik ucapan dan "tuntutan" ayah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun