Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Cerpenis.

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG @cerpen_sastra, Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen (Pulpen) Kompasiana, Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (Kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), dan Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (Indosiana). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Tangisan Bayi di Tepi Sawah

25 Agustus 2021   15:40 Diperbarui: 25 Agustus 2021   16:43 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tepi sawah pada malam hari, sumber: putraadiy via steemit

"Coba lihat itu, Bu. Masa bisa, keponakan mirip sekali dengannya?" kata ibu itu kepada ibu di sebelahnya.

"Yang mana, Bu?"

"Itu, itu. Mas yang berbaju hitam di sudut sana. Itu lho, yang sedang gendong anak di tangan."

Ibu di sebelah itu mengamati benar. Sejenak ia habiskan waktu memandang wajah si bocah. Lantas, ia palingkan perhatian ke Mas itu.

"Ah, itu pasti bapaknya, Bu. Mana ada sih, hidungnya sama mancung, alisnya sama tebal, pipinya pun sama tirus. Rambutnya apalagi. Keritingnya tidak beda. Bagaimana bisa itu keponakannya?"

"Iya kan, Bu. Mas itu bohong. Keponakan kok sama bentukan wajahnya!"

Sindiran itu sebetulnya tidak baru kudengar. Awalnya aku sakit hati, karena disangka sebagai bapaknya. Tetapi, aku tidak mengira juga, bagaimana Sisca -- nama yang kuberi pada bayi itu -- tumbuh besar menyerupaiku. Aku melihatnya berulang kali di depan cermin. Takut salah, aku pun meminta ibu untuk menilainya.

Apakah aku dan Sisca benar -benar sama mukanya? Bagaimana bisa kebetulan ini terjadi? Setelah kuamati benar, hidungnya memang mancung seperti hidungku. Rambutnya keriting sekali, seperti rambutku. Pipi, bola matanya, warna kulitnya, bahkan lekukan kupingnya sama. Mengapa ini bisa terjadi?

Aku tetap membesar-besarkan hati dan merelakan diriku dipandang sebagian orang sebagai bapaknya. Meskipun hatiku sangat kesal dan ingin sekali membantah semua itu, sungguh tidak ada guna berdebat dengan orang yang tidak tahu asal-muasal cerita. Aku lebih memikirkan bagaimana Sisca mendapat pendidikan dan penghidupan yang layak.

Malam itu, ketika ia sedang tidur di kamar, aku melihatnya perlahan. Kebetulan aku pulang cepat dari kantor. Aku melemparkan pandang ke sekeliling dinding kamar. Sudah kubuat warna merah muda dan aksesori serba perempuan di setiap sudut kamar. 

Pandanganku tiba-tiba terhenti. Kardus tempat Sisca kecil masih ada, teronggok di bawah meja lemari. Kudekati, kuambil, dan hendak kubersihkan. Ketika kuangkat, sepucuk surat yang terselip di dasar kardus jatuh. Aku terkaget. Sampulnya cokelat. Kurobek perlahan dan kubaca isinya. Tulisannya masih bisa dibaca, kendati sudah mulai samar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun