Mohon tunggu...
Gitakara Ardhytama
Gitakara Ardhytama Mohon Tunggu... Penulis buku dan kolaborator media online.

Penulis buku Pejuang Kenangan (2017), Hipotimia (2021) dan Ruang Ambivalensi (2025). Pemimpin Redaksi CV. TataKata Grafika. Aktif menulis artikel dan essai di berbagai platform digital.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Paradoks Waktu: Semakin Efisien, Semakin Tak Pernah Cukup

16 September 2025   13:14 Diperbarui: 16 September 2025   18:30 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Waktu adalah satu-satunya aset yang tidak bisa kita beli kembali. Uang bisa dicari, posisi bisa diraih lagi, bahkan hubungan bisa diperbaiki kembali, tapi waktu yang sudah lewat tak akan pernah bisa kembali apapun yang akan kita lakukan."

Kalimat seperti itu pasti sudah sering kita dengar, entah dari acara motivasi, iklan jam tangan, atau caption-caption di media sosial. Namun, di balik kalimat (yang sepertinya) bijak itu, ada sebuah 'propaganda' yang lebih dalam dan seringkali tidak kita sadari.

Kita sebenarnya sedang dipaksa, bahkan di-setting tanpa sadar untuk memaksa diri sendiri agar hidup semakin efisien, semakin produktif, dan semakin bermanfaat. Tapi bermanfaat yang dimaksud di sini adalah bermanfaat menurut standar yang ditetapkan oleh masyarakat modern.

Pertanyaannya kemudian apakah efisiensi dan produktivitas itu benar-benar membuat hidup kita jadi lebih baik? Ataukah kita justru terjebak dalam ilusi, bahwa dengan mempercepat langkah, kita otomatis akan semakin cepat mendekati kebahagiaan?

Waktu yang Hilang, Hidup yang Tergesa

Setiap hari, setiap pagi, sebelum sempat menyadari aroma kopi yang mengepul di cangkir, tangan kita sudah meraih ponsel. Cek satu-satu notifikasi yang kita tinggalkan semalam, email menumpuk, pesan kerjaan masuk lebih cepat daripada sinar matahari menyapa jendela. Begitulah rutinitas pagi hampir semua orang di masa kini. Bahkan sebelum badan benar-benar bangun, pikirannya sudah lari maraton.

Hari-hari dijalani dengan sesaknya target, jadwal rapat, dan revisi demi revisi. Jam makan siang bukan lagi momen untuk benar-benar makan, melainkan kesempatan curi-curi waktu untuk membalas pesan atau menyelesaikan revisian. Apa itu istirahat? Dunia kerja modern tidak lagi mengenal istirahat, bung!

Pulang kerja pun seringkali masih dibayangi oleh pekerjaan di kantor yang belum (atau tak akan mungkin) selesai. Bahkan di atas kasur, tak jarang kita buka laptop dan pikiran masih harus dihantui oleh daftar hal-hal yang harus dilakukan besok pagi.

Rasanya kita hidup dalam rasa tergesa yang konstan. Tidak ada habisnya, kecemasan demi kecemasan. Ironisnya, semakin banyak teknologi canggih yang katanya 'menghemat waktu' yang kita miliki, malah rasanya waktu semakin cepat berlalu. 24 jam tidak lagi terasa panjang seperti dulu.

Ada sebuah paradoks yang terjadi sebenarnya dalam rangkaian kejadian tadi. Paradoksnya adalah ketika kita terus berusaha mengefisienkan hidup, yang hilang bukan sekadar jam atau menit, tapi kualitas kehadiran kita di dalamnya yang juga menurun.

Waktu Sebagai Mata Uang Baru

Time is money. Kalimat itu diperkirakan dikatakan dan dipopulerkan oleh Benjamin Franklin saat terjadi revolusi industri di Amerika. Saat itu upah para pekerja masih dihitung berdasarkan banyaknya jam yang mereka habiskan untuk bekerja. Makin banyak jam lembur, makin banyak uang yang mereka akan bawa pulang.

Tujuan kalimat ini dilontarkan memang untuk menyadarkan betapa berharganya waktu para pekerja saat itu. Waktu akhirnya diperlakukan bukan lagi sebagai ruang hidup, melainkan modal yang harus diinvestasikan seefisien mungkin, untuk membawa keuntungan sebanyak mungkin.

Kini, di era digital, pepatah itu dimaknai semakin radikal. Aplikasi smartphone, iklan-iklan di baliho jalan raya, hingga startup-startup kini seringkali menjual dirinya dengan embel-embel jargon "hemat waktu" dan "efisiensi hidup."

Layanan pesan-antar makanan, transportasi online, bahkan aplikasi catatan produktivitas; semuanya seolah mempropagandakan bahwa hidup yang cepat, ringkas, dan efisien adalah hidup yang lebih baik.

Namun, hal yang jarang kita sadari bahwa ketika waktu menjadi 'mata uang', logikanya menjadi berubah. Siapa yang bisa memanfaatkan waktu lebih banyak akan dianggap lebih sukses, lebih unggul, lebih layak dipuji.

Sebaliknya, orang yang memilih hidup dengan ritme yang lambat, akan dengan cepat dicap malas, buang-buang waktu, atau kurang ambisius. Maka terjadilah seperti sekarang ini, orang-orang seolah tak kenal jam dan hari, hidup mereka hanya diisi dengan bekerja, bekerja dan bekerja.

Barangkali inilah cikal bakal perubahan mindset dalam kepala kita, bahwa yang kita cari saat ini bukan lagi sekadar ingin hidup nyaman, tapi ingin selaras dengan mitos modern "orang yang sibuk itu adalah orang yang sukses." Dan gilanya, hampir semua orang di dunia sekarang terobsesi menjadi sukses, dengan standar tidak masuk akal tadi. Tidakkah Anda merasa sistem yang seperti itu adalah sistem yang sakit dan merusak?

Obsesi pada Efisiensi dan Produktivitas

Coba bandingkan kehidupan sekarang dengan beberapa puluh tahun ke belakang. Pada saat kita masih kecil dulu, atau pada saat kakek nenek kita masih muda dulu.

Waktu seolah hanya ditentukan oleh alam. Matahari terbit adalah tanda mulai bekerja, matahari terbenam adalah waktu untuk berhenti dan beristirahat. Musim hujan dan kemarau menentukan kapan harus menanam dan panen.

Tidak ada jam-jam digital dengan alarm-alarmnya, ritme hidup mengikuti siklus alam, yang sudah jelas lebih presisi dan sistematis daripada manusia itu sendiri. Kala itu kita masih patuh pada 'jam-jam alam.'

Kini, di zaman serba digital, waktu sepenuhnya dikendalikan oleh target dan deadline. Kalender Google dengan semua warna warni agendanya lebih menentukan hidup kita daripada musim hujan. Rapat bisa dilakukan kapan saja, bahkan tengah malam, asalkan ada koneksi internet. Orang-orang modern zaman sekarang lebih sering merasa bersalah kalau tidak produktif, ketimbang merasa bersalah karena melupakan diri sendiri dan keluarganya.

Kita bahkan membawa obsesi ini ke waktu-waktu santai atau family time. Liburan jadi sekadar konten di sosial media, bukan pelepasan dari kepenatan. Yang paling wajib dibawa bukan lagi sun cream, tapi laptop dan hard disk kerja. Waktu bersama keluarga jadi sesi multitasking sambil tetap menatap layar laptop.

Liburan hanya jadi bahan konten di sosial media tanpa benar-benar merasakan esensinya berlibur. Bahkan aktivitas sevital tidur pun kini dianggap sebagai kelemahan, slogan-slogan bertema "sleep is just for the weak" dijadikan sebagai lambang ambisi.

Budaya ini bukan hanya membentuk pola pikir, tapi juga memengaruhi kesehatan jiwa kita. Tekanan untuk selalu produktif melahirkan rasa cemas berlebih, depresi, burnout, hingga hilangnya makna kehidupan. Kita seolah hidup untuk 'menyicil waktu', tanpa pernah benar-benar menikmatinya.

Ilusi Nyata Efisiensi

Banyak orang bilang bahwa teknologi adalah jalan menuju efisiensi waktu yang bermuara pada kebebasan akan waktu. Mesin cuci otomatis, transportasi online, AI super cerdas yang bisa otomatis merangkum dan membantu menulis laporan, semuanya diciptakan konon agar kita punya lebih banyak waktu luang.

Tapi apa yang malah terjadi kemudian? Setiap kali kita berhasil menghemat waktu, waktu kosong itu tidak otomatis diisi dengan istirahat. Justru, ia segera diganti diisi kembali dengan pekerjaan-pekerjaan lainnya.

Waktu satu jam yang dulu kita habiskan untuk mencuci baju, kini diisi dengan cuci baju plus tambahan deadline-deadline baru. Sepuluh menit yang kita hemat dari perjalanan, berubah menjadi sepuluh menit tambahan untuk menjawab pesan kerja di akhir pekan.

Itulah yang disebut paradoks waktu; semakin kita efisien, semakin banyak hal yang kita kerjakan, dan akhirnya semakin kita merasa tidak lagi memiliki waktu yang cukup untuk hal lainnya. Nyatanya efisiensi waktu tidak membuat waktu kita bertambah, ia justru  malah hanya membuat beban kita semakin padat.

Dengan kata lain, efisiensi bisa dibilang hanyalah ilusi. Ia menipu kita dengan keyakinan bahwa semakin cepat berarti semakin baik, padahal yang terjadi hanyalah percepatan menuju kelelahan demi kelelahan berikutnya.

Lalu Apa yang Sebenarnya Berharga?

Di titik ini, kita perlu bertanya ke diri kita sendiri: apa sebenarnya yang membuat waktumu sangat berharga? Apakah karena ia bisa diperas habis menjadi produktivitas dan menghasilkan sebanyak-banyaknya? Atau karena ia memungkinkan kita merasakan hidup jika kita gunakan waktu secara benar?

Heidegger, seorang filsuf Jerman, pernah menyebut manusia sebagai being-toward-death (makhluk yang hidup dengan kesadaran bahwa waktu kita terbatas). 

Tapi justru karena keterbatasan itulah setiap momen harus menjadi semakin berharga. Nilai waktu seharusnya tidak datang dari seberapa banyak kita gunakan untuk bekerja dan menghasilkan, melainkan dari seberapa dalam kita hadir di dalamnya.

Dalam psikologi modern, ada sebuah konsep yang disebut mindfulness, yaitu kemampuan untuk benar-benar hadir pada momen saat ini. Orang yang bisa duduk tenang, menyadari napasnya, merasakan hangatnya kopi, atau menikmati obrolan tanpa distraksi, bisa dibilang ia sedang memegang kualitas waktu yang jauh lebih berharga daripada seseorang yang berhasil menuntaskan sepuluh tugas dalam sehari, tapi tidak mengingat apa pun setelahnya.

Mungkin, di sini kita bisa menemukan jawaban: yang berharga bukan sekadar efisiensi atau produktivitas, melainkan kualitas kehadiran kita. Waktu menjadi berarti ketika kita memberi ruang untuk 'hidup', bukan hanya sekadar bekerja.

Mengembalikan Waktu pada Kehidupan

Jika benar waktu adalah aset yang tidak bisa kita beli kembali, bukankah lebih logis kalau kita menjaganya dengan cara yang lebih manusiawi? Bukan dengan memadatkannya ke kalender jadwal hingga penuh sesak, melainkan cukup mengisinya dengan hal-hal yang membuat hidup terasa lebih utuh.

Kita mungkin tidak bisa sepenuhnya keluar dari budaya efisiensi dan produktivitas seperti sekarang. Dunia kerja, ekonomi, bahkan teknologi menuntut kita untuk terus bergerak cepat. Namun, kita bisa memilih kapan harus berhenti, kapan harus melambat, dan kapan harus benar-benar hadir.

Waktu berharga bukan karena ia produktif, tapi karena ia penuh akan makna. Kadang makna itu lahir dari momen sesederhana duduk bersama keluarga, mendengar musik, atau sekadar membiarkan diri tidak melakukan apa pun.

Waktu bukan hanya untuk dijalani dengan kesibukan dan kegiatan, tapi juga untuk sedalam mungkin dirasakan.

Penutup

Obsesi pada efisiensi dan produktivitas pada akhirnya hanya akan membuat kita terjebak dalam sebuah ironi. Semakin kita berusaha memeras waktu, maka akan semakin sedikit pula kita merasa memilikinya. Dunia modern memuja-muja kecepatan, tapi lupa akan kedalaman.

Pada akhirnya, Anda yang memilih. Apakah Anda ingin hidup sebagai mesin produktif yang teratur tapi hampa, atau sebagai manusia yang berani melawan stigma dengan sesekali melambatkan ritme, merasakan sekitar, dan benar-benar hadir dalam keterbatasan waktu itu?

Karena waktu yang berharga bukanlah waktu yang penuh dengan agenda, melainkan waktu yang benar-benar kita jalani dan resapi tiap detiknya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun