Mohon tunggu...
Hamid Anwar
Hamid Anwar Mohon Tunggu... Administrasi - PNS Kelurahan

Pegawai kantor yang santai, sambil mengelola blog pribadi http://hamidanwar.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mengantar Pulang ke Alam Gaib

29 Oktober 2019   08:20 Diperbarui: 29 Oktober 2019   08:25 8788
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, sumber: mimbar-rakyat.com

(Versi Kempis)

Kisah ini adalah nyata adanya dan aku tulis ini sebagai arsip diri dan syukur-syukur bisa menghibur untuk kalangan pecinta cerita mistis yang realistis. Soalnya aku sendiri juga menggemari cerita dengan type tersebut dan setiap habis cerita tentang hal mistis dengan teman2 yang selalu teringat adalah kisah ini yang memang teman saya alami sendiri. Untuk sesi ini memang saya tulis melalui sudut pandangku sendiri dan nanti di sesi selanjutnya akan ditulis oleh teman saya sendiri melalui sudut pandangnya.

...

Waktu itu tahun 2011, untuk tanggal dan bulannya aku bener-bener lupa karena memang lemah buat mengingat-ingat soal tanggalan. Malam itu aku menunggu temanku yang katanya mau datang untuk rutinitas di tiap malam minggu kami yang jarang ada jadwal ngedate dengan pasangan pada waktu itu. Kami sering berkumpul untuk sekedar main gitar bareng ataupun bikin lagu sendiri untuk diaransemen lalu dipraktekkan di studio. Di grup band kami yang belum pernah tampil di event ini, untuk main di studio dengan lagu sendiri saja sudah pada seneng banget karena masih jauh untuk berfikir soal profit.

Dua teman sudah datang untuk bergabung di teras rumahku yang memang cuma tempat itulah yang kami punya untuk sekedar menuangkan ide-ide tentang music. Mudu, si gitaris dan vokal selalu datang paling awal karena rumahnya masih satu dusun cukup jalan kaki saja melewati rumah warga yang lebih pendek jaraknya daripada lewat jalan utama.

Aku kasih gambaran antara rumaha kami sebagai segitiga phytagoras yang kalau lewat jalan utama sama seperti lewat sisi panjang dan lebarnya, tapi kalau menerobos melalui rumah warga seperti lewat sisi diagonalnnya yang lebih cepat. Jaraknya sekitar 200 meter tp untuk kendaraan bermotor memang harus lewat jalan utama khususnya untuk mobil. Mudu selalu datang dengan membawa kopi dan cemilan sederhananya yang kadang malah bawa cemilan sisa lebaran yang gak tahu expirednya.

Kita ngobrol2 aja berdua ngalor-ngidul (ngobrol gak penting), Karena sebelum Moex datang masih males buat pegang gitar. Dia si vokalis utama dan main gitar jg, yang paling berpengalaman karena sudah manggung beberapa kali di event kecil di kampungnya. Sementara aku sendiri main bass karena skill main gitarku paling rendah diantara mereka. Satu lagi si Tanto-tan, bukan keturunan China tapi teman-teman memanggilnya seperti itu. Dia  sebagai drummer jarang sekali bisa datang karena memang rumahnya paling jauh sendiri.

Malam itu Moex pulang lebih dulu sekitar jam 11 karena matanya dah gak sanggup on lagi dan lirik lagunya jd ngelantur kemana-mana. Dia pulang dengan motor bebeknya dan harus melewati jalan utama yang memang kalau sudah mulai larut malam jarang ada yang lewat, lagipula di jalan itu juga bukan spot nongkrong anak-anak muda di kampung sini jadi ya hanya mengandalkan suara knalpot motor untuk memecah keheningan malam.

Menurutku suasana paling terasa hening kalau lewat jalan utama itu adalah ketika melewati pohon beringin separuh, kami menyebutnya begitu karena pohon itu sudah ditebang tapi entah kenapa tidak dituntaskan sampai ke akar-akarnya dan menyisakan batang yang masih lumayan tinggi sekita 2 meteran.

Meski sudah tidak ada dahan dan daunnya tapi pohon itu masih kokoh berdiri tepat di pinggir jalan dan tanahnya masuk ke wilayah pondok pesantren yang waktu itu belum dibangun tembok pembatas seperti saat ini. Moex tiap pulang malam dari rumahku pede aja karena dia tidak pernah tahu cerita mistis di pohon itu sebelum ada kejadian ini.

Sepulangnya Moex maka biasanya selesai juga main gitarnya, tinggal aku dan Mudu yang masih ngobrol santai sambil menghabiskas sisa kopi yang kadang malh bikin kopi sesi ke dua. Malam itu kita tidak membicarakan hal2 mistis sama sekali dan tidak ada perasaan aneh juga.

"sek, baline nunggu jam rolas ben luwes wong malem minggu"

(sebentar, pulangnya nunggu jam 12 biar pantes karena malam minggu), ujarnya sambil melihat jam di HP yang waktu itu masih ada keypad-nya.

Masih kurang 15 menit lagi untuk tengah malam, dan kita lanjut lagi ngobrolnya di tengah keheningan yg meliputi teras rumahku karena anak-anak nongkrong di pertigaan samping kiri rumahku juga sudah pada bubar. Biasanya pindah ke warung sambil ngopi atau main kartu.

Ketika dia melihat lagi jam di HP-nya telah jam 12 lebih dia pamit untuk pulang dan disinilah aku baru merasakan ada yg aneh darinya. Dengan wajah datarnya dia bilang

"Aku tak bali lewat dalan elor wae, pisan-pisan njajal."

(Aku pulangnya lewat jalan utara saja, sesekali cobain).

Jalan utara adalah jalan utama yang ada pohon beringin separuh itu. Dia adalah tipe orang yang mudah tertawa bahkan saat dia cerita serius ataupun horror ujung-ujungnya ya tertawa, anehnya malam itu habis ngobrol sambil ketawa2 langsung berubah datar ketika melihat jam dan ngomong pamit. Soal perubahan wajah aku hanya sekilas saja merasa aneh dan gak aku pikir juga, pikirku ngantuk kali tuh anak.

Mudu mulai berjalan menjauh dari teras rumahku dan aku sengaja melihatnya ternyata benar dia tidak berbelok melewati jalan kecil antara rumah warga melainkan lurus menyusuri jalan utama itu. Padahal aku sudah siap-siap teriak kalau dia akhirnya belok ke jalan rumah warga bakalan aku teriakin kalau aslinya dia takut lewat jalan itu. Tubuh semi gemuk dan kepala bulatnya mulai hilang ditelan gelapnya jalan itu yang memang ada sepetak kebun dengan pohon yang lumayan rimbun sekitar 100 meter dari rumahku.

Yaudah biarin ajalah pikirku sambil berbalik ke kursi tempat nongkrong tadi untuk membereskan gelas dan sisa-sisa makanan yang dia bawa tadi karena masih ada sisa di bungkus plastik kiloan. Ketika aku sudah mau masuk rumah sambil memegangi nampan berisi gelas-gelas tadi sempat sesaat memandangi ke arah jalan yang dilewati Mudu tadi terlintas di pikiranku kok tumben-tumbennya dia sengaja lewat situ malam-malam gini, sementara seumur-umur dia tidak pernah mau lewat situ sepulang dari sini kalau sudah malam.

Dan dia sering sengaja ke sini jalan kaki agar pulangnya bisa lewat jalan tengah tanpa harus melewati pohon itu. Waktu itu juga aku gak terus khawatir lalu mendoakan semoga dia gak kenapa-kenapa, terserah luu deh pikirku waktu itu sambil masuk rumah pakai kaki buat muter handel pintu karena tanganku harus megang nampan isi gelas.

Setelah sikat gigi dan cuci muka pastinya langsung tidur, gak main HP seperti jaman sekarang ini yang sudah android dan memang banyak entertainment jg di dalemnya. Tidur tanpa kepikiran soal anak orang bernama Mudu tadi.

Pagi setelah dibangunkan untuk sholat subuh biasanya aku balik ke kamar untuk tidur lagi. Kali ini agak kaget dengar suara pintu diketuk2 sepagi ini, biasanya dibiarkan agak siang dikit bangun sendiri sekitar jam 7 lah. Ini masih lumayan gelap kok sudah dibangunin ada apa pikirku, mungkin disuruh pasang regulator kompor gas atau apa yang lumayan urgent.

"kae lho goleki makne Mudu, mbuh ono opo."

(Itu dicari ibunya Mudu, gak tau ada apa) kata ibuku ketika aku baru saja membuka pintu kamar.

Aku langsung menuju ke pintu dapur di belakang karena ibunya Mudu masih menunggu di sisi luar pintu. Belum sempat aku ngomong apa-apa ibunya Mudu langsung bertanya dengan raut wajah yang panik dan suara sedikit gemetar, aku bener-bener ingat wajah yang beneran panik dan seketika langsung menimbulkan pertanyaan besar buatku.

"Mudu turu nang kene pora ?"

(Mudu tidur disini gak ?), tanya ibunya sambil tetap di sisi luar dan masih mengabaikan ibuku yang mempersilahkan untuk masuk dan duduk di dalam.

"Mboten ki, maubengi bali kok jam rolas punjul ning muni arep lewat dalan elor kono. Mosok yo ilang cah gedene semono."

(gak tuh, tadi malam pulang kok jam dua belas lebih tapi bilangnya mau lewat jalan utara. Masa iya bisa hilang anak sebesar itu.) jawabku sambil masih santai aja yang belum merasa curiga dan aneh karena masih belum ilang ngantuknya.

"Bocae ra cerito ro kowe po nek gek duwe masalah opo ngono. Aku samare nek bocahe ki gek nesu ro aku trus minggat wong nggo pit motor barang lungane, wingi-wingi yo apik wae kok nang ngomah ki."

(Anaknya gak cerita ke kamu ya kalau lagi ada masalah apa gitu. Aku khawatir kalau dia lagi marah sama aku trus kabur pakai sepeda motor juga perginya, kemarin-kemarin juga baik saja kok di rumah), dia menjelaskan sambil tetap berdiri di depan pintu dapur.

"Mboten cerito duwe masalah ki, biasa-biasa wae langsung mulih kok." Jawabku

(tidak cerita punya masalah tuh, biasa-biasa saja langsung pulang)

Ibuku pun ikut menimpalinya juga yang kini sudah berdiri di belakangku

"lhayo wong maubengi yo do cekakak'an ro genjrang-genjreng tekan wengi ki. Coba ditelfon wae bocahe"

(lah iya tadi malam saja pada ketawa-ketawa sambil main gitar sampai malam tuh, coba ditelfon saja anaknya)

Kini ibunya Mudu terlihat semakin panik tp semakin melemah nada suaranya tidak selantang tadi saat awal-awal datang kesini. Terlihat seperti berfikir dalam banget dan terdiam sejenak. Sehabis menjawab pertanyaan ibuku dia langsung bertanya lagi kepadaku,

"Nek iso mbak, wes tak telfon ket mau raiso kok. Wong lawange yo iseh kuncinan sko njero kok isoh raono pit'e, tak kiro dicolong maling. Ning lak Mudu ra ngepit to maubengi le rene ?"

(kalau bisa mbak, sudah ditelfon dari tadi gak bisa kok. Pintunya juga masih dikunci dari dalam kok bisa raib motornya, aku kira dicuri maling. Tapi kan Mudu gak naik motor kan tadi malam kesininya ?)

Ibunya Mudu memang kalau memanggil Ibuku dengan sebutan mbak.

"mlaku kok, baline yo mlaku"

(jalan kaki kok, pulangnya juga jalan kaki), jawabku singkat dan kali ini aku merasa ada yang janggal karena pintunya masih dikunci dari dalam kok motor bisa ngilang sekalian sama orangnya gitu. Merasa aneh banget tapi belum sempat berfikir ke ranah mistis karena memang pikirannya masih keganjal pada pintu yang terkunci dari dalam itu, laah gimana coba tuh anak ngeluarinnya buat pergi lagi.

Setelah itu dia hanya pamit pulang dengan langkahnya yang lemas dipenuhi dengan pikiran-pikiran negatifnya karena kekhawatiran dengan anaknya yang sebelumnya jarang bahkan mungkin belum pernah pergi seenaknya kayaka gini. Karena sejak balita aku sudah akrab dengan Mudu jadi aku juga tahu kalau dia gak bakalan seperti ini, bahkan untuk sekedar main ke rumahku pun dia bakalan pamit dulu ke ortunya, gak kayak aku yang main cabut aja mau pergi kemanapun. Itu sudah jadi kebiasaan di keluarganya dia untuk selalu pamit seperti itu.

Pagi sampai siang pikiran-pikiran aneh soal itupun mulai hilang ditelan aktivitas bengongku yang memang gak ada acara apapun saat itu. Adzan dzuhur mulai terdengar di musholla terdekat di dusunku, dan aku masih nonton televisi ketika bapak dan ibuku mulai pergi ke musholla. Aku masih bengong nonton televisi ketika ibuku memanggil tepat ketika baru saja membuka pintu. Kaget juga sih, paling juga mau teriak ngingetin buat sholat dulu.

Tapi kali ini beda, ibu langsung mendekatiku sambil bilang kalau di musholla habis ketemu sama ibunya Mudu dan diceritakan juga kalau si Mudu sudah pulang sekitar jam 8 tadi. Katanya tiba-tiba saja Mudu pulang dengan menaiki motor bebeknya lalu waktu masuk rumah langsung ditanyain oleh ibunya dengan nada yang setengah marah. Tapi dia tidak menjawab sepatah katapun ke ibunya, bapaknya juga diabaikan begitu saja. Mudu hanya bengong seperti jiwanya tidak ada disitu.

Lalu ibunya yang menyadari ada yang berbeda dengan anaknya langsung menampar pipi kanannya dengan tangan kiri, karena ibunya Mudu memang seorang yang kidal. Seketika itu pula Mudu langsung tersadar dan kata ibunya dia langsung menangis dan dipeluknya anak satu-satunya itu.

Mendengar cerita itu akupun langsung beranjak dari depan televisi untuk mengambil air wudhu lalu sholat dengan niatan sehabis sholat langsung mau aku samperin tuh si Mudu, mau aku interogasi tuh si anak hilang. Tapi setelah selesai sholat aku malah berfikir ulang buat kesana, mungkin dia masih terguncang soal ini. Akhirnya aku memutuskan untuk nanti sore saja kesananya.

Sorenya hampir menjelang maghrib aku dengan berjalan kaki langsung menuju ke rumah Mudu membawa pikiran-pikiran yang mengganjal dan penuh dengan spekulasi. Belum sempat memanggil aku dah langsung dipersilahkan masuk oleh ibunya karena dia memang sedang duduk di teras rumahnya.

"kae lho Mudu nang njero kancanono"

(itu Mudu di dalam kamu temani ya) begitu katanya, aku hanya mengiyakan dan langsung masuk ke dalam rumah karena sudah antusias banget buat interigasi ni bocah. Begitu masuk langsung ketemu Mudu lagi duduk di depan televisi.

"Piye, minggat nandi wae maubengi kok Makmu isoh esuk-esuk nggegeri nggoleki nanggonku ?"

(gimana, pergi kemana aja tadi malam kok ibumu bisa pagi-pagi heboh cariin ke tempatku), langsung aku tanya to the point saja daripada lama-lama soalnya ini aneh banget menurutku.

"Aku ki lebar seko gonmu kae njur wes ra eling opo-opo Pis, teko-teko sadar yo wes esuk nang nduwur motor nang sebelah alun-alun kota mlaku arah ngidul."

(Aku tu setelah dari tempatmu itu trus gak inget apa-apa Pis, tiba-tiba sadar ya sudah di atas motor di sebelah alun-alun kota jalan arah ke selatan), Mudu langsung menjelaskan seadanya karena dia juga terlihat masih seperti orang agak bingung sore itu.

"Lha kok isoh, opo koe ra kulonuwun pas lewat wit bibis separo kae trus koe diculik kon ngeterke lungo?"

(Loh kok bisa, apa kamu gak permisi waktu lewat pohon beringin separuh itu trus kamu diculik diminta nganterin pergi), kecurigaanku langsung tertuju pada pohon itu yang dari dulu memang menyimpan sisi mistisnya sendiri. Setahuku juga sebelum menebang pohon itu untuk dibangun pagar permanen pondok pesantren itu memang penunggunya dipindahkan dulu ke Watu Senthet (batu retak) di kebon Mojo, sebuah batu yang terbelah rapi di tengahnya warga menyebutnya dengan sebutan watu Senthet.

Dan Kebon Mojo tersebut adalah sebuah kebun yang luas dan rimbun banget terletak di sisi barat desa kami. Mungkin bisa dikatakan hutan mini ya, karena kalau masuk kesana memang teduh sekali sampai sinar matahari hanya bisa menerobos di daerah tertentu saja saking rimbunnya.

Dia tidak menjawabku, kami terdiam sesaat dan aku kepikiran tentang dia kok bisa-bisanya nyadar pas sampe di alun-alun kota sana yang jaraknya dari dusun kami sekitar 15 kilometer. Aku langsung teringat bahwa kemarin sabtu dia cerita kalau habis service motor di dealer resmi motor itu dan yang aku pikirkan adalah kalau di dealer seperti itu pasti dikasih catatan pada kilometer berapa dia harus servis lagi setelahnya.

"Eh iyo Du, koe wingi lak ntes servis to, engko isoh dietung lungamu adohe sepiro."

(eh iya Du, kamu kan kemarin baru saja servis, nanti bisa dihitung pergimu seberapa jauh)

Lalu kita cek sticker paduan servis yang ditempel di sisi dalam jok motor tersebut, lalu angka-angka tersebut dikurangi 2013 kilometer. Kenapa 2013 ?, karena pihak montir pasti menambahkan 2000 untuk kilometer servis selanjutnya dan angka 13 adalah jarak perkiraan dealer sampai rumah untuk kemarin pulang dari dealer dan setelah itu belum dipakai lagi motornya.

Lokasi dealer tersebut kira-kira 2 kilometer sebelum alun-alun kota. Nah setelah dihitung-hitung ketemulah angka 82 kilometer. Jauh juga pikirku, berarti dia diajak pergi ke tempat yang jauhnya sekitar 41 kilometer dari rumah dan arahnya ke daerah utara.

Setelah itu akupun memutuskan untuk pulang karena hari sudah mulai petang dan terdengar pula adzan maghrib. Sambil berjalan pulang aku masih mencoba berspekulasi tentang tempat mana kira2 dia nganterin si makhluk ghaib semalam. Kemudian aku ke musholla untuk ikut jamah sholat maghrib tanpa ada khusyuk sedikitpun karena masih berspekulasi makhluk macam apa dan diajak kemana temanku si Mudu itu.

Kisah ini memang sampai disini melalui sudut pandangku, dan akan dilanjutkan cerita ini melalui sudut pandang Mudu sendiri.

...

