Ode kepada Pasrah
Wahai Pasrah,
engkau tampak sederhana:
sebuah ruang kosong,
seperti tanah lapang yang ditinggalkan pemiliknya,
tanpa pagar, tanpa tanda, tanpa suara.
Di sanalah, di celah sunyi itu,
para elit menancapkan panji-panji mereka,
menggali perut bumi bukan untuk kenyang rakyat,
melainkan untuk menambah kilau singgasana mereka.
Pasrah,
bukan lagi doa lirih yang melayang ke langit,
melainkan palung gelap tempat kuasa bersemayam.
Ia dipoles menjadi sikap tunduk,
dirangkai menjadi narasi bakti,
dipaksa menetes dari bibir rakyat kecil
yang hanya ingin sepotong roti
dan sehela nafas damai.
Wahai Pasrah,
engkau bagai jendela yang dibiarkan terbuka malam hari,
angin masuk membawa kesejukan,
tetapi juga maling menyelinap dengan langkah ringan.
Begitulah pencuri masuk:
mencuri tenaga, mencuri suara,
mencuri harapan, bahkan mencuri arti hidup.
Namun, Pasrah,
aku masih melihat kemungkinan lain pada wajahmu,
engkau bisa menjadi samudra tenang,
yang menelan keserakahan dengan sekali ombak.
Engkau bisa menjadi tanah subur,
yang menumbuhkan perlawanan dalam diam,
menyimpan bara panas di kedalaman ragam akar ,
hingga suatu hari meletus menjadi bunga api kebangkitan.
Wahai Pasrah,
janganlah selamanya kosong.
Janganlah hanya menjadi altar bagi kepalsuan.
Biarlah engkau bertransformasi,
dari ruang yang dieksploitasi,
menjadi ruang yang melahirkan
kesadaran, keberanian, dan kebebasan.
Sebab hanya dengan begitu,
elit tidak lagi berpesta di atas kehampaanmu,
melainkan gemetar di hadapan rakyat
yang mengubah pasrah menjadi daya.
Heronimus Bani-Pemulung Aksara
Umi Nii Baki-Koro'oto, 3 September 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI