Mohon tunggu...
Bambang Syairudin
Bambang Syairudin Mohon Tunggu... Dosen - Bams sedang berikhtiar untuk menayangkan SATU per SATU PUISI dari SEMBILAN rincian PUISI tentang MASA DEPAN. Semoga bermanfaat. 🙏🙏

========================================== Bambang Syairudin (Bams), Dosen ITS ========================================== Kilas Balik 2023, Alhamdulillah Peringkat # 1 ========================================== Puji TUHAN atas IDE yang Engkau alirkan DERAS ==========================================

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sekelebat Cerpen: Kematian Indah

13 Maret 2024   08:00 Diperbarui: 13 Maret 2024   08:08 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Ilustrasi merupakan dokumen pribadi 

Sekelebat Cerpen | Kematian Indah

Lari pagi bersama Indah kali ini tidak ke Lapangan Gasibu depan Gedung Sate.
Tapi menuju ke Sarana Olahraga Ganesha dekat Gedung Sabuga.

Saya dan Indah melintasi Jalan Suci dengan sukacita di hati.
Indah nampak riang sekali dan saya juga senang di hati.

Belok kiri melewati pohon pohon cemara Cikutra yang berjajar rapi.
Belok kiri lagi, lalu mengikuti jalan berliku yang menanjak dan menurun.

Setelah melewati Cikondang dan Cigadung, kami menerobos jalan tembus Kanayakan,  barulah kami sampai di Jalan Dago.
Meskipun cukup jauh berlari, tak ada rasa lelah di badan ini.
Yang ada hanya rasa bahagia di hati.

Pada jarak tempuh tertentu kami saling berpandangan dan saling menanyakan apakah perlu berhenti sejenak ataukah diteruskan? Saya bilang diteruskan.
Indah pun setuju sambil melompat gembira diselingi tawa ceria meneriakkan yel yel tertentu.

Yel yel yang membuat saya “malu” karena dengan suara sangat keras sekali Indah meneriakkannya. Seperti hendak memproklamasikan kepada seluruh penghuni alam semesta. Seperti hendak mendeklarasikan ungkapan isi hatinya dengan sungguh-sungguh kepada segenap yang ada di sekitarnya.

Yel yel yang membuat saya “malu” karena ada nama saya di dalam isi yel yel yang Indah teriakkan itu.
Juga ada kata “cinta” di dalam isi yel yel tersebut.
Saya tidak berani mencegahnya karena saya tak ingin memutus keceriaannya.

Dari Dago, kami terus bersama berlari hingga memasuki kawasan Sabuga. Di hari minggu pagi ini suasananya ramai menyenangkan. Sudah banyak pengunjung yang datang untuk berolahraga atau yang datang dengan tujuan lainnya.

Tak ada dialog di Sabuga bersama Indah, kami berdua fokus berolahraga. Mempraktekan beberapa jenis gerakan yang menyehatkan raga, yang memperkuat raga.

Selesai dari Sabuga kami lanjutkan dengan berjalan kaki menuju Jalan Ganesha. Mencampurkan diri di dalam keramaian pengunjung yang berwisata.

Di sini biasanya kami menyempatkan diri memburu (mencari) Penjual Mochi.

Kebetulan Indah juga sangat menyukai mochi.

Bisa dipastikan kami akan membeli Mochi dalam jumlah yang agak banyak karena sekaligus buat teman-teman Kos. Mereka teman-teman Kos terlanjur terbiasa dengan jenis oleh-oleh dari kami ini. Kalau tidak, pasti mereka akan menanyakan dengan kalimat klasik “ Mochinya mana ?”.

Pangkalan terakhir kami kalau di sini adalah di Taman Ganesha, sambil menikmati mochi kami berdiskusi.

“In, sehabis ini kita beli sarapan pagi di mana ya In?” Saya mengawali pembicaraan karena perut sudah terasa lapar.

“Mas Bambang sudah lapar ya, Mas?”

“Iya, In.”

“Coba ditahan dulu karena Indah di rumah sudah masak Sego Sotong dan Bumbu Megono. Mas Bambang belum pernah kan?”

“Iya belum pernah, In.”

“Rasanya sedap gurih enak sekali. Dijamin Mas Bambang pasti nambah dan nambah lagi.”

“Really? Swear?”

“Yezzz....hehehe,” Indah mengacungkan dua jempol dan tertawa.

“Oh ya Mas, mumpung Indah lagi ingat. Ini ada yang mau Indah tanyakan ke Mas Bambang, biar nggak salah kalau nanti Indah praktekkan.”

“Apa itu, In?”

“Ada dua yang ingin Indah tanyakan ke Mas Bambang.”

“Pertama?...” Saya menyelingi dengan mengatakan kata ini.

“Pertama, apakah betul seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya saat statusnya masih dalam gugatan cerai akan otomatis berstatus resmi cerai?”

“Secara logika saya, jawabannya ya, yaitu secara otomatis berstatus resmi cerai, dalam hal ini sebutannya cerai mati, In. Tetapi secara hukum agama, perlu Indah tanyakan kepada ahlinya, In.”

“Tetapi Indah percaya dan yakin dengan kebenaran logikanya Mas Bambang. ”

“Ya, jangan begitu, In....biar tidak salah harus ditanyakan kepada ahlinya.”

“Iya Mas Bambang, akan coba Indah tanyakan juga kepada ahlinya.”

“Kedua?......” Saya menyelingi lagi dengan mengatakan kata ini.

“Kedua, agar status Indah nggak terkatung-katung lama sekali, boleh nggak Mas Bambang, kalau Indah berdoanya memohon agar Indah berstatus cerai mati?”

“Wah ya nggak boleh, In. Meskipun itu bisa menyelesaikan masalahnya Indah. Tetapi kalau bisa jangan mendoakan kematian orang lain, In. Jangan mendoakan agar Mas Toni lekas mati”.

Dengan pertanyaan Indah yang kedua ini, rasa lapar saya menjadi hilang, karena kaget dengan keinginan berdoanya Indah tersebut.

“Indah menyebutnya itu sebagai kematian indah, bukan kematiannya Indah loh mas ya, tapi kematian yang indah. Karena dengan kematian itu nantinya bisa menyelesaikan masalahnya Indah.”

“Iya, In, tapi kalau bisa sekali lagi jangan mendoakan kematian orang lain, In. Lebih baik selalu bersabar saja In. Jangan kuatir, kesabarannya Indah akan saya temani dengan kesabaran saya. Saya siap bersabar demi jalan keluar yang terbaik, In.”

Dengan jawaban saya tersebut, Indah nampak puas dan kesabarannya kembali bangkit lagi.

“Iya, Mas Bambang, saran Mas Bambang agar Indah tak mendoakan kematian orang lain, akan Indah patuhi. Dan Indah percaya dan bahagia mendengar Mas Bambang juga akan ikut bersabar menemani kesabarannya Indah demi jalan keluar yang terbaik. Terima kasih atas sarannya ya Mas, dan Indah makin cinta banget sama Bambang.”

“Iya, In, Terima kasih sama-sama. Saya juga makin cinta banget sama Indah.”

Mata Indah berkaca-kaca tanda terharu. Saya pun juga terharu dan langsung saya isi keterharuan hati saya tersebut dengan berdoa,  semoga kami diberikan jalan takdir hidup berumah tangga bersama sampai kelak menutup mata.

Menutup mata menuju kematian yang  indah, bahkan terindah.

Suatu kematian bisa dikatakan indah karena di dalam kematiannya membawa serta kesetiaan cinta.

(kematian indah, 2024)

Sekelebat cerpen ini dirangkai dengan cara singkat dan sangat sederhana untuk menceritakan tentang  Kematian Indah. Semoga bermanfaat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun