Mohon tunggu...
Gitakara Ardhytama
Gitakara Ardhytama Mohon Tunggu... Penulis buku dan kolaborator media online.

Penulis buku Pejuang Kenangan (2017), Hipotimia (2021) dan Ruang Ambivalensi (2025). Pemimpin Redaksi CV. TataKata Grafika. Aktif menulis artikel dan essai di berbagai platform digital.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Paradoks Waktu: Semakin Efisien, Semakin Tak Pernah Cukup

16 September 2025   13:14 Diperbarui: 16 September 2025   18:30 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lalu Apa yang Sebenarnya Berharga?

Di titik ini, kita perlu bertanya ke diri kita sendiri: apa sebenarnya yang membuat waktumu sangat berharga? Apakah karena ia bisa diperas habis menjadi produktivitas dan menghasilkan sebanyak-banyaknya? Atau karena ia memungkinkan kita merasakan hidup jika kita gunakan waktu secara benar?

Heidegger, seorang filsuf Jerman, pernah menyebut manusia sebagai being-toward-death (makhluk yang hidup dengan kesadaran bahwa waktu kita terbatas). 

Tapi justru karena keterbatasan itulah setiap momen harus menjadi semakin berharga. Nilai waktu seharusnya tidak datang dari seberapa banyak kita gunakan untuk bekerja dan menghasilkan, melainkan dari seberapa dalam kita hadir di dalamnya.

Dalam psikologi modern, ada sebuah konsep yang disebut mindfulness, yaitu kemampuan untuk benar-benar hadir pada momen saat ini. Orang yang bisa duduk tenang, menyadari napasnya, merasakan hangatnya kopi, atau menikmati obrolan tanpa distraksi, bisa dibilang ia sedang memegang kualitas waktu yang jauh lebih berharga daripada seseorang yang berhasil menuntaskan sepuluh tugas dalam sehari, tapi tidak mengingat apa pun setelahnya.

Mungkin, di sini kita bisa menemukan jawaban: yang berharga bukan sekadar efisiensi atau produktivitas, melainkan kualitas kehadiran kita. Waktu menjadi berarti ketika kita memberi ruang untuk 'hidup', bukan hanya sekadar bekerja.

Mengembalikan Waktu pada Kehidupan

Jika benar waktu adalah aset yang tidak bisa kita beli kembali, bukankah lebih logis kalau kita menjaganya dengan cara yang lebih manusiawi? Bukan dengan memadatkannya ke kalender jadwal hingga penuh sesak, melainkan cukup mengisinya dengan hal-hal yang membuat hidup terasa lebih utuh.

Kita mungkin tidak bisa sepenuhnya keluar dari budaya efisiensi dan produktivitas seperti sekarang. Dunia kerja, ekonomi, bahkan teknologi menuntut kita untuk terus bergerak cepat. Namun, kita bisa memilih kapan harus berhenti, kapan harus melambat, dan kapan harus benar-benar hadir.

Waktu berharga bukan karena ia produktif, tapi karena ia penuh akan makna. Kadang makna itu lahir dari momen sesederhana duduk bersama keluarga, mendengar musik, atau sekadar membiarkan diri tidak melakukan apa pun.

Waktu bukan hanya untuk dijalani dengan kesibukan dan kegiatan, tapi juga untuk sedalam mungkin dirasakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun