Namun tentu saja, ini bukan soal menyetujui atau menolak feminisme secara membabi buta. Saya membaca bukan untuk men-judge, tapi untuk memahami. Dan ternyata, ada teman laki-laki saya yang lebih dulu membaca novel ini. Apakah karena dia suka sastra? Atau sekadar ingin tahu?
Saya kira membaca novel seperti ini adalah bagian dari belajar. Belajar tentang tubuh, tentang relasi, dan tentang kebebasan berpikir. Jadi, di mana letak "tabunya"?
Tabu itu justru ketika kita tidak bisa membicarakan ini secara sehat, di waktu dan tempat yang tepat. Bahkan, banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi karena kita sendiri tidak paham betul konsep tubuh dan penghormatan terhadapnya.
Jika kamu penasaran, silakan baca sendiri. Tafsirkan sendiri. Karena seperti halnya karya sastra lain, Saman bisa memantik berbagai interpretasi.
Dan saya sendiri belum membaca Larung, sekuelnya yang konon menyimpan banyak misteri lanjutan. Tapi untuk saat ini, Saman sudah cukup membuat saya berpikir ulang soal banyak hal.
Bagaimana menurutmu? Sudahkah kamu membaca Saman? Atau mungkin kamu punya pandangan lain soal tubuh, seksualitas, dan sastra di Indonesia? Yuk, diskusi di kolom komentar.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI