Banyak yang menilai novel ini sebagai bagian dari arus feminis, pembongkar tabu, dan awal munculnya gaya sastra baru yang dikenal sebagai "sastra wangi". Sebutan itu datang dari media, merujuk pada karya-karya perempuan yang berani mendiskusikan seksualitas secara terbuka.
Konon, Ayu Utami adalah pelopor aliran ini---dan ternyata juga merupakan salah satu pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Keterbukaan terhadap isu tubuh, seks, dan peran perempuan memang menjadi ciri khasnya.
Apakah semua itu vulgar? Erotis? Ataukah justru bentuk pengetahuan? Semua kembali pada cara kita membaca dan menafsirkan.
Shakuntala dan Tubuh yang Dirayakan
Salah satu bagian favorit saya adalah pengandaian dari tokoh Shakuntala:
"Perempuan adalah porselin Cina. Patung, piring, cangkir. Mereka tak boleh retak, karena orang akan membuangnya ke tempat sampah. Sedangkan laki-laki? Mereka adalah gading: tak ada yang tak retak."
(hal. 127)
Kritik halus yang lucu tapi sangat tepat. Lalu ada juga penggambaran tentang tubuh dan tari yang menurut saya begitu dalam:
"Sejak lama kutemukan hidupku adalah menari. Bukan di panggung melainkan di sebuah ruang dalam diriku sendiri. Aku menari sebab aku sedang merayakan tubuhku... Maka di pentas ramai itu pun menjadi seorang ledek: melenggok untuk memuaskan penonton tayub yang menuntut. Ronggeng. Gandrung. Si penari tak lagi merayakan tubuhnya. Tubuh itu bukan miliknya lagi..."
(hal. 129)
Bagian ini sangat powerful, apalagi kalau kita membaca dengan perspektif perempuan dalam budaya patriarki.
Membaca sebagai Pengetahuan, Bukan Provokasi
Setelah membaca Saman, saya jadi tertarik membandingkannya dengan karya Ayu Utami lainnya, seperti Si Parasit Lajang---kumpulan esai yang lebih frontal dalam menyoroti relasi pria-wanita, budaya, dan seksualitas. Rasanya seperti sedang menggugat ulang teori-teori sosial budaya tentang keluarga, pernikahan, dan peran gender.