Tidak ada jam-jam digital dengan alarm-alarmnya, ritme hidup mengikuti siklus alam, yang sudah jelas lebih presisi dan sistematis daripada manusia itu sendiri. Kala itu kita masih patuh pada 'jam-jam alam.'
Kini, di zaman serba digital, waktu sepenuhnya dikendalikan oleh target dan deadline. Kalender Google dengan semua warna warni agendanya lebih menentukan hidup kita daripada musim hujan. Rapat bisa dilakukan kapan saja, bahkan tengah malam, asalkan ada koneksi internet. Orang-orang modern zaman sekarang lebih sering merasa bersalah kalau tidak produktif, ketimbang merasa bersalah karena melupakan diri sendiri dan keluarganya.
Kita bahkan membawa obsesi ini ke waktu-waktu santai atau family time. Liburan jadi sekadar konten di sosial media, bukan pelepasan dari kepenatan. Yang paling wajib dibawa bukan lagi sun cream, tapi laptop dan hard disk kerja. Waktu bersama keluarga jadi sesi multitasking sambil tetap menatap layar laptop.
Liburan hanya jadi bahan konten di sosial media tanpa benar-benar merasakan esensinya berlibur. Bahkan aktivitas sevital tidur pun kini dianggap sebagai kelemahan, slogan-slogan bertema "sleep is just for the weak" dijadikan sebagai lambang ambisi.
Budaya ini bukan hanya membentuk pola pikir, tapi juga memengaruhi kesehatan jiwa kita. Tekanan untuk selalu produktif melahirkan rasa cemas berlebih, depresi, burnout, hingga hilangnya makna kehidupan. Kita seolah hidup untuk 'menyicil waktu', tanpa pernah benar-benar menikmatinya.
Ilusi Nyata Efisiensi
Banyak orang bilang bahwa teknologi adalah jalan menuju efisiensi waktu yang bermuara pada kebebasan akan waktu. Mesin cuci otomatis, transportasi online, AI super cerdas yang bisa otomatis merangkum dan membantu menulis laporan, semuanya diciptakan konon agar kita punya lebih banyak waktu luang.
Tapi apa yang malah terjadi kemudian? Setiap kali kita berhasil menghemat waktu, waktu kosong itu tidak otomatis diisi dengan istirahat. Justru, ia segera diganti diisi kembali dengan pekerjaan-pekerjaan lainnya.
Waktu satu jam yang dulu kita habiskan untuk mencuci baju, kini diisi dengan cuci baju plus tambahan deadline-deadline baru. Sepuluh menit yang kita hemat dari perjalanan, berubah menjadi sepuluh menit tambahan untuk menjawab pesan kerja di akhir pekan.
Itulah yang disebut paradoks waktu; semakin kita efisien, semakin banyak hal yang kita kerjakan, dan akhirnya semakin kita merasa tidak lagi memiliki waktu yang cukup untuk hal lainnya. Nyatanya efisiensi waktu tidak membuat waktu kita bertambah, ia justru  malah hanya membuat beban kita semakin padat.
Dengan kata lain, efisiensi bisa dibilang hanyalah ilusi. Ia menipu kita dengan keyakinan bahwa semakin cepat berarti semakin baik, padahal yang terjadi hanyalah percepatan menuju kelelahan demi kelelahan berikutnya.