(Versi Mudu)

Sebelumnya saya ceritakan, saya akan mengatakan dulu bahwa saya saat ini sangat ingin melupakan peristiwa pilu yang pernah kualami lebih dari sewindu yang lalu tersebut. Tetapi mengingat animo pemerhati cerita mistis yang trennya kian hari kian meningkat, maka dengan sedikit berat akhirnya aku akan membeberkan pengalaman ini untuk dijadikan pelajaran, dengan mengaburkan beberapa lokasi dan clue cerita untuk menjaga privasi. Baiklah akan kita mulai cerita dari sini :

Di suatu malam minggu, pada pertengahan tahun 2011. Aku tengah bersiap menuju kediaman Kempis Parryntang yang memang sudah menjadi kawan akrab sejak kecil. Bagaimana tidak akrab karena kami telah bersekolah bersama sedari TK hingga lulus SMK, dan kini sama -- sama menjadi kuli pemerintah. Selain itu, hobi kami sama, yaitu bermain musik alias ngeband.

Malam itu, tidak seperti biasanya, angin berhembus lebih dingin dan langit terasa lebih gelap. Aku memulai langkah kaki melalui pemukiman penduduk yang sebagian masih dibuat menggunakan anyaman bambu. Suara jangkrik dan hewan malam lain bersahut-sahutan ketika melewati ladang dan kebon warga sebelum akhirnya ia sampai di tempat tujuan.

"Pis, gek opo?" (Pis lagi apa) tanya Aku ketika mendapati Kempis tengah menggosok gitar kesayangannya yang telah diberi tanggem, karena sudah mletek alias retak lem bodynya di bagian belakang.

"yo ngene iki. Yo.. gogok nang lincak ngarep wae karo ngenteni Moex" balasnya.

(ya seperti ini, yuk duduk di kursi panjang depan aja sambil nungguin si Moex)

Malam itu seperti biasanya kami bermain genjrang-genjreng gitar dan mengaransemen lagu-lagu baru kami. Lagu-lagu kami dikenal telah hits diberbagai kanal radio AM dan radio amatir berbasis brig-brigan. Diantara lagu-lagu yang populer diantaranya berjudul " Aku bukan bapakmu ", " D2T ", dan "premium bersubsidi ". Diantara lagu lagu lain, ketiga judul diatas adalah yang paling meledak di dapur sebagaimana elpiji tiga kiloan.

"Aku tak bali disik, selak kuwur.. rhung micek je ket mau awan" (aku mau pulang dulu, keburu ngantuk, belum tidur nih dari tadi siang) ucap Moex mendekati jam dua belas malam. Biasanya kami nongkrong hingga sekitar jam 12 jam 1 malam. Tapi kali ini karena Moex sudah pulang, maka tinggal kami berdua saja sekadar menghabiskan kopi dan cemilan sisa lebaran yang sebenarnya sudah expired.

Tepat jam 12, Aku pamit undur diri melalui jalan utama. Bukan jalan perkampungan yang tadi aku lewati waktu berangkat. Sudah biasanya Aku memilih melewati perkampungan karena secara matematis, meminjam rumus dari mbah Phytagoras, maka jalan yang di tempuh akan lebih cepat dibanding melalui jalan utama. Selain itu, jika melalui jalan utama, maka pasti akan melalui sebuah situs sakral yang sudah lama menjadi momok untuk warga setempat.

"iku ngunu jenenge wit bibis. Wit bibis iku ancen kaet mbiyen jaman mbah -- mbah biyen dipercoyo akeh penunggune koyoto, genderuwo, karo pocong" kata sesepuh desa setempat.

(itu sih namanya pohon beringin, pohon beringin itu memang dari jaman nenek-nenek jaman dulu dipercaya banyak penunggunya semisal genderuwo dan pocong)

Namun, beberapa tahun belakangan, pohon bibis itu sudah dipangkas, sehingga suasana yang dulu lebat dan menyeramkan kini berangsur hilang. Pada waktu pemangkasan pohon, oleh orang pintar diadakan ritual untuk memindahkan penunggunya ke Kebon Mojo, yang terletak di pinggir kampung. Namun, meski sudah dipindahkan, aura mistis dongklak pohon bibis tetap terasa.

Suatu hari, seorang warga mengaku melihat lilin berjalan sendiri menuju arah pohon bibis ketika pukul sepuluh malam. Dan ketika diperhatikan, lilin tersebut berjalan sendiri tanpa ada orang yang memegang dan hilang ketika sampai di dongklak pohon bibis tersebut. Cerita lain lagi, seorang penjual jajanan yang setiap malamnya melewati pohon bibis itu pernah melihat penampakan berupa makhluk hitam. Makhluk hitam itu terlihat kecil dan lama kelamaan menjadi semakin besar dan semakin besar bahkan setinggi pohon kelapa.

Akhirnya, penjual jajanan itupun

PINGSAN

**

Ketika Aku memutuskan untuk melalui jalan utama dan melewati pohon bibis tersebut, aku merasakan aura yang tidak enak. Selain itu, aku mencium aroma melati yang sangat kuat.. bagai lupa ingatan, aku hanya ingat ketika ternyata aku sudah mengendarai motorku dan berada di sebuah jalan raya yang sangat halus dengan kanan kiri berupa hutan dan jurang. Anehnya, tidak ada seorang pun yang berpapasan meskipun tampaknya jalan tersebut merupakan jalan utama antar kota.

Sadar bahwa aku sedang berada di alam lain, aku pun berusaha berdoa sebisanya.

Sampai-sampai, aku merasa dibimbing oleh seseorang untuk menuju sebuah tempat berupa pertigaan jalan kampung yang berbentuk seperti huruf Y. Lokasi tersebut ada di sebuah tempat yang rendah. Sementara aku melaju dari atas dan melihat keramaian seperti pasar malam di tempat tersebut. Ada beberapa mainan anak, dan canda tawa anak-anak bermain odong-odong. Namun, ketika sampai di tempat percabangan huruf Y tersebut, semua hilang berubah menjadi hitam pekat. Yang ada hanyalah sebuah pohon sabrang dengan rumput ilalang di sekelilingnya.

Dengan bekal IMTAQ yang kuat dan kesadaran nurani yang tinggi, akhirnya Aku memutuskan untuk kembali menuju ke atas dan tidak berani menoleh tempat itu lagi. Tetapi..

Baru berjalan sekitar dua puluh meter dengan mengebut menanjak, aku merasa dikuntit oleh beberapa motor. Ketika ditengok melalui spion, ternyata sosok yang mengikutiku tersebut berwujud seperti manusia kerdil dengan tatapan yang sangat mengerikan. Tubuhnya berkulit pink dengan kulit yang bergelambir. Mereka berjumlah semakin banyak dan semakin cepat mengejar. Hingga akhirnya hilang sendiri.

Di tengah rasa takut yang semakin mendalam, akhirnya Aku memutuskan untuk mampir disebuah gubug yang berada di pinggir jalan. Gubug tersebut ternyata adalah sebuah langgar yaitu tempat beribadah warga kampung. Tetapi sepenglihatanku, gubug itu berdiri sendiri di tepi jalan ditengah hutan, dan nyaris tidak ada tanda-tanda perkampungan di dekat situ. Aku pun segera mengambil wudhu dari kendi, dan menjumpai sebuah tempat seperti bekas situs pemandian kuno jaman kerajaan.

Ketika aku masuk lebih dalam, ternyata tersedia sajadah sehingga aku langsung bersujud untuk berdoa kepada Tuhan atas segala khilaf dan memohon bantuan dan perlindungan dari segala marabahaya. Tidak lama, akupun merasa sangat ngantuk dan tidak kuat hingga akhirnya tertidur.

**

Sekitar pukul 6 pagi, aku tersadar ketika tiba-tiba aku ternyata tengah mengendarai motorku di sebuah tempat yang tidak asing. Berada di tengah kota J dan jalan yang aku lalui adalah jalan menuju rumahku. Dan akhirnya setelah melalui perjalanan ke dusun, aku pun sampai di rumah dengan selamat.

**

Demikian kisah ini ditulis untuk menjadi pelajaran bahwa dimanapun kita berada terutama ditempat-tempat yang ditengarai sebagai tempat tinggal jin, kita harus selalu berdoa meminta perlindungan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun