"Tetapi, mau bagaimana, Bu. Saya tidak tega meninggalkan di sana."
Ibu mengambil napas dalam-dalam. Dahinya mengerut sejenak, seperti berpikir bagaimana cara terbaik membesarkan si bayi, tetapi tetap menjaga nama baik keluarga. Terutama anaknya, yang sudah cukup umur untuk menjalin keluarga, tetapi belum laku-laku.
Dalam benak, ibu selalu memikirkan anaknya, mengapa sulit sekali mendapat jodoh? Satu-satunya anak pada masa tuanya yang belum menikah.
"Bagaimana kalau kita bilang ini anak keluarga kita saja, Bu? Bilang saja anak paman di desa sana. Kasih tahu tetangga, paman tidak mampu menyekolahkan anaknya yang sangat banyak. Kita adopsi seorang. Begitu saja, bagaimana?"Â
Ibu terdiam. Tidak berapa lama, kepalanya mengangguk. Ia begitu kasihan pada bayi itu.
Hari berganti hati, bulan menuju bulan, tahun berpindah tahun, bayi itu kian besar. Sudah saatnya ia sekolah. Aku mengantarkannya untuk mendaftar di taman kanak-kanak.Â
Pada saat yang sama, tanpa diketahui orang-orang, aku masih berusaha keras mencari siapa orangtuanya. Aku berharap suatu kali bisa bertemu.
Aku ingin melihat betapa binatang manusia itu. Betapa tidak bertanggung jawab mereka sebagai orangtua. Binatang saja tidak sejahat itu. Mereka masih punya naluri dalam instingnya. Mengapa manusia keparat itu tega membuang bayinya sendiri? Siapa orang-orang itu, yang berani berbuat tetapi tidak mau tanggung jawab?
"Bapaknya ya?" ujar seorang ibu yang tidak kukenal yang juga sedang mendaftarkan anaknya.
"Bukan. Keponakan. Saya walinya," jawabku pelan.
Ibu itu bergegas pergi. Ia menghampiri seorang ibu lain. Terdengar mereka asyik bercakap, meskipun samar.