Setiap tahun, Agustus datang membawa euforia yang sama. Bendera merah putih berkibar gagah di setiap sudut lokus, mulai dari perkotaan hingga pelosok desa dan pesisir pantai, bahkan pulau-pulau kecil, bukit dan puncak gunung serta kedalaman laut. Jalanan dihiasi ornamen meriah, dan masyarakat, tua maupun muda, larut dalam berbagai perlombaan yang mengundang tawa tanda sukacita dan kebersamaan.Â
Puncak perayaan ini, tak lain adalah peringatan Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, yang kini telah menginjak usia 80 tahun. Perayaan ini adalah momen suci, saat kita mengenang perjuangan para pahlawan dan merayakan kemerdekaan yang telah direbut dengan darah dan air mata.Â
Di balik gegap gempita yang menyelimuti dan membingkai seluruh negeri, Agustus tahun ini menghadirkan ironi yang begitu menusuk. Ia menampilkan dua sisi wajah yang sangat berbeda: satu wajah penuh sukacita, dan satu lagi penuh luka.
Di tengah masyarakat, perayaan kemerdekaan adalah momentum kolektif untuk bersatu. Di gang-gang sempit, panjat pinang menjadi tontonan yang menghibur, melambangkan perjuangan untuk meraih cita-cita. Lomba makan kerupuk, balap karung, dan aneka perlombaan lainnya seolah-olah menjadi obat penawar dari segala kepenatan hidup. Semangat gotong royong kembali hidup, melampaui sekat-sekat sosial. Di sini, di tengah-tengah rakyat, kemerdekaan adalah milik bersama, sebuah kebahagiaan yang dirayakan tanpa beban. Ada sebuah rasa bangga yang tulus, bahwa kita adalah bagian dari bangsa yang besar, yang mampu berdiri di atas kaki sendiri.
Namun, di waktu yang sama, satu pemandangan yang kontras terjadi di Gedung Kura-Kura Senayan, tempat para wakil rakyat duduk. Di sana mereka selain memperdebatkan apa yang menjadi kewajiban atas nama rakyat yang diwakili, mereka pun  mempertontonkan satu sikap dan tindakan yang "menggairahkan" rasa. Di balik tembok-tembok megah, ada perayaan lain yang tak kalah meriah. Para anggota dewan terlihat berjoget riang, merayakan keberhasilan mereka dalam meloloskan kenaikan gaji dan tunjangan. Ironisnya, perayaan ini berlangsung di tengah-tengah situasi ekonomi yang masih sulit bagi sebagian besar rakyat. Kenaikan harga kebutuhan pokok, pengangguran yang masih tinggi, dan berbagai persoalan lain seolah-olah tak sampai ke telinga mereka. Tawa dan sorak sorai di dalam gedung DPR terasa seperti sebuah tamparan keras bagi rakyat yang berjuang di luar sana.
Kegembiraan yang dipertontonkan para wakil rakyat ini seolah menjadi simbol dari jurang yang semakin dalam antara elite politik dan masyarakat. Ketika rakyat berteriak karena beban hidup yang semakin berat, teriakan itu justru dibalas dengan keputusan-keputusan yang menambah luka. Alih-alih menjadi "lidah rakyat" yang menyuarakan aspirasi, mereka justru bertindak seolah-olah "lidah" itu digunakan untuk menyuntikkan racun ketidakadilan. Sikap ini memicu kemarahan, yang akhirnya melahirkan sebuah gerakan. Rakyat, yang merasa dikhianati dan diabaikan, mulai bergerak. Gerakan ini bukan sekadar protes, melainkan sebuah manifestasi dari rasa sakit yang tak lagi bisa ditahan. Ia adalah sebuah panggilan, bahwa kemerdekaan sejati bukan hanya milik para elite, melainkan harus dinikmati oleh seluruh rakyat.
Harapan di Awal September 2025
Kini, Agustus telah berlalu dan kita memasuki September 2025. Bulan ini membawa serta harapan baru, yang tumbuh dari pelajaran pahit di bulan sebelumnya. Kita berharap, di bulan ini, lidah-lidah yang dulu menginjeksikan racun bisa kembali menjadi lidah yang menyuarakan kebenaran yang menyejukkan. Kita berharap para wakil rakyat bisa lebih peka terhadap jeritan rakyat, walau terlihat di sana bukan secara keseluruhan anggota wakil rakyat. Namun, sebagaimana kata pepatah, nila setitik merusak susu sebelanga. Baiklah mereka segera berbenah, kembali ke fitrah tugas pokok dan fungsi sebagai institusi yang mewakili rakyat dalam kerangka berpemerintahan yang seimbang.
Semoga gerakan rakyat yang lahir dari ketimpangan yang terlihat menyolok itu bukan lagi dipandang sebagai ancaman, melainkan sebagai cermin yang menunjukkan bahwa ada yang salah dalam sistem yang berjalan.
Mari kita jadikan September 2025 ini sebagai momentum untuk menumbuhkan kembali empati dan rasa kebersamaan. Semoga setiap kebijakan yang dibuat tidak lagi hanya menguntungkan segelintir orang, melainkan bisa menjadi solusi nyata bagi persoalan-persoalan bangsa. Semoga harapan ini tidak sekadar menjadi utopia, melainkan menjadi semangat yang membakar tekad kita semua---baik rakyat maupun wakil rakyat---untuk mewujudkan Indonesia yang lebih adil dan sejahtera, sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa.