Mohon tunggu...
Fathir Ariseno
Fathir Ariseno Mohon Tunggu... Mahasiswa Politeknik

Panjang ulah Diteukteuk. Pondok ulah Ditambah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Bermutu, Saatnya Kembali ke Jalan Ki Hadjar Dewantara

15 September 2025   13:34 Diperbarui: 15 September 2025   13:34 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Sosok Ki Hadjar Dewantara (Sumber: Kompas.id) 

"Inilah jalan Ki Hadjar Dewantara, jalan yang perlu kita hidupkan kembali demi aspirasi pendidikan bermutu untuk semua"

Ketika Ki Hadjar Dewantara merumuskan falsafah pendidikannya lebih dari seabad lalu, beliau tidak sekadar membicarakan soal sekolah, kurikulum, atau nilai ujian. Bagi beliau, pendidikan adalah jalan untuk memerdekakan manusia. Pendidikan bermutu, menurut Ki Hadjar Dewantara, bukanlah pendidikan yang hanya mencetak anak pandai menghitung atau menghafal, melainkan pendidikan yang menumbuhkan manusia yang berkarakter, berbudaya, serta mampu berdiri tegak di tengah masyarakatnya.

Tiga falsafah beliau yang legendaris "Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani" sebenarnya bisa dipandang sebagai kerangka mutu pendidikan itu sendiri. Di depan, pendidik harus menjadi teladan; di tengah, ia harus membangkitkan semangat; dan di belakang, ia memberi dorongan agar anak bisa mandiri.

Dengan cara ini, pendidikan bukan sekadar proses transfer ilmu, melainkan proses hidup bersama, membimbing anak-anak agar tumbuh sesuai kodratnya.

Ki Hadjar juga menekankan pentingnya pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa. Ia menolak pendidikan kolonial yang hanya meniru Barat tanpa memperhatikan realitas Indonesia. Baginya, pendidikan bermutu harus sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya sendiri: menghormati tradisi, memahami kondisi sosial-ekonomi, sekaligus membuka jalan bagi kemajuan.

Pendidikan bukan proyek menyalin sistem luar, melainkan upaya membangun manusia yang siap menghadapi dunia dengan jati diri bangsa.

Sayangnya, falsafah sederhana ini sering kali kita lupakan. Pendidikan kita lebih banyak diukur lewat kurikulum baru, metode instan, dan target angka. Padahal Ki Hadjar sudah mengingatkan, mutu pendidikan sejati lahir dari manusia yang hidup di dalamnya terdapat guru, murid, orang tua, dan masyarakat, bukan dari dokumen administrasi semata.

Lantas, bagaimana situasi dan kondisi pendidikan kita saat ini?

Jika kita menengok kondisi pendidikan Indonesia hari ini, tantangannya jelas masih besar. Di satu sisi, pemerintah berusaha melakukan berbagai terobosan, misalnya Kurikulum Merdeka, digitalisasi pembelajaran, dan program guru penggerak.

Di sisi lain, masih banyak masalah mendasar yang belum terselesaikan: ketimpangan mutu antara kota dan desa, beban administrasi guru yang berlebihan, serta sistem seleksi yang masih menekankan hafalan dan ujian standar.

Tidak bisa dipungkiri, pendidikan kita masih sering terjebak pada angka-angka. Keberhasilan sekolah diukur dari nilai ujian nasional (dulu) atau asesmen nasional (sekarang). Murid sering kali dipaksa mengejar nilai demi ranking, sementara aspek karakter, kreativitas, dan empati kurang mendapat ruang.

Guru pun sering sibuk menyiapkan laporan, bukannya mendampingi murid secara manusiawi.

Di lapangan, ketimpangan fasilitas juga sangat terasa. Sekolah-sekolah di kota besar mungkin bisa mengakses internet cepat, laboratorium modern, dan pelatihan guru berkelanjutan. Namun di pelosok, masih ada sekolah yang kekurangan guru, buku, bahkan bangunan yang layak.

Dalam kondisi seperti ini, sulit bicara soal pendidikan bermutu untuk semua, jika yang "semua" itu hanya berlaku di kota-kota besar.

Lebih jauh lagi, pendidikan kita juga menghadapi tantangan relevansi. Banyak lulusan yang pandai secara teori, tetapi gagap menghadapi dunia kerja atau kehidupan nyata. Hal ini menunjukkan adanya jarak antara sekolah dan kebutuhan masyarakat.

Mutu pendidikan tidak cukup hanya membicarakan silabus, tetapi harus menyentuh kenyataan sehari-hari yang dihadapi mayoritas rakyat Indonesia.

Peran Guru Sebagai Teladan dan Penggerak

Dalam falsafah Ki Hadjar Dewantara, guru bukan sekadar pengajar, tetapi teladan. "Ing ngarsa sung tuladha" artinya guru harus lebih dulu menunjukkan sikap yang baik sebelum meminta muridnya meniru.

Guru yang disiplin, sabar, dan penuh kasih akan meninggalkan bekas jauh lebih dalam daripada ribuan kata nasihat. Inilah inti mutu pendidikan, guru yang menjadi manusia pembentuk manusia.

Namun realitasnya, guru sering terbebani tugas administratif. Mereka diminta mengisi begitu banyak formulir, laporan, dan dokumen. Akibatnya, energi untuk mendampingi murid justru berkurang. Padahal, yang dibutuhkan murid bukan hanya pelajaran di papan tulis, melainkan juga keteladanan, perhatian, dan motivasi.

Mutu pendidikan akan melonjak bila guru diberi ruang untuk kembali pada peran utamanya yakni mendidik dengan hati.

