Mohon tunggu...
Heronimus Bani
Heronimus Bani Mohon Tunggu... Guru

Menulis seturut kenikmatan rasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senin di Bawah Langit Nekmese

5 Agustus 2025   11:08 Diperbarui: 5 Agustus 2025   11:08 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana upacara Senin; foto&kolase: Roni Bani

Pagi ini, matahari bangkit perlahan dari peraduannya, mengusap pucuk-pucuk cemara dan nyiur dengan cahaya keemasan. Angin, sang penyair tak bersuara, membacakan puisi dari pucuk dedaunan yang menari perlahan, seolah turut mengatur irama langkah kecil para murid berseragam merah-putih menuju lapangan tanah yang bersahaja.

Di tengah panggung alam yang sederhana namun megah, tiga bocah maju ke tiang bendera. Mereka bukan tentara, bukan pahlawan berpedang, tapi tangan kecil mereka menggenggam tali merah-putih dengan getar keberanian yang sama. Sang Merah Putih pun perlahan naik, bukan sekadar kain dua warna, tapi napas sejarah yang menggema dalam dada.

"Indonesia Raya" pun meluncur dari bibir mungil mereka, bukan sekadar lagu, tapi doa yang bergetar dalam udara pagi yang dingin dan bening. Di antara barisan, seorang anak berdiri tegak, matanya menatap langit seolah sedang mengirimkan pesan kepada angin: bahwa negeri ini tetap harus dijaga, meski tubuh mereka masih kecil.

Di sisi timur lapangan, seorang lelaki tua berseragam coklat berdiri kokoh, seperti pohon tua yang pernah menyaksikan banyak badai namun tetap berdiri memberi teduh. Dialah pembina upacara, kepala sekolah dari bangunan di sisi sana. Ia menerima sebentuk map berisi teks Pancasila. Ia membacakan Pancasila, para guru dan anak-anak mengikutinya---dengan nada yang belum sempurna, tapi dengan hati yang penuh.

"Aku Indonesia," kata mereka dalam diam.

"Aku yang menanam damai dari sebiji kata."

Dalam amanat, Pembina upacara bicara tentang Bulan Kebangsaan, tentang cita-cita dan tanggung jawab, tentang belajar bukan sekadar soal buku, tapi juga tentang mencintai tanah tempat kaki berpijak.

Ketika upacara hendak usai, doa mengalir seperti embun yang jatuh pelan ke dedaunan pagi, seorang siswi maju perlahan ke hadapan sang pembina. Ia menyatakan bahwa seluruh peserta upacara telah berpartisipasi secara baik dan siap kembali ke dalam rutinitas. Senyumnya tidak lebar, tapi cukup untuk menyalakan harapan dari ujung rambut hingga sepatu.

Pemimpin upacara dan Pembina upacara layaknya  dua generasi dalam satu gambar sunyi yang lebih berharga dari pidato---suatu  janji tak terucap bahwa belajar dan mengabdi adalah dua sisi dari bendera yang sama.

Di belakang mereka, langit tetap biru. Dan angin terus menari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun