Mohon tunggu...
AKIHensa
AKIHensa Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan dan sejak 4 Mei 2012 menjadi Kompasianer

Kakek yang hobi menulis hanya sekedar mengisi hari-hari pensiun bersama cucu sambil melawan pikun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cerpen] Seusai Praktikum Kimia

1 Agustus 2019   15:49 Diperbarui: 2 Agustus 2019   04:58 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fermentasi Etanol (Foto Dokumen Pribadi/Hendro Santoso) 

"Hensa, aku pamit duluan ya," suara Alan Erlangga berpamitan kepadaku sambil menepuk bahuku. "Aini titip jejaka yang lagi patah hati ini, " seru Alan kepada Aini Mardiyah kemudian ia meninggalkan kami di Laboratorium Kimia itu setelah mengucapkan salam.

"Jangan khawatir Alan. Aku siap mengawal jejaka ganteng ini agar segera 'move on' !" Kata Aini sambil tersenyum kepadaku. 

Baru aku sadari ternyata gadis cantik berjilbab ini begitu manis senyumnya. Baru aku sadari pula sejak aku berpisah dengan Erika, Aini selalu hadir disetiap kegalauanku. 

Mungkin sudah seharusnya kini Erika Amelia Mawardini sudah menjadi bagian dari masa laluku.

"Hensa mari kubantu merapihkan berkas-berkas laporan praktikum ini agar kita lebih cepat pulang, " suara Aini sambil mengambil dan merapihkan kertas-kertas laporan yang berserakan tersebut.

"Terima kasih Aini!" kataku.

Aini sudah biasa mampir di laboratorium kimia ini seusai dia menyelesaikan percobaan penelitian skripsinya di laboratorium instrument yang tempatnya persis ber-sebelahan. 

Aku dan Aini sore itu akhirnya meninggalkan laboratorium menuju tempat parkir. Aku menuju tempat dimana motorku diparkir sementara Aini menuju Honda Jazz hitamnya. Kami meninggalkan halaman parkir menggunakan kendaraan masing-masing.

Baca Juga : Tangga Perpustakaan Kampusku

Kini sudah menjadi fakta bahwa Erika memang ditakdirkanNya bukan untuk menjadi teman hidupku. Dia ditakdirkan untuk menerima keinginan orang tuanya bertunangan dengan anak sahabat ayahnya. Perjodohan antara sahabat lama untuk anak-anak mereka. 

Aku sudah ikhlas melepaskan Erika. Hanya saja entah kenapa justru disaat seperti ini setiap hariku selalu ada Aini Mardiyah. 

Aku akui bahwa sejak kepergian Erika, aku benar-benar berusaha untuk menikmati apa adanya suasana kampus dimana aku harus menyelesaikan skripsiku. 

Aku mencoba menjalani hidup ini mengalir saja apa adanya. Walaupun pada kenyataannya bukan hal yang mudah.

Bagaimana tidak, setiap jengkal lantai di kampusku penuh dengan kenangan. Bangku-bangku di taman, kantin, perpustakaan, laboratorium, ruangan kuliah fakultas, auditorium. 

Pohon-pohon flamboyan yang rindang disepanjang jalan setapak di samping pelataran parkir. Pedagang bakso di ujung jalan pojok fakultas yang setiap sore mangkal di sana. 

Restoran Tionghoa di jalan Surya Kencana. Trotoar di sepanjang Jalan Pajajaran. Pohon-pohon teduh di Kebun Raya. Rumput hijau di halaman luas depan kampus. 

Istana Bogor dengan rusa-rusanya yang jinak. Seolah olah hampir semua pelosok kampus dan sebagian tempat di kota Bogor ini penuh dengan kenangan bersama Erika. 

Setiap aku ada disana seakan Erika pun ikut hadir. Simak sebuah puisi yang secara tak sengaja aku tulis di buku catatan harianku.

Cerita ini pada suatu malam,
sehingga aku terguncang dan tenggelam,
berusaha menjadi tempat berpegang.
Seharusnya disana ada tempat.
Di mana kupijakkan kakiku erat-erat.
Seharusnya disana ada jalan.
Di mana kulangkahkan cita dan harapan.
Lalu disela detak jantungku,
ada nada sumbang yang selalu saja tak kumengerti.
Di mana saat ini aku berhenti.
Dari seluruh perjalananku.
Sesaat aku sempat singgah,
hanya sekedar menengok segenap gelisahku,
yang telah semakin gosong berabu.

Tuhan, haruskah,
puisi ini berhenti dan musnah
dan hilang dan lenyap dan basi dan mati
karena itu kutunggu
reinkarnasi puisiku masa lalu.

Reinkarnasi puisiku masa lalu? Apa maksudnya? Ya betapa rapuhnya jiwaku, betapa cengengnya. 

Mengapa Erika begitu besar pengaruhnya terhadap kehidupanku? Dia gadis yang aku cintai yang diharapkan menjadi ibu dari anak-anakku. 

Aku sudah menerima TakdirNya bahwa Erika bukan milikku. Bagaimanapun juga aku harus bisa fokus dengan rencana penelitianku untuk skripsi. Biarlah masa lalu kusimpan rapat-rapat dengan segala keindahannya.

Saat ini aku harus meluangkan banyak waktu di perpustakaan untuk mendapatkan baha-bahan lietratur bagi proposal skripsiku. 

Ternyata di sana banyak waktu pula yang justru malah membuatku termenung karena bagaimanapun di perpustakaan ini begitu banyak menyimpan kenangan bersama Erika.

Tidak, aku tidak boleh membuang-buang waktuku untuk masa lalu yang tak akan mungkin kembali. 

Aku harus berusaha keras untuk melupakan Erika tapi setiap aku berusaha maka semakin aku tak mampu untuk melupakannya.  Akhirnya siang itu di perpustakaan aku tidak begitu banyak mendapatkan literatur untuk bahan skripsiku.

Dua tahun sudah berlalu sejak peristiwa itu tapi rasanya masih seperti kemarin peristiwa itu terjadi. Erika seakan-akan ada di depanku di ruang perpustakaan ini. 

Ketika aku turun ke bawah menuruni tangga, aku merasa Erika ada disampingku. Sungguh aku benar-benar butuh waktu untuk melupakannya. Ya butuh waktu entah seberapa lama. 

Kampusku sore itu penuh dengan hiruk pikuk mahasiswa yang baru saja usai praktikum kimia. Aku dan Alan seperti biasa bertugas sebagai asistensi praktikum Kimia Dasar. 

Ruang praktikum  sudah mulai lenggang. Alan pamit terlebih dulu karena harus menjemput adiknya pulang les sementara aku masih harus membereskan dan memasukkan ke dalam map  kumpulan kertas laporan. 

Ketika aku mulai bergegas meninggalkan ruangan tiba-tiba seseorang menyentuh punggungku lalu terdengar suara lembut dari seorang gadis.

"Hensa!" seorang gadis memanggilku. Aku menoleh ke arahnya. Ternyata Aini Mardiyah sudah bediri di sana.

"Aini ! kau masih belum pulang?" tanyaku.

"Aku sengaja lewat laboratorium kimia dan aku lihat kamu belum pulang. Hen, kamu sendirian?. Kemana Alan? " tanya gadis manis itu.

"Alan pamit duluan mau jemput adiknya!" kataku.

"Oh ya Hen besok mungkin aku akan kerja lembur sampai malam di laboratorium karena data yang sangat segera diperlukan. Kamu mau menemani?" tanya Aini.

"Baik Aini aku siap menemani!"

"Kamu nggak punya acara? Kalau ada acara tidak apa-apa, aku sendirian saja!"

"Aku besok tidak ada acara!"

Aini Mardiyah adalah teman baik Erika. Mereka bersahabat layaknya seperti saudara sekandung. Aini Mardiyah, gadis berjilbab berhidung mancung berkulit putih dan bermata indah, berbibir tipis manis jika tersenyum. 

Dia adalah muslimah yang sempurna, cerdas, menguasai ilmu kimia dan ilmu agama sama baiknya, berakhlak mulia. Indikatornya adalah dia banyak temannya. 

Jika laki-laki suka sama dia itu adalah hal yang wajar karena Aini memang gadis cantik, tapi ini lebih istimewa lagi karena hampir semua teman wanitanya juga menyukai Aini. 

Keramahan, keakraban, kesetiakawanan, tutur kata, tutur sapa yang santun menunjukkan bahwa Aini berakhlak mulia. Selama aku dirundung sedih ketika Erika harus pergi dariku, Aini banyak membantuku untuk tetap semangat, tidak boleh putus asa.

"Hensa! orang yang berputus asa terhadap pertolongan Allah adalah termasuk orang yang kafir!" kata Aini suatu hari saat kami berbincang berdua tentang firman Allah dalam Al-Quran tersebut. 

Ketika itu aku memutuskan lebih baik berhenti kuliah dan mencoba untuk bekerja. Maka orang yang pertama mencegah niatku itu adalah Aini. 

Ternyata Aini telah banyak memberiku ketabahan sehingga aku tetap bertahan sampai tahap penyusunan skripsi ini.

Sungguh Aini adalah sahabatku yang terbaik selain Alan, seorang pemuda urakan tapi berotak encer. Aku selalu gembira bila dekat dengan Alan yang suka melontarkan lelucon-lelucon yang kocak. 

Demikian pula kehadiran Aini semakin lama semakin memiliki arti. Jujur saja, aku tak bisa menyembunyikan kekagumanku kepada gadis ini. Ketika aku ingin menaruh harapan kepadanya, hati kecilku berkata mana mungkin gadis cantik cerdas dan religious ini belum punya pendamping.  

Sore itu seusai asistensi praktikum kimia organik, aku langsung menuju laboratorium instrument yang letaknya bersebelahan persis dengan laboratorium kimia. Di deretan instrument kimia itu, aku lihat Aini sedang sibuk membuat preparasi sampel-sampel penelitiannya.

"Apa yang bisa saya bantu nona Aini ?" aku menyapa Aini. Gadis ini hanya  tersenyum sambil memandangku. Senyum yang manis mendamaikan hati. 

Subhanallah. Aku mencoba bertanya kepada diri sendiri. Apakah sekarang aku sudah mulai jatuh cinta lagi? 

Andaikata ya, kenapa aku harus jatuh cinta kepada Aini Mardiyah? Bukankah Aini adalah sahabat dekat Erika. Kenapa harus Aini? Apakah ada yang melarang andai aku jatuh cinta kepada sahabat dekat Erika? Apakah aku tidak boleh jatuh cinta kepada Aini hanya karena Aini sahabat Erika? 

Semua jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu tidak perlu aku cari jawabannya. Setidaknya aku sudah bisa menebak kemana arah jawaban itu.

Sekarang ini setiap selesai asistensi praktikum, aku selalu menemani Aini untuk ikut membantu analisa sampel-sampel penelitiannya di laboratorium instrument.

"Hensa. Hari ini mudah-mudahan selesai sudah pekerjaan ini!"

"Iya Aini. Setelah itu tinggal kompilasi dan mengolah data. Tabulasi dan bahasan hasilnya maka selesai sudah skripsinya !" kataku memberi semangat. Mendengar kata-kataku Aini tertawa.

"Kok mudah ya bikin skripsi!" kata Aini masih sambil tertawa.

"Ya mudah buatmu. Aku sendiri proposalku masih ada di Profesor Soetrisno!"

"Oh kapan kamu janjian dengan beliau?"

"Besok katanya aku akan di sms Beliau!"

"Baik Hensa, cepatlah revisi proposalmu selesai lalu cepatlah masuk laboratorium lalu cepatlah ujian skripsi. Lalu cepatlah lulus lalu wisuda. Lalu?" tanya Aini sambil memandangku tersenyum penuh arti. Aku menerima senyum itu begitu damai rasanya hati ini.

"Lalu dilamar dan melamar?" kataku.

"Melamar kerja? Terus yang dilamar siapa?" kata Aini sambil tertawa kecil. Di laboratorium itu sambil bekerja menyelesaikan analisa dengan instrument analisa, kami bercanda dan tertawa riang.

Hari-hari selalu aku lalui bersama Aini Mardiyah. Aku sekarang sudah kembali merasakan kegembiraan sekaligus Aini telah mampu membunuh semua rasa gelisahku. Bersama gadis cantik itu, aku kini berusaha melangkah ke depan. Semoga harapanku dikabulkanNya.

