Mohon tunggu...
Heronimus Bani
Heronimus Bani Mohon Tunggu... Guru

Menulis seturut kenikmatan rasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jacoba di Kota Kasih

5 Agustus 2025   08:45 Diperbarui: 5 Agustus 2025   08:45 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada kota yang tumbuh dari bebatuan karang dan disiram angin pantai berlabel kasih, di sana  pepohonan dibabat digantikan dengan tembok-tembok kepongahan. Pada kota itu hiduplah seorang perempuan bernama Jacoba. Ia bukan perempuan yang dikenal dari kemilau perhiasan dan kecantikan hasil editan. Ia dikenali dari banyaknya sinar mata yang berpancar dari murid-muridnya yang  ia bimbing dengan sepenuh dan setulus hati.
Kota Kupang --- kota yang disebut orang sebagai Kota Karang, tempat cinta kadang sekeras batu cadas yang setia walau diterpa ombak pantai Oeba', namun tak pernah berhenti memekarkan bunga bougenville di setiap pagar rumah. Angin kering dari pantai bertiup menyapu raga dan rasa di sepanjang Teddys Bar pelabuhan pertama di Timor. Angin yang sama suka sekali memainkan rambut kaum Hawa ketika berteduh di bawah rindangnya Ketapang Satu. Saat mana mereka berpasangan memandang mimpi fatamorgana di kejauhan.

Di kota inilah langkah Jacoba tumbuh sejak ia menyandang gelar guru sekolah dasar. Ia seorang sarjana pendidikan dengan sejumlah prestasi yang diukir di atas prasasti hati murid-murid dan rekan guru di tempat tugasnya. Ia mengkompaus nada dan irama bersama orang tua dan keluarganya.

Kota Kupang dengan jalanan beraspal serta hiruk-pikuk bemo menjadi warna tersendiri bagi Jacoba pada masanya. Pemukiman padat penduduk dengan gang sempit sesempit ujaran bijak bernada caci dan umpat.  Di kota ini, Jacoba ukir emosi jiwanya pada bangku sekolah secara berjenjang dan mengurai cita pada kursi kuliahnya yang sempat sirna pada semester ketujuh. Seni tari drama dan musik tak lagi menggerakkan dan menggetarkan emosinya, namun jiwanya mengarah pada ritme, irama dan birama hentakan seorang guru. Guru sekolah dasar, itulah pilihan akhirnya.

Sejak pagi pertama ia mengajar di SD Inpres Bertingkat Perumnas, Jacoba telah mengepal tinju ikrar pada dirinya sendiri, bahwa setiap huruf yang ia ajarkan bukan sekadar tanda dan lambang berjedah tanda baca, tapi jendela pandang ke masa depan. Anak-anak adalah benih, dan ia telah menjadi ladang subur yang siap mencangkul dan menghalau hama dan gulma penggoda mimpi-mimpi kecil mereka.

Pada suatu hari di tahun 1997, pagi-pagi buta, ia melipat seragam batik dan kemeja putih muridnya ke dalam koper. Ia terbang menuju Jakarta --- bukan untuk liburan, tapi mendampingi salah satu muridnya yang akan berlomba membawa sejumput harapan dari ujung Timur negeri ini. Di podium sana, di depan lampu sorot dan mikrofon berserak, anak itu berdiri dan bersuara khas anak Kota Kupang. Suaranya gemetar seperti lilin yang melawan angin. Jacoba berdiri di belakangnya --- bukan sebagai bayangan, melainkan sebagai akar yang mencengkram agar badai tak memberangus rasa. Setiap kata yang keluar dari mulut sang anak, seolah-olah adalah gema dari suara Jacoba yang telah menabur kata demi kata di dalam kelas bertembok kusam.

Dua puluh tahun berlalu. Murid-murid berganti, wajah-wajah kecil berubah menjadi dewasa, dan Jacoba telah bergeser ruang pengabdian di SD Katolik Don Bosco 3 Kota Kupang. Hati dan semangatnya masih sama. Ia masih percaya bahwa papan tulis adalah samudera luas dan kapur putih adalah tiang layar perahu mungil yang siap mengantar siapa saja ke pulau-pulau harapan.

Kupang  benar-benar berubah, bougenville tak  lagi mekar di bawah terik matahari. Sementara Jembatan kembar Liliba menjadi saksi ribuan langkah kaki pulang dan pergi. Di tengah hiruk-pikuk kota, Patung Tirosa menatap langit --- tiga sosok yang menggenggam sejarah, dan Taman Nostalgia, tempat kaum memadu rindu, seperti Jacoba yang menggenggam kenangan akan anak-anak yang dulu ia tuntun dengan tangan sabar.

Pada suatu sore, ia berdiri di Jembatan Selam memandang Benteng Concordia --- sisa masa lalu yang masih berdiri kokoh. Ia menyentuh dinding tua gedung gereja Kota Kupang lalu membatin: "Aku juga benteng. Aku juga Gereja."

Seorang mantan murid menghampirinya. Sudah dewasa, sudah menjadi guru pula.

"Bu, selamat sore." Ia menjabat dan mencium hidungnya sebagaimana layaknya kaum Timor berciuman. Ia melanjutkan, "saya masih ingat waktu Ibu belikan baju rompi bercorak motif Bi-In-Mafon. Waktu itu ibu bilang, ini motif dari Timor Tengah Utara, kabupaten darimana leluhur keluar menuju Kota Kupang. Rompi itu menjadi kenangan pada saya." Suaranya gemetar seperti gemuruh ringan pertanda hujan akan segera turun perlahan.
Jacoba tersenyum. "Rompi itu bukan hadiah. Itu sayapmu." Jacoba mencoba memberi senyuman terindahnya bagai hendak berkompetisi dengan keindahan senja saat itu.

Dan sang mantan murid itu berjalan pulang, melewati jalanan yang dulu pernah mereka tapaki bersama. Jacoba perlahan menggeser langkah menapaki jejak menuju simpang Patung Sonbai. Di sana ia berdiri. Kali ini ia menatap Katedral Kristus Raja, tempat di mana ia mendaraskan doa dalam sunyi saat orang tua dan kakaknya menghadap Ilahi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun