Mohon tunggu...
Bambang Syairudin
Bambang Syairudin Mohon Tunggu... Dosen - Bams sedang berikhtiar untuk menayangkan SATU per SATU PUISI dari SEMBILAN rincian PUISI tentang MASA DEPAN. Semoga bermanfaat. 🙏🙏

========================================== Bambang Syairudin (Bams), Dosen ITS ========================================== Kilas Balik 2023, Alhamdulillah Peringkat # 1 ========================================== Puji TUHAN atas IDE yang Engkau alirkan DERAS ==========================================

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sekelebat Cerpen: Tangisan Indah

4 Maret 2024   08:00 Diperbarui: 4 Maret 2024   08:14 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Ilustrasi merupakan dokumen pribadi 

Sekelebat Cerpen | Tangisan Indah

Hari berganti hari terasa cepat sekali. Waktu delapan jam seolah tidak cukup lagi untuk menyelesaikan pekerjaan yang datang bertubi-tubi. Pekerjaan yang satu belum selesai sudah datang beberapa pekerjaaan berikutnya yang sudah menunggu untuk diselesaikan. Tapi itu semua justru harus disyukuri karena sebagai pertanda bahwa kompetensi kita dibutuhkan. Jangan sampai banyaknya pekerjaan tersebut dirasakan sebagai beban, dan janganlah pula diri kita sampai  mengeluh. Karena mengeluh bisa menjadi awal mula ditariknya kembali rejeki dari Gusti. Karena beliau maha mendengar keluh kesah kita. Tinggal yang perlu dipikirkan adalah bagaimana caranya mengerjakan pekerjaan itu semua secara cerdas, efektif, dan efisien serta ikhlas.

Akhirnya waktu sehari yang duapuluh empat jam tersebut saya bagi-bagi peruntukannya. Saya kurangi waktu tidur saya empat jam untuk keperluan olah jiwa dan olah rasa, yang biasanya saya lakukan dengan membuat tulisan tentang  berbagai hal sesuai dengan tema yang saya sukai.

Setelah bekerja delapan jam kerja reguler untuk pekerjaan kantor dari pagi sampai sore, saya sediakan waktu empat jam untuk kebersamaan saya bersama Indah, atau untuk jaga-jaga sewaktu-waktu jika Indah membutuhkan kehadiran saya.  Sedsngkan empat jam berikutnya untuk menyelesaikan pekerjaan yang belum terselesaikan dan juga untuk memikirkan upaya memajukan perusahaan tempat bekerja. Tentu pembagian waktu tersebut bersifat tidak kaku, tetapi setidak-tidaknya sudah punya kerangka kerja yang secara rutin bisa dipakai dalam kondisi normal.

Saya lihat di hape tidak ada notifikasi pesan dari Indah. Baiklah akan saya coba untuk menghubungi Indah. Dugaan saya, Indah sudah pulang dari kantor dan sudah sampai rumah. Begitu saya telpon,  tak seberapa lama keemudian ada balasan dari Indah.

"Halo... Assalamualaikum, Mas Bambang"

"Wa'alaikumsalam, In...lagi ngapain?"

"Lagi mau mandi, mas" Sesuai kebiasaan Indah sepulang dari Kantor langsung mandi. Mungkin ini kebiasaan yang terbentuk akibat masa pandemi dulu. Suatu kebiasaan yang baik untuk membersihkan virus yang menempel di tubuh kita.

"Sore ini Mas Bambang ada  rencana ke rumah Indah nggak mas?"

"Nggak ada rencana In."

"Loh kenapa mas?"

"Nggak kenapa kenapa, In."

"Loh kok gitu sih, Mas Bambang?"

"Lha tadi kan Indah sendiri yang nanya dan sudah saya jawab."

"Tapi mosok njawabnya gitu?...kayak nggak ngerti saja,"

"Nggak ngerti bagaimana maksudnya, In?"

"Nggak ngerti kalau Indah selalu kangen sama Mas Bambang"

Sepertinya saat ini Indah lagi sensi. Terdengar dari nada bicaranya sedikit merajuk dan terbawa perasaan (baper). Mempersoalkan persoalan kecil seperti persoalan besar. Mempersoalkan ketidakmengertian saya menjadi persoalan penting dan itu dimasukkan ke dalam hatinya Indah.

Untuk meredam agar Indah tidak semakin terbawa perasaan, segera saya jawab, "Sorry, In saya ralat jawaban saya, nggak ada rencana diganti jadi ada rencana ke rumah Indah."

"Makasih ya mas saya tunggu...sekarang Indah permisi tinggal mandi dulu ya mas?"

"Iya, In" Telpon saya tutup dan segera siap-siap menuju ke rumah Indah, tepatnya ke rumah kosnya Indah.

Sampai di rumahnya Indah, saya langsung diberondong dengan pertanyaan dan pernyataan Indah. Rupanya Indah masih belum puas terhadap jawaban yang telah saya ralat tadi.

"Sebenarnya Mas Bambang kangen apa nggak sih sama Indah?"

"Sebenarnya Mas Bambang sayang  apa nggak sih sama Indah?"

"Sebenarnya Mas Bambang cinta apa nggak sih sama Indah?"

"Indah takut, Mas Bambang sudah tidak kangen sama Indah."

"Indah takut, Mas Bambang sudah tidak sayang sama Indah."

"Indah takut, Mas Bambang sudah tidak cinta sama Indah."

Berondongan pertanyaan dan pernyataan tersebut langsung saya jawab dengan nada tegas.

"Saya selalu kangen, selalu sayang, dan selalu cinta sama Indah."

Mendengar jawaban tersebut, mata Indah berkaca-kaca terharu lalu pecah tangis. Suatu tangisan keharuan bukan tangisan kesedihan.

Tangan saya diraihnya kemudian Indah mencium tangan saya seperti layaknya santri saat mencium tangan guru ngajinya. Indah mencium tangan saya juga seperti layaknya makmum ketika mencium tangan imamnya.

Dalam hati saya berdoa semoga kelak saya bisa menjadi imam yang baik untuk Indah. Dalam hati saya juga berdoa semoga kelak saya bisa menjadi guru ngaji bagi anak-anak saya yang dilahirkan Indah.

(tangisan indah, 2024)

Sekelebat cerpen ini dirangkai dengan cara singkat dan sangat sederhana untuk menceritakan tentang Tangisan Indah. Semoga bermanfaat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun