Ketika perwira aktif duduk dalam jabatan sipil, mereka tetap memiliki loyalitas kepada institusi militer. Dalam banyak kasus, ini bisa menciptakan tumpang tindih kepentingan antara tugas mereka sebagai bagian dari pemerintahan dan kewajiban mereka sebagai anggota militer. Apakah keputusan yang mereka ambil akan lebih berpihak pada kepentingan rakyat, ataukah justru lebih menguntungkan institusi militer?
Selain itu, kebijakan ini juga berpotensi menghambat regenerasi kepemimpinan sipil. Jika posisi-posisi strategis di pemerintahan lebih banyak diisi oleh militer, maka kesempatan bagi profesional sipil untuk berkontribusi dalam pembangunan bangsa menjadi semakin kecil. Padahal, dalam sistem demokrasi yang sehat, pengelolaan pemerintahan seharusnya didasarkan pada kompetensi dan meritokrasi, bukan sekadar kedekatan dengan institusi tertentu.
Dari perspektif keamanan, perluasan peran militer dalam jabatan sipil juga bisa berdampak negatif terhadap hubungan antara masyarakat dan aparat keamanan. Salah satu prinsip utama dalam hubungan sipil-militer yang sehat adalah adanya pemisahan yang jelas antara peran pertahanan dan peran pemerintahan. Jika garis pemisah ini menjadi kabur, maka kepercayaan masyarakat terhadap institusi militer bisa terganggu, terutama jika kebijakan-kebijakan yang diambil oleh perwira aktif dalam pemerintahan dianggap merugikan rakyat.
Pak Prabowo, Jangan Biarkan Sejarah Berulang!
Pak Prabowo tentu memahami dengan baik betapa sensitifnya isu ini. Sebagai seseorang yang telah lama berada di lingkungan militer dan kini berada di lingkaran pemerintahan, beliau memiliki tanggung jawab moral dan politik untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak akan membawa Indonesia kembali ke masa lalu yang otoriter.
Sebagai pemimpin yang akan segera menduduki posisi tertinggi di negeri ini, Pak Prabowo harus bersikap tegas dalam menyikapi RUU ini. Jika memang ada pasal-pasal yang berpotensi mengancam demokrasi dan stabilitas negara, maka sudah sepatutnya beliau mengambil langkah untuk merevisi atau bahkan menolak pengesahan RUU ini dalam bentuknya yang sekarang.
Sikap tegas ini bukan hanya penting untuk menjaga keseimbangan kekuasaan antara sipil dan militer, tetapi juga untuk menunjukkan kepada rakyat bahwa beliau adalah pemimpin yang berpihak pada kepentingan bangsa, bukan hanya kepentingan kelompok tertentu.
Bagaimana Seharusnya RUU TNI Dikelola?
Jika memang ada kebutuhan untuk merevisi UU TNI, maka prosesnya harus dilakukan dengan transparan dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk akademisi, pakar hukum, organisasi masyarakat sipil, dan tentu saja, rakyat.
RUU ini juga harus dikaji ulang secara lebih mendalam untuk memastikan bahwa setiap pasal yang tercantum benar-benar mendukung kepentingan nasional, bukan kepentingan segelintir pihak. Jika ada kebutuhan untuk memberikan peran tambahan kepada TNI dalam pemerintahan, maka mekanismenya harus dirancang sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu prinsip supremasi sipil dan tidak membuka celah bagi kembalinya dominasi militer dalam politik.
Di samping itu, pengawasan terhadap implementasi kebijakan yang berkaitan dengan peran TNI dalam jabatan sipil harus diperkuat. Jangan sampai kebijakan ini disalahgunakan untuk kepentingan politik atau bahkan untuk melanggengkan kekuasaan kelompok tertentu di dalam pemerintahan.