Guru juga perlu terus belajar. Di era digital, guru tidak boleh tertinggal dari muridnya. Penguasaan teknologi, pemahaman budaya digital, dan keterampilan membimbing anak agar bijak di dunia maya menjadi penting.

Guru yang mau belajar bersama murid, bukan hanya mengajar dari atas, akan mampu membangkitkan semangat belajar sejati.

Peserta didik sering diperlakukan sebagai objek: mereka duduk diam, mendengar, mencatat, lalu diuji. Padahal, Ki Hajar Dewantara menekankan bahwa pendidikan adalah menuntun kodrat anak.

Setiap anak punya bakat dan minat yang berbeda, dan mutu pendidikan baru tercapai jika perbedaan itu dihargai.

"Ing madya mangun karsa" berarti guru harus membangkitkan karsa, kemauan, dan semangat dari dalam diri murid. Anak yang belajar karena dipaksa hanya akan paham sebentar, tetapi anak yang belajar karena rasa ingin tahunya menyala akan tumbuh menjadi pembelajar sejati.

Pendidikan bermutu adalah pendidikan yang menjadikan murid subjek aktif, bukan objek pasif.

Contoh konkretnya bisa dilihat dalam metode pembelajaran berbasis proyek. Ketika murid diberi kesempatan meneliti masalah di lingkungannya, membuat karya, atau mempresentasikan idenya, mereka belajar lebih banyak tentang berpikir kritis, kerja sama, dan tanggung jawab.

Nilai akademis tetap penting, tetapi karakter dan kreativitas jauh lebih menentukan masa depan mereka.

Peran Orang Tua, Keluarga dan Masyarakat

Pendidikan bermutu tidak hanya berlangsung di sekolah, tetapi juga di rumah. Ki Hadjar Dewantara pernah berkata bahwa keluarga adalah pusat pendidikan yang pertama dan utama. Di rumah, anak belajar nilai kejujuran, disiplin, dan kasih sayang. Jika rumah gagal mendidik, sekolah akan kesulitan memperbaikinya.

Orang tua tidak perlu menjadi guru mata pelajaran, tetapi cukup menjadi teladan dan pendamping. Misalnya, dengan membiasakan membaca di rumah, membatasi penggunaan gawai dengan bijak, atau mendampingi anak saat belajar tanpa marah-marah.

Hal-hal kecil seperti ini lebih berpengaruh daripada memaksa anak masuk bimbingan belajar yang mahal.

Sayangnya, banyak keluarga di Indonesia menghadapi tantangan sosial-ekonomi. Orang tua sibuk bekerja, waktu untuk anak terbatas, dan pendidikan di rumah sering terabaikan. Karena itu, penting ada kesadaran bahwa pendidikan bukan hanya tugas sekolah, melainkan tanggung jawab keluarga.

Sekolah yang bermutu juga perlu menjalin komunikasi dengan orang tua agar visi pendidikan anak selaras.

Selain guru dan keluarga, masyarakat juga berperan besar dalam mutu pendidikan. Anak-anak tumbuh dalam lingkungan sosial yang membentuk cara pandang dan perilaku mereka. Jika lingkungan penuh kekerasan, hoaks, dan korupsi, maka nilai-nilai itu mudah ditiru.

Sebaliknya, bila masyarakat menampilkan budaya gotong royong, kejujuran, dan kerja sama, anak-anak akan belajar darinya.

Konsep Tut wuri handayani sangat relevan di sini. Masyarakat dapat menjadi kekuatan pendorong yang menjaga anak-anak agar tetap di jalur yang benar. Misalnya, komunitas lokal yang menyediakan ruang baca, kegiatan seni, atau olahraga. Atau tokoh masyarakat yang menjadi panutan dalam sikap hidup. Anak-anak belajar dari interaksi sehari-hari di luar kelas, maka masyarakat perlu sadar bahwa mereka juga bagian dari proses pendidikan.

Selain itu, dunia usaha juga dapat berkontribusi. Program magang, beasiswa, atau dukungan fasilitas bisa memperkuat relevansi pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja. Dengan cara ini, sekolah tidak berdiri sendiri, tetapi terhubung dengan masyarakat dan dunia nyata.

Pendidikan Bermutu Sesuai Kebutuhan Masyarakat

Pada akhirnya, mutu pendidikan tidak bisa diukur semata dari kurikulum baru atau peringkat internasional. Mutu pendidikan harus berorientasi pada kebutuhan masyarakat Indonesia, sesuai kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang beragam.

Sebagian besar masyarakat Indonesia masih hidup di pedesaan, bekerja di sektor informal, dan berjuang memenuhi kebutuhan dasar. Pendidikan bermutu untuk mereka bukan berarti hafal teori sains mutakhir saja, tetapi mampu membaca, berhitung, memahami teknologi sederhana, dan hidup sehat.

Di sisi lain, bagi generasi muda di kota besar, pendidikan bermutu berarti menyiapkan daya saing global, kemampuan digital, dan kreativitas. Semua ini bisa diwujudkan bila pendidikan berpijak pada falsafah Ki Hadjar Dewantara.

"Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani" adalah prinsip yang masih segar hingga hari ini. Pendidikan bermutu lahir dari teladan guru, semangat murid, dukungan keluarga, dan dorongan masyarakat.

Bila semua unsur berjalan bersama, pendidikan Indonesia tidak hanya mencetak manusia pintar, tetapi juga manusia berkarakter, berbudaya, dan siap membangun bangsa.

Inilah jalan Ki Hadjar Dewantara, jalan yang perlu kita hidupkan kembali demi aspirasi pendidikan bermutu untuk semua.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun