Di Punggung Waktu, Roda Berputar
Di halaman rumah yang mulai retak di sudut-sudutnya, satu unit Honda Revo tua berdiri. Catnya telah pudar seperti senja yang terlalu sering disapu angin laut. Tangkinya menyimpan bukan hanya bensin sebagai pembakar semangatnya, tetapi juga rahasia-rahasia perjalanan yang tak tercatat dalam peta, irama dan nada yang tak diurai oleh komponis.
Roni, tuannya, memanggilnya dengan panggilan sederhana: Si Merah, tetapi di dalam hati, ia tahu, motor ini adalah seekor kuda besi yang telah menulis puisi di jalanan Pah Amarasi, Kupang Raya, Fatule'u, Am'abi, Amfoang Selatan, hingga So'e. Setiap meter dan kilometer yang dilalui bagai bait dan sampiran, setiap tikungan laksana nafas metafora.
Dua kali jantung dan parunya dibongkar, dua kali ia belajar bernapas kembali. Seperti manusia yang dua kali nyaris tenggelam dalam pelayaran, ia tetap memilih berenang di lautan kehidupan. Atau bagai dua kali menerima kenyataan pahit, ia tak langsung menelannya, namun menyelinap keluar menuju rongga baru. Di sana ia memikul bekas-bekas luka, sambil terus terbatuk-batuk di perjalanan pulang ke rumah.
Pernah mereka menembus Bijaepunu', satu desa di Mollo yang seperti terletak di ujung bumi Timor Tengah Selatan. Hujan, kabut, malam, jalanan berkelok menurun dan mendaki. Baginya dan tuannya, Roni, semua itu memberi warna pada ziarah waktu.Â
Pernah pula menyeberangi Selat Kupang menuju Semau---perjalanan di mana Si Merah belajar bahwa laut juga bisa menjadi jalan, dan perahu bisa menjadi jembatan. Ia berdiri tenang di atas perahu, tiba di pelabuhan dipapah bagai pasien di atas ambulans.
Berkali-kali hujan deras pernah memandikannya hingga rantai berkarat bahkan pernah putus di suatu tanjakan Kawasan Amarasi Barat. Terik matahari pernah membakarnya sampai catnya merekah seperti kulit yang mengelupas. Batu-batu tajam, lumpur, dan jembatan putus pernah menguji kesetiaannya. Si Merah tak pernah memilih berhenti, karena ia tahu: jalan setia akan selalu membawa pulang.
Di matanya, Roni bukan sekadar tuan. Ia adalah pengurai kisah yang melukis cerita bukan sekadar dengan pena, tapi dengan putaran roda. Di hati Roni, Si Merah bukan sekadar kendaraan, tapi sahabat yang tak mau dan tak sudi bertanya kapan perjalanan akan berakhir.
Kini, di usia yang semakin renta, Si Merah berdiri di bawah sinar pagi. Angin mengusap bodinya yang letih. Ia tahu, mungkin suatu hari ia akan berhenti selamanya. Sebelum hari itu tiba, ia ingin sekali lagi berlari di punggung bukit dan menuruni Lembah-lembah Pah Amarasi, membiarkan angin dan debu menjadi doa.
Sebab, dalam hidup, yang abadi bukanlah mesin atau jalanan, melainkan kesetiaan untuk terus berjalan---meski karat mulai menggerogoti.