Pagi sekali aku sudah ada di ruangan Profesor Dr Soetrisno.

"Kau terima pesan dari Alan?.  Saya berusaha menelponmu tapi hp mu tidak aktif  sehingga pesan saya titipkan Alan!" kata Profesor Soetrisno.

"Ya Pak saya minta maaf. Hp saya waktu itu saya matikan sewaktu sholat Jumat tapi lupa menyalakan kembali sampai sholat Isya!", kataku polos. Pak Tris hanya tertawa.

"Hen proposal skripsimu sudah saya periksa dan ada beberapa perbaikan sebelum diseminarkan. Pada prinsipnya saya setuju dengan ide penelitianmu. Sesegera mungkin kau perbaiki untuk diseminarkan kalau bisa minggu depan !", kata Pak Tris sambil menyerahkan draft proposal kepadaku. 

Alhamdulillah akhirnya proposalku sudah disetujui. Padahal Alan yang sama-sama dibimbing Pak Trisno hingga saat ini masih belum disetujui, masih harus mengalami perbaikan-perbaikan yang berulang-ulang. Aku ternyata hanya sekali mengalami perbaikan.

"Iya Pak terima kasih. Saya akan perbaiki sesuai petunjuk dari Bapak dan Insya Allah selesai sesuai jadwal !" kataku pendek penuh kegembiraan.

Rasa lega meliputi relung dadaku karena jika proposal disetujui kemudian di masukkan untuk seminar proposal maka akan secepat itu pula penelitian ini dapat aku lakukan dan secepat itu pula skripsiku selesai. 

Lalu itu artinya biaya hidupku di Bogor ini bisa aku hemat karena aku akan selesai kuliah dan lulus lebih cepat dari jadwal semula.

Hal ini yang membuat aku bersemangat untuk segera menyelesaikan kuliahku dan segera di wisuda dan segera mendapatkan pekerjaan dan segera apa lagi? Mungkin segera menikah dengan gadis yang kucintai. Lalu siapa gadis itu? Erika? Nama itu lagi. 

Seharusnya aku sudah sejak dua tahun yang lalu melupakannya. Ya seharusnya begitu. Tapi kenyatannya tidak semudah yang kuinginkan. 

Tidak, aku harus bisa melupakan dia. Lihat jalan di depan dan tidak perlu menengok ke belakang. Ya  aku harus bisa. Aku harus bisa. Harus. Harus. Harus.

"Apanya yang harus Hensa," suara lembut seorang gadis. Di depanku berdiri Aini Mardiyah sambil tersenyum. Aku terkejut karena tak sadar  ternyata aku sedang ngomong sendiri.  

"Kamu baru saja bilang harus. Harus. Harus. Harus apa Hensa ?" tanya Aini.

Aku cuma bisa garuk-garuk kepala. Kami lalu berjalan menuju arah taman di depan kampus yang juga dekat pelataran parkir.

"Aini tadi itu maksudku harus cepat selesai skripsiku. Proposalku untuk penelitian baru saja mendapat persetujuan Pak Tris. Kau sudah lama berdiri di situ? Kemarin ke rumah kostku ya?" tanyaku membelokkan pembicaraan.

"Ya benar kemarin aku ke kostmu hanya untuk menyampaikan amanat dari Pak Tris habis hp mu tidak aktif tapi pesan pak Tris itu sudah disampaikan Alan kan? Tadi juga aku ketemu Alan di perpustakaan. Dia bilang kamu ada di ruang Pak Tris maka aku kesini!" kata Aini suaranya terdengar sangat lembut.

"Bagaimana skripsimu sudah selesai pembahasannya ?" tanyaku.

"Belum karena masih perlu beberapa referensi lagi. Tadi di perpustakaan tidak kutemukan satupun pustaka yang cocok. Mungkin aku harus browsing di internet. Bagaimana koreksian Pak Tris banyak enggak? Biasanya beliau kalau ngoreksi pasti bikin tulisan kita diobrak abrik tapi nanti hasilnya jadi bagus?"

"Lumayan banyak aku diminta memperbaiki secepatnya dan minggu depan sudah diminta Pak Tris!" kataku.

"Kalau begitu laptopku kamu bawa saja. Draftku sebenarnya sudah selesai tinggal perbanyakan pustaka penunjang. Rencana seminar hasil Rabu depan mungkin!" kata Aini.

"Okey Aini terima kasih!" kataku.

"Hensa! Aku harus ke Kampus Dramaga ada janji sama Retno. Kalau kau tidak ada acara bagaimana kalau menemaniku ke sana?", ajak Aini.

Retno adalah teman Aini dari Fakultas lain tapi sama-sama aktif di HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Saat ini Aini adalah Sekjen HMI di Kampusku. Aku juga ikut aktif di HMI tapi hanya sebagai anggota biasa bukan Pengurus inti seperti Aini.

"Nanti jam 10 ada praktikum Kimia Dasar kalau aku pergi menemanimu, Alan pasti menggerutu karena dia sendirian ngurusin anak anak TPB (Tingkat Persiapan Bersama). Kau tidak keberatan kali ini aku tidak menemanimu?" tanyaku.

Aini hanya tersenyum mengangguk. Senyum itu manis sekali. Aini dengan mobil Honda Jazz warna hitam itupun meluncur perlahan dari pelataran parkir itu meninggalkanku sendirian. 

Untuk sebuah senyumnya yang masih tersisa di pelupuk mataku maka sebaiknya harus kurenungkan dengan bijak. Aini memang cantik tapi mengapa baru kusadari sekarang?

Tentu saja mana mungkin dulu kan ada Erika dan Aini adalah sahabat karib Erika. Dia gadis yang kuakui sangat dekat denganku mungkin karena faktor Erika. Tapi setelah Erika pergi ternyata Aini tetap dekat dan selalu mendampingiku dalam kegetiran hati ini karena kepergian Erika. 

Sungguh aku saat itu tidak menyadari begitu perhatiannya Aini padaku. Nasihat-nasihatnya selalu berlandaskan ayat Al-Quran atau Hadist.

"Hensa kita ini tidak punya apa-apa karena kita ini bukan siapa-siapa. Kita ini ada karena ada yang mengadakan yaitu yang Maha Ada. Tidak ada gunanya bersedih untuk seseorang yang bukan milik kita karena kita memang tidak punya apa-apa. Kita wajib berfikir kedepan karena akhir itu lebih baik dari awal!" kata Aini suatu hari ketika aku lalui hari-hari dengan murung. Kata-kata Aini itu mengandung ungkapan tauhid dengan tingkat tinggi.

Oh Tuhan mungkinkah aku sudah menemukan cintaku yang hilang itu sekarang ada dalam diri Aini?

Ha ha ha ha Hensa jangan mimpi kamu harus tahu diri. Aini dengan dirimu itu ibarat bumi dan langit. Hensa, kamu harus tahu diri.  

Status sosial yang jomplang. Aini dari kalangan berada sedangkan kamu Hensa? Status intelektual juga tidak imbang.  Dia gadis cerdas dan ilmu agamanya setingkat seorang ustadzah sedangkan kamu Hensa?

Prestasi akademis Aini sangat cemerlang dengan indikator indeks prestasi kumulatif (IPK) hingga semester kemarin yang sudah dia capai adalah IPK 3,85 sedangkan aku untuk bisa IPK 3,05 saja harus belajar setengah mati. 

Rupanya tidak ada alasan apapun yang dapat menjadi pegangan agar aku dapat mencintai Aini.

Menyadari itu aku hanya tersenyum kecut. Lalu akupun bergegas menuju ruang praktikum di lantai dua. 

Selama asistensi praktikum itu terus terang aku tidak bisa konsentrasi. Kejadian pagi tadi masih mengganggu perasaanku. Hingga usai asistensi praktikum pun ternyata aku masih termangu di ruangan itu memikirkan mengapa tumbuh pikiran yang tidak-tidak terhadap Aini.

Seusai praktikum kimia ini aku termenung, termenung dan termenung. Maka setelah kusadari apa yang terjadi akhirnya aku tertawa sendiri di ruangan itu. Untung tidak ada siapa-siapa karena Alan seperti biasa sudah pamit duluan. 

Sore itu seusai praktikum kimia itu aku kembali menginjakkan kakiku ke tanah. Rupanya tadi itu cuma mimpi disiang bolong. Bagai pungguk merindukan bulan. Disiang bolong mana ada bulan.

Hari itu seperti biasa acara praktikum selesai tepat jam empat sore dan semua peserta praktikum sudah mulai berkemas keluar ruangan. Kini di ruangan itu tinggal aku sendirian. Alan tadi sudah pamit lebih dulu seperti biasa akan menjemput adik perempuannya di tempat les. 

Maka akupun segera menuju laboratorium instrument dimana Aini sedang mengerjakan kegiatan penelitiannya untuk mendapatkan kelengkapan data pendukung. 

Ketika aku datang, Aini Nampak sedang sibuk dengan alat alat laboratorium. Sempat dia tersenyum padaku. Aku melihat senyum itu sangat sejuk. 

Wajah oval Aini dengan balutan jilbab, mata yang bagus, hidung yang mancung dengan bibir yang selalu dihiasi senyum. Suara yang lembut saat berbicara. Gadis yang memiliki pesona sempurna. Maha Besar Allah, Sang Pencipta Keindahan.  

Esoknya susai praktikum kimia itu aku menemui Aini di laboratorium instrument. Melihat aku datang, Aini mengalihkan pandangannya ke arahku. Sorot matanya saat dia memandang denga hiasan senyumnya sungguh sangat menyejukkan. Apakah ini saatnya aku mengemukakan perasaanku kepadanya?.

"Hensa sudah selesai asistensinya?" tanya gadis itu.

"Ya Aini. Kau sendiri?" tanyaku. Aini hanya tersenyum lalu dia menyilahkan aku duduk di dekatnya.

"Hensa, hari ini aku ingin berbagi bahagia denganmu. Kau adalah orang pertama yang akan mendengar berita bahagia ini!" Aini berkata setengah berbisik. 

Ada apa gerangan. Apakah berita tentang hubungan denganku selama ini? Apakah Aini sudah bisa menangkap sinyal-sinyal rasa cinta ini kepadanya. Apakah Aini sudah tahu apa yang selama ini terpendam dalam hatiku.

"Oh Tuhan segala puji bagiMu. Ada berita bahagia apa Aini?" tanyaku penasaran. Aini kembali tersenyum dan kembali aku harus terpesona dengan keramahan dan ketulusan senyum gadis cantik ini.

"Dengar Hensa. Hari Ahad besok aku akan dikhitbah!" suara Aini terdengar riang penuh dengan kebahagiaan. Aku lihat matanya berbinar. 

Khitbah adalah prosesi lamaran seorang pria kepada gadis yang akan menjadi istrinya setelah kedua orang tua mereka sama-sama bersepakat. Ternyata ini berita bahagia itu. Tentu saja bahagia untuk Aini sedangkan untukku? Aku masih terdiam mendengar kalimat yang diucapkan Aini tersebut.

"Hensa. Aku ingin kamu mau datang dalam acara khitbah nanti. Aku hanya mengundangmu sebagai sahabat sejatiku!" kembali suara Aini penuh harap atas kehadiran dalam acara khitbahnya.

"Baik Aini. Terima kasih atas undanganmu merupakan kehormatan bagiku!" kataku pelan.

Perasaanku benar-benar mengharu biru bahkan mungkin sudah menghitam pekat gelap karena benar-benar seperti sudah tidak ada lagi setitik cahaya harapan. 

Ya Tuhan sebenarnya apa yang terjadi. Saat hatiku sudah mulai terbuka untuk menerima kebahagiaan dari gadis yang aku cintai tapi selalu saja Engkau pisahkan dia dariku. Sesungguhnya aku tidak mau bertanya. Aku cukup hanya menunggu jawaban TakdirMu. Maha Suci Allah.  

Maka di perjalanan  pulang menuju tempat kosku aku lebih banyak melamun dan bermimpi sambil sekali-kali tersenyum sendiri seperti orang gila. Kembali tersadar menjadi orang yang tahu diri. 

Memang sungguh keterlaluan kalau aku harus jatuh cinta kepadanya. Namun lebih keterlaluan lagi jika aku tidak berupaya untuk terus mengejar cinta Aini Mardiyah. Bukankah janur belum melengkung? Sungguh-sungguh keterlaluan.

Bandung 1 Februari 2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun